MATARAM-Sejumlah kelompok nelayan menaruh curiga dengan Pengiriman Benih Bening Lobster (BBL) dari Provinsi NTB ke BLU-BPBAP Situbondo. Jumlah pengirimannya dinilai sangat kecil, jauh di bawah jumlah pengiriman daerah lain. Indikasi kecurangan dan permainan sejumlah oknum dalam pengiriman BBL NTB.
Dicurgai, ada sejumlah oknum mengatur harga BBL hasil tangkapan nelayan di NTB. Bahkan memberikan harga yang lebih murah dibanding daerah lain. Padahal, BBL tangkapan nelayan dari Provinsi NTB, kuantitasnya lebih banyak. Harganya pun disinyalir lebih murah dibanding BBL dari daerah lain.
“Masalah harga dan penjualan sekarang masih rancu karena di bawah ini tidak kompak. Tidak ada harga yang sama, penjual dan pembeli ini. Ada permainan harga dari sejumlah calo dari luar daerah yang masuk ke sini,” ujar Kelompok Nelayan Bangkit Bersama asal Lombok Tengah, Yasin, kemarin.
Diduga hal itu membuat keuntungan belum dirasakan kelompok nelayan maupun para pengurus koperasi. Yasin menilai, terkesan ada penyembunyian harga oleh pihak BLU-BPBAP Situbondo. Ini yang membuat harga BBL tidak seragam di bawah.
“Saya sudah mengeluhkan persoalan ini ke Dinas Kelautan dan Perikanan. Ada dua hal yang kami minta diperhatikan,” sebutnya.
Pertama terkait Surat Keterangan Asal Barang (SKAB), ia meminta hal ini tidak lagi dikeluarkan oleh pemerinth kabupaten melainkan Pemprov NTB. Kedua ia mengusulkan adanya BLU di NTB.
Terkait isu kecurangan yang dilakukan sejumlah oknum ini, pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB melalui Ketua Tim Kerja Pengolah Sumber Daya Ikan Saepul Bachri memberikan penjelasan. Dia memaparkan, berdasarkan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 yang mengatur tentang pengolahan lobster, kepiting dan rajungan dijelaskan jika pengiriman lobster atau BBL sudah legal atau boleh ditangkap nelayan. Namun ada sistem yang mengatur penangkapan dan pengiriman BBL. Nelayan tersebut harus terdaftar dalam satu kelompok dan sudah mendapatkan kuota.
“Syaratnya, nelayan tersebut harus berkelompok minimal 10 orang. Setelah itu, mereka mengajukan agar terdaftar sebagai nelayan penangkapan lobster melalui Apliaksi Siloker yang disiapkan KKP,” paparnya.
Tercatat, ada 1.036 nelayan dari 67 kelompok nelayan di NTB sudah terdaftar di Siloker atau yang terdaftar boleh menangkap dan menjual BBL. Total BBL yang boleh dijual dari NTB berdasarkan kuota yang diberikan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebanyak 6.072.238 ekor selama satu tahun. Kuota ini diberikan ke Dinas Kelautan dan Perikanan NTB dan didistribusikan ke kelompok nelayan di NTB.
“Sebenarnya kuota ini sangat kurang,” ujar Bachri.
Lebih lanjut, Bachri menerangkan jika BBL tangkapan nelayan NTB ini nanti dijual ke BLU Situbondo yang bekerja sama dengan lima koperasi yang ada di NTB. bekerja sama dengan BLU Sitobondo. Kelompok nelayan tidak bisa menjual tangkapan BBL-nya selain ke koperasi yang lima tersebut.
Lima koperasi tersebut yakni Koperasi Serikat Nelayan Independen dan Bina Negara Laut di Lombok Timur. Kemudian Koperasi Bubuh Raden Kukuh dan Syariah Sami Rahayu Maju di Lombok Tengah dan Koperasi Syariah Bina Laut di Lombok Barat. Koperasi inilah yang bekerja sama dengan BLU Situbond yang nantinya memiliki kewenangan ekspor ke luar negeri.
“Untuk harga BBL sudah diatur harga terendah Rp 8.500 per ekor. Bisa lebih tetapi tidak ada batas tertinggi. Tujuannya untuk menyejahterakan nelayan,” urainya.
Idealnya, dengan kuantitas lebih banyak dan harga lebih kompetitif, sesuai prinsip ekonomi, seharusnya BBL dari Provinsi NTB lebih diminati pasar. Namun fakta dilapangan, BBL dari daerah lain yang harganya lebih mahal lebih banyak diserap pasar. Ini yang kemudian membuat kelompok nelayan di NTB banyak yang melempar BBL dari NTB ke daerah lain. Tujuannya untuk mendapatkan keuntungan dari selisih harga.
Kondisi tersebut sangat merugikan nelayan dan Pemerintah Provinsi NTB. Dimana melimpahnya kuantitas BBL, harusnya bisa menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Melimpahnya BBL ini juga harusnya bisa mensejahterakan nelayan di NTB. Namun faktanya tidak demikian.
Bachri mengaku tidak menutup kemungkinan memang ada indikasi hal tersebut. Namun ketika ditemukan hal tersebut, sesuai SK Kementerian Kelautan dan Perikanan, mereka bisa diberikan sanksi administrasi berupa pencabutan izin menangkap BBL.
Kemudian, Dinas Kelautan dan Perikanan NTB juga kini tengah berupaya untuk menghadirkan BLU terpusat yang ada di NTB. “Kami sudah bersurat ke Kementerian meminta agar BLU ada di NTB. Agar dari sini bisa mengirim langsung ke perusahaan pembeli yang ada di Vietnam,” ujarnya.
Surat permintaan hadirnya BLU tersebut dikatakan Saepul Bachri sudah dikirim 31 Juli lalu. Ini bisa menjadi solusi yang perlu dipertimbangkan. Dengan hadirnya BLU di NTB, Pengiriman BBL bisa satu pintu. Harapannya, celah oknum nakal yang hendak melakukan penyelundupan atau pengiriman BBL secara ilegal lebih kecil.
Kemudian pengiriman BBL dari NTB, termasuk untuk budidaya, bisa lebih terkontrol. Dengan demikian, potensi kerugian nelayan dan Pemprov NTB bisa diminimalisir.
Terpisah, pihak Ditpolairud Polda NTB melalui Kasubdit Gakkum AKBP Muh Anton Bhayangkara Gaisar terkait persoalan ini belum bisa berkomentar banyak. “Nanti saya telpon balik, masih ada kegiatan,” jawabnya via pesan WhatsApp,” tandasnya.(win)