Baiq Ayu Darma Ning Tyas merupakan salah seorang relawan pengajar. Ia rela menempuh waktu berjam-jam untuk memberikan pelajaran bagi anak-anak yang ada di pelosok Lombok Tengah.
HAZA-LOMBOK TENGAH
WAJAHNYA memancarkan bahagia dan aura optimistis saat mengabdikan diri di daerah terpencil. Tepatnya di area perbukitan di Gubuk Panggel, Dusun Pendem, Desa Mekarsari, Kecamatan Praya Barat.
“Orang-orang menyebutnya Panggel, karena mungkin ketika ke tempat ini semua akan pegal-pegal,” tutur perempuan 25 tahun itu.
Sesuai namanya, ia bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Komunitas Tastura Mengajar harus menjangkau daerah tersebut hampir 2 jam lamanya dari pusat kota.
“Dulu kami mengira Dusun Bangket Molo merupakan dusun terakhir di wilayah perbukitan ini, namun ternyata ada yang lebih jauh yakni Panggel itu,” ungkap Baiq Ayu Darma Ning Tyas.
Karena minimnya akses infrastruktur, Dusun Bangket Molo merupakan satu-satunya akses yang paling bagus dan dirasa paling aman untuk menuju Gubuk Panggel.
Perjalanan ke Bangket Molo pun harus melalui akses jalan tanah dan berbatuan, dengan jarak tempuh sekitar 30 menit dari jalan raya.
“Ketika hujan tiba, tentu akses jalan akan cukup susah dilewati kendaraan sebab beberapa ruas jalan yang becek ditambah dengan beberapa ruas jalan yang juga terkikis akibat hujan,” kata Tyas.
Di Bangket Molo terdapat sebuah sekolah SATAP yakni SD-SMP Negeri 6 Praya Barat dan di sekolah inilah tempat 9 orang anak-anak Panggel bersekolah.
Setelah sampai di Bangket Molo, lalu perjalanan dilanjutkan ke Gubuk Panggel dengan berjalan kaki.
“Kalau musim panas, kendaraan masih bisa digunakan ke Panggel. Namun ketika musim penghujan seperti saat ini, jalan tidak bisa dilewati sama sekali, sehingga harus ditempuh dengan jalan kaki,” ungkap Tyas sapaan akrabnya.
“Biasanya motor kami titipkan di rumah pak Kadus Bangket Molo dan kalau pakai mobil ya sudah kami biarkan di tengah hutan,” lanjutnya.
Bagi perempuan lulusan PGSD Universitas Mataram ini, perjalanan seperti itu tentu bukan hal baru baginya. Sebab ia bersama Tastura Mengajar sudah terbiasa melewati kondisi akses jalan seperti itu.
“Tentu ini tidak seberapa dibandingkan anak-anak Panggel yang setiap hari berjalan kaki hingga satu jam lamanya untuk berangkat ke sekolah,” sebutnya.
Perjalanan ke Panggel, tentu tidak semudah yang dibayangkan, kondisi jalan yang becek ketika hujan, ditambah lagi harus mendaki dan menuruni bukit menjadi rintangan yang selalu memberikan pengalaman yang berkesan bagi Tyas dan rekan-rekannya.
“Paling yang dikhawatirkan adalah ketika di perjalanan tiba-tiba hujan, apalagi kami biasanya membawa alat tulis dan lainnya. Sehingga mantel biasanya harus bawa minimal dua. Satu untuk diri sendiri dan satu lagi untuk barang bawaan, sebab dihutan mana ada tempat berteduh,” ungkap koordinator Divisi Pendidikan Tastura Mengajar itu.
Sesampai di Panggel, lelah mereka pun terhapuskan, karena anak-anak dan penduduk di tempat itu menyambut dengan penuh kehangatan.
“Bahkan tak jarang ketika mereka tengah berladang di tengah hutan kami diminta untuk beristirahat sejenak untuk diberikan minum atau membakar jagung kalau sedang musimnya,” kata Tyas.
Kegiatan Belajar Mengajar di Panggel
Di Gubuk Panggel anak-anak didik dari Tastura Mengajar sebanyak 19 orang, dimana 9 dari mereka telah masuk sekolah jenjang SD dan SMP. Sedangkan 10 lainnya, dapat dikategorikan telah memasuki jenjang taman kanak-kanak.
“Karena melihat kondisi akses pendidikan mereka yang cukup sulit dijangkau, sehingga kami menemukan beberapa anak yang masih kesusahan dalam belajar, mungkin tenaga mereka lebih banyak terkuras di perjalanan sebelum akhirnya belajar disekolah,” kata Tyas.
Sehingga melalui kegiatan belajar yang dilakukan di Panggel, mereka mencoba membuat modul pembelajaran sendiri sebagai upaya untuk mengoptimalisasikan pendidikan anak-anak di Panggel.
“Di Tastura Mengajar, tentu kami memiliki modul pembelajaran sendiri, dengan orientasi utamanya yaitu litersi dan numerasi dengan metode yang tentu menyenangkan untuk anak-anak,” ungkapnya.
“Sedangkan untuk anak-anak yang belum masuk sekolah, mulai sejak dini mereka sudah kami kenalkan angka dan huruf, agar ketika sudah masuk SD nanti mereka sudah terbiasa,” lanjutnya.
Meski tidak berkegiatan setiap hari, diakui Tyas bahwa semangat anak-anak di sana untuk bisa menulis, membaca dan berhitung sangat tinggi. Bahkan setiap kami datang, mereka sudah siap untuk belajar.
“Biasanya kami berkunjung sebulan sekali dan pasti menginap. Namun tetap, media pembelajaran kami berikan kepada mereka agar bisa tetap belajar. Dan kami pun telah mengantongi data asesment setiap kali berkegiatan, sebagai bahan evaluasi untuk kegiatan selanjutnya,” kata Tyas.
Tidak hanya itu, berbagai perlengkapan belajar, seperti buku bacaan, papan tulis dibawakan untuk anak-anak agar bisa belajar mandiri dikampung mereka sendiri.
“Tentu harapan kami di Tastura Mengajar ke depan, kami dapat membuatkan mereka pojok belajar, dengan persediaan berbagai keleksi buku bacaan yang bagus serta alat tulis yang lengkap. Sehingga dengan begitu, mereka dapat belajar lebih rajin dan tentu menyenangkan,” pungkasnya.(*)