RadarMandalika-Pelatihan GEDSI (Gender Dissabilitas dan Sosial Inklusi) dan Interseksionalitas, telah berlangsung di Hotel Illira, Desa Penujak, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah, Jumat-Sabtu (18-19/2023). Kegiatan ini dilakukan oleh Migrant Care Kantor NTB, yang merupakan lembaga non pemerintah yang bekerja untuk isu perlindungan dan pemberdayaan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan anggota keluarganya.

Kegiaan ini difasilitasi oleh Tim Fasilitator dari Jakarta: Institut Kapal Perempuan Jakarta (Ulfa Kasim), Migrant Care Jakarta (Wahyu Sisilo) serta Fasilitator dari daerah lainnya seperti Ririn Hayudiani, Bambang Teguh Karyanto.

Tujuan dilakukan pelatihan ini agar peserta lebih kritis ketika melihat persolan yang dilami oleh PMI, tidak memandang hanya terbatas pada persoalan ketenaga kerjaan saja yang dialami oleh pekerja migran, apalagi pekerja migrannya perempuan, tetapi bagaimana hubungan relasi kuasa dengan majikan, dengan keluarga di rumah seperti suami, saudara, orang tua dan lingkungan sosial lainnya.

Kekerasan yang dialami oleh pekerja migran, khususnya perempuan sangat kompleks saat ini. Data Balai Pelayanan Pekerja Migran Indonesia ( BP2MI ) Mataram mencatat ada 2.524 pekerja migran di tahun 2022 pada semester 1, dan jumlah kasus yang ditangani mencapai 630 orang diantaranya kasus pencegahan 249 orang, kasus non prosedural 238 orang dan kasus pemulangan zenasah 38 orang. Dan remitansi/uang yang masuk ke NTB dari PMI di tahun 2022 pada semester 1 sebanyak 413.38 miliar.

Namun saat ini dalam menyelesaikan isu PMI hanya terbatas pada masalah ketenagakerjaan saja yang menjadi focus perhatian, tidak sensitive dan kritis dalam melihat isu pekerja migran, apakah pekerja migran merupakan dissabilitas, apakah merupakan kelompok marjinal dalam kemiskinan, dan sangat terpinggirkan dalam social masyarakat. Dan apakah pendidikannya rendah bahkan tidak sekolah, apakah ketika berangkat masih dibawah umur, bagimana dengan kondisi ekonominya, apakah masuk dalam garis kemiskinan, apakah pekerja migran hanya mampu untuk bekerja disektor-sektor kasar yang tidak membutuhkan skil ilmu pengetahuan khusus, bagaimana status perkawinannya, karena kebanyakan mereka yang dalam kondisi galau baru bercerai, mudah untuk berangkat, sehingga mudah untuk ditipu.

Sebagai contoh kasus, seorang ibu yang memiliki 4 orang anak, yang baru saja bercerai dengan suaminya, dengan kondisi kaki yang tidak normal, memilih utuk bekerja ke Luar Negeri menjadi PMI. Dia mengalami kasus perdagangan orang, karena mengalami pengoperan dari satu tangan ke tangan lainnya, dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya berkali-kali dan mengalami kekerasan fisik dan tidak digaji oleh majikannya. Dalam hal perspektif GEDSI dan Interseksionalitas, bahwa ibu ini bukan saja mengalami kekerasan dalam ketenagakerjaan, tetapi dia mengalami dissabilitas, mengalami KDRT, dengan pendidikan tidak tamat SD, sehingga hanya kerja-kerja fisik sebagai PRT dan umur sudah 40 tahun keatas sehingga bekerja cepat lelah, dengan kondisi ekonomi yang sangat minim, anak-anaknya tidak sekolah, serta dalam masyarakat sangat marjinal.

Dalam konteks GEDSI dan Interseksionalitas, maka pelatihan ini penting agar dalam melihat persoalan maupun isu PMI tidak tunggal melihat masalah ketenagakerjaan tetapi lebih luas dan mendalam serta kritis, sehingga muncul rasa kepedulian untuk membantu agar mendapatkan perlindungan.

Peserta dalam kegiatan ini sebanyak 30 orang diantaranya 8 laki-laki dan 22 perempuan yang berasal dari unsur pemeritnah desa, lembaga DESBUMI (Desa Peduli Buruh Migran) dan aktifis perempuan desa yang berasal dari Pengurus Kelompok Pemerhati PMI dan anggota kelaurganya. Peserta berasal dari 8 Desa Dampingan Migrant Care NTB yaitu Desa/Kelurahan yang ada di Lombok Tengah yakni Desa Darek, Nyerot, Gemel. Gerunung, Pringgarata, Barabali, Lajut dan Bonder. Ke delapan desa ini merupakan daerah basis PMI.

Hal yang cukup ramai dan menarik dalam pelatihan tersebut, bahwa PMI yang mengalami dissabilitas yang selama ini tidak diperhatikan. Peserta sudah mulai berfikir kritis bahwa mereka punya hak sarana pembangunan yang ramah disabilitas yang dapat diakses, seperti sarana umum transportasi/toilet/masjid/bandara dan lain-lain. Dan, yang selama ini ketika mendampingi kasus hanya terbatas kasusnya selesai, tetapi dalam pelatihan ini banyak hal yang harus didampingi dan menjadi perhatian, dari aspek umur, kondisi ekonomi, pendidikan, status perkawianan, skil pekerjaan, kondisi sosial masyarakat, apakah tergolong kelompok marjinan dll. Sehingg peserta sangat mulai kritis dan memiliki komitmen terhadap isu PMI , karena PMI dengan remitancenya sangat membantu roda perekonomin di desa maupun masyarakat luas.

Dalam situasi pelatihan ini fasilitator sangat handal dalam memfasilitasi, dengan menggunakan metodologi pendidikan orang dewasa, dan method yang variatif seperti roll play, diskusi dan lain-lain. Peserta aktif karena sebagai narasumber yang pernah mengalami, karena peserta ada purna PMI maupun keluarganya , dengan menggunakan bahasa yang sederhanya. (*)

0% LikesVS
100% Dislikes
Post Views : 435

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *