Made Selamat (JHONI SUTANGGA/RADAR MANDALIKA)

MATARAM – Kondisi postur APBD NTB tahun masih masih terus disoal wakil rakyat di DPRD NTB. Antara asumsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan beban hutang Pemprov NTB yang wajib diselesaikan jauh panggang dari Api. Anggota DPRD NTB, Made Selamet menemukan kejanggalan proyeksi potensi PAD khusus dari tiga Gili, Trawangan, Meno dan Air (Tramena) yang dilihatnya sangat mustahil bisa tercapai.

“Proyeksinya dari Tramena sangat jauh. Mustahil bisa terwujud. Masak targetnya sampai triliunan,” ungkap Made Selamet heran di Mataram kemarin.

Lahan yang pernah dikuasi PT Gili Trawangan tersebut mencapai 65 Hektare.
Berdasarkan informasi yang didapatkannya Pemprov cukup kuat mengandalkan PAD terutama dari Trawangan. Padahal hal yang bisa dilakukan Pemprov hanya sewa lahan saja. Adapun keberadaan hotel dan restoran retribusinya masuk ke kabupaten Lombok Utara saja.

“Memprediksi pendapatan dari Gili Trawangan sampai triliunan. Padahal itu dari sewa lahan. Bagaimana cara ngitungnya,” katanya.

Pemprov dinilai berlebihan dalam menentukan target PAD. Tidak melihat aspek pertumbuhan ekonomi pasca dilanda Covid-19 ini.

“Target PAD ini lebih besar pasak dari tiang,” ucapnya.

Sebagai anggota Komisi II yang bermitra dengan Dinas Pariwisata, Made sempat mempertanyakan bagaimana pola hitungannya. Ternyata Dispar tidak mampu menjawab.

“Itu sudah saya kejar tapi dinas tidak bisa jawab,” katanya.

Politisi PDIP tersebut meminta Pemprov supaya lebih realistis dalam menentukan target PAD. Jangan sampai mencantumkan potensi PAD besar di salah satu obyek justru tidak tercapai.

“Kalau tidak tercapai kan kacau. Saya yakin ndak tercapai,” yakinnya.

Made Selamet tidak ingin Pemprov malu sendiri dengan perencanaan yang dibuatnya.

“Ini berlebihan sekali proyeksi pendapatan mereka. Kalau tidak tercapai kan malu,” ucap Politisi Dapil 1 Kota Mataram itu.

Made Selamet tidak menampik beban Pemprov pada pembayaran program 2022 di tahun ini mencapai 70 persen. Di satu sisi perencanaan potensi PAD Pemprov dilihatnya tidak masuk akal.

“Ini bahaya cantumkan PAD seperti itu,” pungkasnya.

Sementara itu Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTBĀ  menganalisa kinerja optimalisasi PAD Pemprov NTB. Data yang ditemukannya Pemprov NTB belum mampu mengoptimalkan PAD yang besar. Konsekuensinya kondisi fiskal APBD NTB tren nya tetap lemah.

Ketua FITRA NTB Ramli Ernanda menjelaskan tingkat pertumbuhan ekonomi yang stabil sejauh ini belum mampu dioptimalkan oleh Pemprov NTB sebagai potensi penerimaan PAD. Meskipun pertumbuhan rata-rata PAD tinggi, namun belum mencerminkan optimalisasi potensi yang ada. Sepanjang periode 2010-2021, realisasi pertumbuhan nominal PAD rata-rata sekitar 13,5%. Meskipun pertumbuhannya relative tinggi, namun tingkat kepekaannya terhadap pertumbuhan ekonomi masih rendah, yang ditunjukkan dari nilai elastisitas PAD rata-rata dalam 15 tahun terakhir hanya sebesar 0,6 (inelastis), yang berarti nominal PAD hanya mampu tumbuh rata-rata sekitar 0,6% untuk setiap kenaikan 1% PDRB.

Ramli mengamati, tiga tahun terakhir Pemprov menetapkan target penerimaan PAD di atas potensi minimum, namun tingkat capaiannya lebih rendah dari potensi yang ada. Berdasarkan perhitungan analisis tren, potensi minimum PAD yang dapat dioptimalkan sebesar Rp 2,07 triliun, namun yang mampu digali hanya sekitar 91,0%.

“Capaian tersebut bahkan jauh lebih rendah dari yang ditargetkan dalam APBD Perubahan 2021,” tegas Ramli belum lama lama ini.

Tahun 2023 ini, Pemprov NTB kembali menargetkan penerimaan PAD yang jauh lebih tinggi dari potensi minimum dengan mempertimbangkan berbagai upaya intensifikasi dan ekstensifikasi sumber PAD yang tersedia, serta mempertimbangkan asumsi makro ekonomi yang terus membaik. Namun demikian, target penerimaan tersebut perlu diimbangi dengan perbaikan kinerja dan kelembagaan agar seluruh potensi PAD dapat dioptimalkan, termasuk meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan.

Berdasarkan Perbandingan Potensi Minimum PAD, Realisasi dan Target dalam APBD Provinsi NTB yaitu pertama Potensi minimum PAD pada APBD realisasi 2021 Rp 2.075.828,86, APBD Perubahan 2022 Rp 2.200.913,97 dan APBD murni 2023Rp 2.325.999,08.

Sementara Proyeksi RPJMD di 2021 Rp 1.954.341,22 lalu di APBD 2022 sebesar Rp 2.142.803,21 dan di APBD murni 2023 sebesar Rp 2.347.637,23. Sementara target PAD 2021 Rp 2.258.283,42, 2022Rp 2.735.041,23 dan 2023 Rp 2.985.278,11. Adapun realisasi PAD Rp1.888.456,29.

Ramli mengatakan Pemprov NTB sejauh ini sangat fokus mengoptimalkan potensi penerimaan dari Pajak Daerah. Namun belum memberikan perhatian serupa pada optimalisasi potensi jenis PAD yang lain, khususnya Retribusi Daerah dan penerimaan bagian laba dari penyertaan modal pada BUMD.

“Sementara penerimaan Retribusi Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan cenderung mengalami penurunan, yang mengindikasikan dua jenis sumber PAD ini belum dioptimalkan dalam meningkatkan kemandirian daerah,” terangnya.

Hasil analisa FITRA juga ternyata penerimaan Retribusi Daerah diduga mengalami kebocoran dan perencanaan target tidak sesuai dengan potensi riil. Tren realisasi penerimaan Retribusi Daerah dalam empat tahun (2019-2021) menunjukkan kinerja yang tidak efektif. Rata-rata capaian realisasi tahunan hanya sekitar 41,2% dari target atau potensi yang teridentifikasi. Di sisi lain, nominal realisasi Retribusi Daerah pun cenderung mengalami penurunan signifikan, rata-rata sekitar 19,6% per tahun sepanjang 2019-2021.

Indikasi ini diperkuat oleh temuan BPK pada tahun anggaran 2020, yang menemukan bahwa penentuan target retribusi pelayanan tempat penginapan/pesanggrahan/vila; dan retribusi penyewaan tanah dan bangunan pada Dinas Koperasi UKM tidak menunjukkan potensi riil, dan pencatatan penerimaan dan pengeluaran karcis kunjungan pada Museum NTB tidak dilakukan sehingga nilai penerimaan retribusi pemakaian kekayaan daerah pada Museum Negeri NTB tidak dapat diyakini kebenarannya oleh auditor BPK.

Pada tahun 2023, target PAD berkurang 17,9% dibandingkan target tahun lalu. Seluruh penerimaan dari objek retribusi daerah tidak mengalami peningkatan dan beberapa justru mengalami penurunan signifikan, meskipun asumsi makroekonomi mengalami perubahan. Target objek retribusi yang tidak mengalami perubahan diantaranya, retribusi penggantian biaya cetak peta, retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi terminal, retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/villa, retribusi penjualan produksi usaha daerah, dan izin trayek. Sedangkan objek retribusi yang mengalami penurunan nominal, yaitu retribusi pelayanan kesehatan (-80,2%), retribusi izin usaha perikanan (-71,7%), dan retribusi tempat rekreasi dan olah raga (-69,1%). Diindikasikan bahwa penetapan target penerimaan dari dua objek retribusi yang disebut di awal berada di bawah potensi riil (mark down). Adapun retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Orang Asing (IMTA) tidak dianggarkan kembali.

Target nominal HPKD tahun 2023 ditargetkan sebesar Rp 67,24 miliar tumbuh optimis sebesar 11,5% dibandingkan target pada APBD-P 2022. Pada lima tahun sebelumnya (2017-2021) manfaat ekonomi dalam bentuk bagi hasil (deviden) yang diterima daerah atas total nilai investasi jangka panjang Pemprov NTB terus menurun. Penurunan tersebut diindikasikan oleh rasio nominal HPKD terhadap nilai total investasi jangka panjang daerah, yang pada tahun 2021 bernilai Rp847,86 miliar.

Sebagian besar penerimaan HPKD bersumber dari deviden atau bagian laba atas penyertaan modal Pemprov NTB pada Bank NTB dengan rata-rata kontribusi 80,0%. Sedangkan kontribusi bagian laba dari PD BPR-LKP mencapai 17,5%. Adapun kontribusi PT GNE, PT Jamkrida dan PT Asuransi Bangun Askrida rata-rata di bawah 1,5%. Sebelum divestasi saham Pemprov NTB yang ada pada PT Daerah Maju Bersaing (DMB), kontribusi deviden PT DMB terhadap penerimaan HKPD merupakan yang terbesar (54,4%) pada tahun 2017, melebihi deviden PT Bank NTB.

Rendahnya capaian dalam optimalisasi PAD Provinsi NTB disebabkan oleh beberapa hal diantaranya lemahnya kemampuan perangkat daerah dalam merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan pendapatan yang diperlukan dalam melakukan optimalisasi PAD, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Pelayanan perpajakan, retribusi dan BLUD belum sesuai dengan tuntutan masyarakat. Belum optimalnya pemanfaatan aset daerah. Rendahnya kinerja BUMD dalam mendukung kemandirian daerah. Lemahnya pengawasan dan pengendalian dalam upaya optimalisasi PAD oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab.

Situasi ini setidaknya berimplikasi pada beberapa hal. Pertama, kapasitas fiskal daerah yang semakin terbatas dapat menghambat pencapaian visi dan misi pembangunan daerah, di tengah makin besarnya beban belanja rutin dan tuntutan pelayanan masyarakat. Kedua, meningkatkan risiko menurunnya kesehatan fiskal daerah, dan menggangu keberlanjutan fiskal daerah serta berpotensi menambah beban utang daerah. Ketiga, dapat menghambat berfungsinya kebijakan anggaran dalam redistribusi sumber daya publik untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (jho)

50% LikesVS
50% Dislikes
Post Views : 446

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *