Masjid Nurul Falah Menghapus Sisi Kelam Masyarakat Jebuk
Masjid Nurul Falah menjadi saksi perubahan sosial masyarakat Dusun Jebuk di tengah maraknya tindak kejahatan kala itu. Berikut peran tempat ibadah ini dalam membangun masyarakat.
FENDI- LOMBOK TIMUR
MASJID Nurul Falah sebelumnya masuk wilayah Dusun Jebuk, Desa Surabaya, Kecamatan Sakra Timur. Namun belakangan setelah terjadinya pemekaran Desa Surabaya menjadi desa induk dan Desa Surabaya Utara, masjid tersebut kini masuk wilayah Dusun Jebuk Bat.
Masjid yang dibangun di tanah wakaf dengan luas sekitar 25 are tersebut secara selintas tidak memiliki corak dan makna yang mendalam, sebab arsitektur dan bangunannya hampir sama dengan tempat ibadah pada umumnya.
Kendati masjid ini tercatat sebagai masjid satu- satunya di dusun tersebut, namun bangunannya cukup sederhana. Masjid dengan lantai satu tersebut di samping kiri dan kanan dilengkapi gudang sebagai tempat penyimpanan barang milik masjid mulai dari perabotan seperti gelas dan piring, juga kas masjid berupa gabah yang disumbangkan warga.
Namun demikian dibalik masjid yang sederhana ini, tempat ibadah ini diakui sebagai saksi perubahan sosial masyarakat yang ada di dusun tersebut. Pasalnya saat pembangunan masjid di sekitar tahun 1960- an, kondisi masyarakat di dusun tersebut sangat memprihatinkan. Dimana kehidupan masyarakat banyak diwarnai tindak kejahatan dan perjudian, bahkan dusun tersebut terkenal hingga luar desa dengan penyimpangan sosial tersebut.
Pengurus masjid, Mustawe menceritakan, awal pembangunan masjid tersebut didasarkan pada kebutuhan masyarakat akan tempat ibadah salat Jumat, dimana sebelum ada masjid harus menempuh perjalanan sekitar 2 – 3 kilometer untuk salat Jumat. Sehingga bersama para tokoh masyarakat dikala itu sepakat membangun masjid di tanah yang telah diwakafkan.
“Sekitar tahun 60 an dibangun, di sini masih terkenal rumah judi dan maling waktu itu,” ceritanya.
Dimana salah seorang tokoh yang mempelopori pembangunan tempat ibadah ini waktu itu almarhum H Rais. Beliau juga aktif memberikan pendidikan Alquran setelah pembangunan masjid tersebut.
Di tahun awal masjid usai dibangun, warga ceritanya masih acuh tak acuh dengan tempat ibadah tersebut, dimana kendati azan sudah dikumandangkan, mereka masih asik sabung ayam, judi, minum- minuman keras dan kegiatan lainnya. Bahkan di malam harinya masing- masing warga khawatir dan cemas dengan keamanan barang- barang mereka.
“Warga saat itu banyak yang beternak, malam itu kerjaannya jaga maling setiap malam,” sebutnya.
Kondisi ini sebutnya diperkirakan berjalan hingga 15 tahun pertama, namun setelahnya masyarakat mulai sadar dan tindak kejahatan tersebut mulai berkurang dilakukan. Kondisi ini juga jelasnya terjadi setelah para tokoh- tokoh tindak kejahatan tersebut satu demi satu meninggal dunia, sedang anak mereka sudah mendapat pendidikan agama sehingga timbul kesadaran untuk tidak melanjutkan kegiatan tersebut.
Penyadaran ini jelasnya dapat dicapai berkat kegigihan sang pelopor saat itu untuk menanamkan ilmu agama pada anak muda, sehingga generasi sekarang bisa lebih baik.
“Setelah ada masjid sehingga di sini aktif digunakan untuk mengaji,” ceritanya.
Keberadaan masjid ini sebutnya, sangat disyukuri sehingga citra dan stigma negatif tentang masyarakat Jebuk berangsur- ansur membaik seperti saat ini. Dimana kondisi kehidupan masyarakat sudah mulai membaik dan meninggalkan kebiasaan masa lalu yang ditinggalkan nenek moyang mereka. Warga sudah mulai sadar dan mencari nafkah melalui jalan yang halal.
“Sekarang sudah membaik, bahkan kepala desa juga sempat dijabat warga kita satu periode, semoga kondisi aman dan nyaman ini bisa terus dirasakan masyarakat,” tandasnya. (ndi)