MATARAM – Para wakil rakyat di DPRD NTB mulai silang pendapat. Semua ini dipicu terkait PT GTI yang sejak lama menjadi polemik. Padahal rekomendasi DPRD secara kelembagaan jelas agar Pemprov memutuskan kontrak.
Sekretaris Fraksi PKS DPRD NTB, Sambirang Ahmadi terlihat tidak ingin melihat kasus GTI hanya sebatas pada sikap politik gubernur, melainkan juga harus dilihat dari aspek hukum yang berlaku. Dalam perjanjian kerjasama Pemprov dengan PT GTI dalam pengelolaan aset Pemprov di Gili Trawangan seluas 65 Hektare itu, hak GTI masih ada sampai 2026.
“Saya kira secara politik sikap DPRD sudah clear and clean. Tapi kita mesti mendudukkan persoalan bukan hanya secara politik, tapi juga secara hukum,” tegas Sambirang kepada media, kemarin.
Sambirang mengatakan, jika gubernur memutuskan kontrak PT GTI tidak serta merta daerah bisa langsung ambil manfaat ekonominya mengingat PT GTI bisa saja mengajukan keberatan hukum. Jika itu dilakukan maka lahan GTI menjadi status quo alias tidak bisa diapa apakan hingga keputusan hukum bersifat inkrah. Lanjutnya, ada proses persidangan panjang yang harus dilalui sehingga hal demikian dilihatnya akan menyita waktu.
“Menurut saya mungkin perlu ada jalan lain untuk membijaksanai kondisi ini yang memungkinkan pemerintah tidak kehilangan hak atas pendapatan dari aset tersebut, tapi juga tidak merugikan masyarakat dan investasi,” kata Ketua Komisi III DPRD NTB itu.
Tak ingin membiarkan “ocehan” PKS berlanjut begitu saja, Gerindra kembali menyahut seekan tidak ingin kalah berwacana. “Saya sepakat menempatkan masalah GTI memang harus diposisikan scara hukum dan Politik, keduanya mesti beriringan,” sahut anggota Fraksi Gerindra, Sudirsah Sujanto terpisah.
Sudirsah mengingatkan, PKS secara politik lembaga dewan telah mengeluarkan sikap dan dukungan yang jelas dan nyata sesuai kewenangan. Demikian halnya secara hukum saat ini tengah dilakukan berbagai kajian hukum di level pengacara pemprov, dan itu sudah hampir final.
“Tinggal keberanian dan ketegasan gubernur selaku pemilik aset. Sekali lagi sekedar mengingatkan, tidak ada satu point pun dalam fakta perjalanan kontrak GTI yang menguntungkan daerah dan rakyat,” ucapnya.
Terkesan digurui, Sudirsah mengaku telah paham jika pemutusan kontrak dengan GTI telah dilakukan lahan tersebut tidak lantas dapat diambil manfaat ekonomi. Termasuk berpeluang berstatus quo.
” Ya lebih baik lahan tersebut berstatus quo, karena status quo hanya sampai putusan inkrah pengadilan. Proses peradilan tidak akan lebihdari 6 kali waktunya stelah itu status hukumnya jelas. Insyaallah jelas bagi pemprov dan rakyat,” bebernya.
Bahkan jika pun status quo berjalan satu sampai dua tahun lamanya dengan asumsi jika peradilan sengaja diperlambat, entah karena loby, intervensi atau intimidasi dan lain-lain, itu tetap jauh lebih baik, dibanding 25 tahun berlalu, pengelolaan aset oleh GTI yang merugikan.
“Pertanyaannya jalan lain atau langkah lain seperti apa, untuk membijaksanai ketidakonsistenan (wan prestasi), konsorsium PT GTI ini? Mengapa mereka mendewakan perusahaan yang kita tidak ketahui keberadaannya ini, sementara ada rakyat yang siap mengelola secara profesional dan ada puluhan investor pariwisata yang lebih bonafit dan siap bermitra dengan pemprov secara profesional dan saling menguntungkan,” pungkasnya. (jho)