PRAYA – Buntut permasalahan yang dialami, Kepala Desa (Kades) Darek, H Ismail Sahabudin akhirnya melayangkan surat permintaan non aktif kepada Bupati Lombok Tengah. Hal itu dibenarkan Camat Praya Barat Daya, HM Rumetan, kemarin.
Camat menjelaskan, pihaknya telah menerima tembusan surat Kades Darek terkait permintaannya untuk dinonaktifkan sementara lantaran kasus yang sedang melilitnya.
“Kita baru saja terima surat permintaan nonaktif dari yang bersangkutan,” jelasnya pada Radar Mandalika, kemarin.
Dengan adanya surat tersebut, camat menjelaskan, tidak serta merta yang bersangkutan bisa dinonaktifkan. Pasalnya, ada beberapa unsur yang harus dipenuhi sehingga kades bisa dinonaktifkan, seperti adanya pelaporan hingga masuk proses hukum. Namun dalam masalah tersebut ungkapnya yang bersangkutan tidak pernah dilaporkan, sehingga unsur tersebut belum terpenuhi.
“Tidak ada laporan, ini masih akan diselesaikan secara kekeluargaan dan hukum adat,” jelasnya.
Dalam kejadian tersebut, pengakuan hanya dari pihak perempuan. Namun kades sendiri jelasnya, membantah dan siap untuk dilakukan tes DNA untuk mengetahui kepastian bayi yang telah lahir tersebut.
Dia juga menjelaskan, sebelumnya kepala desa tidak pernah dilakukan penahanan di Polsek Praya Barat Daya. Hanya saja pengamanan lantaran kades didatangi secara tiba- tiba oleh keluarga dari suaminya tersebut.
“Kita kumpul berdiskusi bersama para kades di Praya Barat Daya dan langsung dibawa pulang, tidak ada penahanan,” jelasnya.
Berkaitan dengan eksekusi surat permintaan Kades, camat menjelaskan, menjadi wewenang bupati. Pihak kecamatan hanya bisa melakukan tindakan untuk memastikan pelayanan masyarakat di desa tetap berjalan seperti biasa.
“BPD dan Sekdes juga datang ke sini tadi, kita tegaskan agar pelayanan bisa tetap berjalan seperti biasa,” tegasnya.
Sementara berkaitan dengan konsekuensi hukum dari dugaan yang dilakukan oleh kades yang bersangkutan, camat menerangkan, jika memenuhi kriteria hukum pidana. Mulai dari adanya laporan dan bukti yang kuat, yang bersangkutan hanya akan diancam dengan ancaman penjara selama enam bulan.
Dengan demikian konsekuensi hukum tersebut ungkapnya tidak bisa menjadi alasan kepala desa bisa dicopot dari jabatannya.
“Kita telah konsultasi dengan pengacara, jika dugaan tersebut terbukti kades hanya diancam penjara selama enam bulan, belum memenuhi unsur untuk diberhentikan secara permanen,” jelasnya.
Kendati demikian, camat menjelaskan, tetap mengarahkan persoalan ini dapat diselesaikan melalui hukum adat. Menurutnya, adanya kesepakatan melalui hukum adat akan bisa menjadi hukuman yang adil bagi yang bersangkutan. Menurutnya, konsekuensi hukum adat juga akan lebih besar dibandingkan dengan ancaman penjara enam bulan.
Lebih lanjut, dia berharap, permasalahan tersebut dapat menjadi pelajaran bagi pemangku kebijakan di desa agar bisa bekerja lebih baik.
“Setiap peristiwa ada hikmahnya apa yang terjadi dapat menjadi bahan kita untuk belajar,” tegasnya. (ndi/tim)