MATARAM–Aksi penolakan RUU Penyiaran mengalir sampai ke daerah. Di Mataram (NTB), Selasa, 21/5/2024, sejumlah aliansi organisasi Pers juga menggelar aksi damai tolak RUU di depan gedung DPRD NTB.
Organisasi Pers yang menggelar aksi di antaranya, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) NTB, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTB, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) NTB, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) NTB.
Mereka mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini sedang dibahas di DPR RI.
RUU Penyiaran ini dinilai mengandung beberapa pasal kontroversial dan berpotensi mengancam kebebasan pers serta independensi media di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, UU Penyiaran 2024 merupakan revisi dari Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002.
Namun, draft RUU ini masih memicu kekhawatiran karena adanya pasal-pasal yang melarang produk jurnalisme investigasi dan tumpang tindih dengan UU Pers.
Organisasi-organisasi pers itu dalam pernyataan sikap menyerukan Tolak RUU penyiaran yg mengekang kebebasan pers.
Menuntut DPR meninjau Ulang RUU Penyiaran pasal 42 dan 50B tentang pembatasan kewenangan jurnalisme investigasi
Merevisi Pasal 34 sampai 36 RUU penyiaran tentang kewenangan KPI menyelesaikan sengketa pers selain Dewan pers
Revisi RUU Pasal 50B ayat 2K tentang kebebasan berekspresi lewat ancaman kabar bohong dan pencemaran nama baik.
“Kami mengajak seluruh warga negara untuk bersama-sama mengawal proses pembahasan RUU Penyiaran ini agar tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan pers. Mari kita tunjukkan solidaritas kita dalam mempertahankan demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia.”
Para ketua aliansi Pers bergiliran berorasi. Dimulai dari ketua IJTI, AJI, AMSI dan terakhir ketua SMSI yang intinya menolak RUU Penyiaran.
Ketua SMSI NTB, HM Syukur menjelaskan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran saat ini sedang diproses di DPR RI. Draf RUU ini tidak hanya mencakup penyiaran konvensional seperti TV dan radio, tetapi juga penyiaran digital.
Revisi Undang-Undang Penyiaran ini menurut Pak Syukur, panggilan akrabnya, memang menimbulkan kekhawatiran di kalangan organisasi jurnalis dan masyarakat. Hal ini disebabkan beberapa pasal dalam draf revisi tersebut yang dianggap dapat mengancam kebebasan pers.
Ada beberapa poin yang menjadi sorotan kalangan Pers. Pertama, larangan penayangan eksklusif konten investigasi. Dalam pasal 50B ayat dua disebutkan adanya larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran, Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan mengenai penayangan eksklusif jurnalistik investigasi,” demikian isi pasal tersebut.
Kedua, membungkam kebebasan pers. Pasal lain yang menjadi kontroversi adalah pasal 50B ayat dua huruf k.
Ketiga, penyelesaian sengketa oleh KPI. Poin lain yang menjadi keberatan dari organisasi jurnalis televisi adalah pasal 42 ayat 2 dan pasal 25 huruf q. Di sana disebutkan bahwa penyelesaian sengketa terkait kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). (red)