IST/RADAR MANDALIKA Dr. Kadri

TELAH menjadi tradisi layaknya stimulus-respon setiap ada kebijakan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu mendapat dari masyarakat. Mahasiswa biasanya menjadi elemen masyarakat yang sangat responsif terhadap kebijakan tersebut dengan selalu memilih demonstrasi sebagai saluran menyampaikan aspirasi penolakan (yang sebagaian di antaranya berujung anarki). Bentuk respon seperti ini yang membuat image terhadap kebijakan penyesuaian harga BBM selalu terwariskan secara negatif dari waktu ke waktu. Wacana tandingan yang coba digelorakan pemerintah dan kelompok masyarakat yang pro penyesuaian harga BBM terlihat belum mampu mengimbangi (apalagi menghapus) image negatif tersebut, meskipun rasionalisasi kebijakan yang dijelaskan oleh pemerintah sangat argumentatif.

Setiap momentum kebijakan penyesuaian harga BBM selalu menyisahkan dua hal yang susah dipertemukan, yakni penjelasan pemerintah tentang kebijakan penyesuaian harga BBM dan penolakan masyarakat (terutama mahasiswa) atas kebijakan tersebut. Padahal bila kedua belah pihak mampu menghadirkan komunikasi yang efektif dalam menyampaiakan kebijakan (pemerintah) dan merespon kebijakan (masyarakat dan mahasiswa) maka keputusan penyesuaian harga BBM akan bisa diterima tanpa resistensi yang berarti. Komunikasi efektif antara pemerintah dan masyarakat dapat diwujudkan dengan cara memperbesar irisan kesepahaman tentang tujuan penyesuaian harga BBM, yang setidaknya dapat dilakukan dengan mengimplementasikan beberapa strategi komunikasi sebagai beikut.

Pertama, perkuat sosialisasi. diseminasi informasi seputar kebijakan penyesuaian harga BBM perlu diefektif dan dimasifkan, sehingga diperlukan cara-cara yang kreatif dalam mensosialisasikan kebijakan yang dianggap tidak populis seperti penyesuaian harga BBM. Resistensi terhadap suatu kebijakan sangat mungkin disebabkan oleh keterbatasan pemahaman masyarakat atas kebijakan tersebut. Oleh karena itu, infomasi yang didiseminasikan tidak hanya mempertimbangkan kuantitas dan intensitas informasi tetapi juga memperhatikan kualitas dan komprehensifitas-nya. Diskusi dan wacana kebijakan penyesuaian harga BBM sejatinya harus jauh hari dilempar ke publik agar pemerintah memiliki waktu yang relatif lama untuk memberi pemahaman kepada masyarakat perihal kebijakannya. Alasannya apa, dampak bagi keuangan negara bagaimana, solusi dari efek kebijakan bagi masyarakat seperti apa, langkah-langkah yang akan diambil apa saja. Jawaban atas semua pertanyaan ini harus disertakan dalam diseminasi informasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Kedua, hilangkan prasangka saat berkomunikasi. Prasangka adalah faktor penghabat utama komunikasi efektif. Pemerintah tetap harus berprasangka baik pada masyarakat yang menolak kebijakan penyesuaian harga BBM, paling tidak dengan berpikir bahwa masyarakat belum mendapatkan informasi yang koprehensif terkait dengan alasan penyesuaian harga BBM. Sikap seperti ini dapat menginspirasi pemerintah untuk memikirkan dan mengeksekusi metode diseminasi informasi yang massif dan efektif terkait dengan kebijakan penyesuaian harga BBM. Masyarakat pun seharusnya membuang prasangka buruk pada pemerintah yang merupakan creator kebijakan penyesuaian harga BBM. Dalam pikiran masyarakat mesti dibiasakan berasumsi bahwa tidak ada pemerintah yang hendak menjerumuskan rakyatnya ke arah keterpurukan. Pikiran seperti ini bukan berarti mereduksi sikap kritis rakyat, tetapi hanya untuk meminimalisir resistensi yang bersifat anarki sekaligus untuk melapangkan jalan dialog yang lebih rasional dan argumentatif.

Ketiga, pahami dan arifi eksistensi orang lain. Komunikasi antara lain dimaknai sebagai proses yang transaksional. Transaksi dalam konteks ini bersifat psikis dengan cara hadir untuk “menjadi” diri mitra komunikasi kita sehingga kita benar-benar memahami eksistensinya. Proses transaksi dalam komunikasi seperti inilah yang memungkinkan setiap pikiran dan pesan yang kita sampaikan akan sesuai dengan kebutuahn dan ekspektasi mitra komunikasi kita. Ketika hendak merumuskan kebijakan penyesuaian harga BBM, pemerintah harus hadir dan merasakan jeritan hati rakyat yang akan menerima efek domino dari kebijakan tersebut. Dari hasil transaksi seperti ini diharapkan hadir rumusan kebijakan yang tepat dalam membuat katub pengaman sosial dari dampak penyesuaian harga BBM. Masyarakat juga secara transaksional harus hadir dalam “diri” pemerintah agar bisa membayangkan betapa sulitnya posisi pemerintah dalam mengambil kebijakan penyesuaian harga BBM, yakni antara menyelamatkan keuangan negara —dari subsidi BBM yang konon 80 % nya dimanfaatkan oleh pengguna BBM dari kalangan berada— dan memikirkan dampak ikutannya bagi rakyat yang belum pulih benar dari hantaman pandemi COVID-19.

Keempat, mentradisikan dialog yang efektif. Dialog menjadi agenda penting untuk mempertemukan para pihak yang berbeda pendapat tentang suatu hal. Mereka bisa mencari solusi atas persoalan yang dipermasalahkan. Dialog akan efektif dan menghasilkan keputusan terbaik bila semua pihak yang hadir di dalamnya punya niat baik untuk menemukan solusi, bukan bersikukuh mempertahankan keinginan walau dinilai lemah dan kurang argumentatif. Solusi terbaik biasanya lahir dari proses dialog yang tenang, rasional dan demokratis di tempat yang nyaman secara fisik dan psikis. Bila ada pro-kontra seputar kebijakan penyesuaian harga BBM maka forum dialog menjadi solusi untuk menemukan kesamaan pemahaman akan hal tersebut. Dialog dalam suasana tenang, rasional, demokratis, di tempat yang tenang, bukan dialog emosional disertai aksi anarki di tempat yang panas penuh tekanan seperti yang dilakukan oleh para demonstran. Apalagi cara-cara dialog dan penyampaian aspirasi tersebut sampai mengganggu ketertiban umum dan menghalangi hak orang lain.

Sejatinya dialog tidak hanya dilaksanakan sebagai bentuk respon atas suatu kebijakan yang telah diambil, tetapi harus digelar kala proses perumusan kebijakan dan di saat kebijakan diimplementasikan. Dalam konteks kebijakan penyesuaian harga BBM misalnya, masyarakat dan pemerintah berdialog untuk memastikan kebijakan disusun secara partisipatif dan hasilnya berpihak pada kepentingan negara dan rakyatnya. Inilah esensi demokrasi deliberatif dari Habermas, dengan menjadikan forum dialog sebagai ruang publik yang produktif.  Forum dialog yang tidak kalah pentingnya adalah saat proses implementasi kebijakan, dimana masyarakat bisa menyampaikan hasil pengawasannya kepada pemerintah sebagai creator kebijakan. Kompensasi penyesuaian harga BBM dalam bentuk program pemberdayaan sosial harus dikawal oleh masyarakat agar tepat sasaran, dan pemerintah harus secara transparan mengimplementasikannya dan bersedia berdialog untuk mendengar masukan dan kritik publik demi penyempurnaan program yang sama pada waktu yang akan datang. Bila tradisi dialog seperti ini bisa dibudayakan maka akan terbentuk masyarakat komunikatif, yang dapat dijadikan sebagai modal untuk bersinergi membangun negeri tanpa hiruk-pikuk aksi-aksi yang tidak produktif. Semoga.(*)

 

 

50% LikesVS
50% Dislikes
Post Views : 367

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *