PRAYA – Selama masa kampanye Pemilu 2024 di Lombok Tengah (Loteng), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan kegiatan yang digelar para peserta pemilu ternyata sebagian besar tanpa mengantongi Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP).
Koordinator Devisi (Kordiv) Penanganan Pelanggaran dan Data Informasi Bawaslu Loteng, Abdul Muis mengungkapkan, berdasarkan laporan yang direkap dari kegiatan kampanye yang dilakukan di Loteng per tanggal 11 Desember 2023, dari jumlah kegiatan yang mengantongi STTP sebayak 12 kegiatan kampanye, sementara 59 kehitaman diantaranya tanpa mengantongi STTP.
“Kampanyenya kan seharusnya mengantongi STTP, namun fakatanya banyak kegiatan kampanye tanpa STTP, hanya dengan alasan pengurusan STTP yang mepet. Padahal hasil koordinasi kita dengan pihak Kepolisian bisa pengajuan kolektif,” ungkapnya.
Dikatakan, Selama ini kebanyakan para penyelanggara kampanye hanya melakukan pengajuan STTP pada H-1. Padahal secara aturan di Kepolisian itu harus diajukan minimal H-3 sebelum kegiatan digelar, dengan melampirkan secara detail kegiatannya tersebut. Inipun bentuknya hanya surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian.
Terhadap kegiatan kampanye dengan tanpa mengantongi STTP, Bawaslu masih sebatas memberikan teguran berupa peringatan. Dimana saat kegiatan kampanye peserta pemilu (Caleg) berikutnya harus mengantongi STTP.
“Kita sementara hanya peringatan. Setelah ini kemudian jika demikian lagi maka kami akan proses. Bahkan apabila membandel maka kita akan minta pending kegiatan sambil mengurus STTP dulu, karena pembubaran kita belum punya wewenang,” jelasnya.
Secara aturan tanpa STTP peserta pemilu tidak boleh berkampanye. Hal ini berlaku baik untuk caleg tingka daerah maupun nasional.
Mengingat berdasarkan Undang-undang nomor 07, pembubaran itu merupakan wewenang dari jajaran KPU tingkat Kecamatan (PPK) atau Desa maupun Kelurahan (PPS). Dimana secara alurnya Bawaslu menyampaikan laporan ke KPU kemudian diteruskan ke PPK maupun PPS dan ditindak lanjuti. Kemudian soal sangsi apakah akan dilakukan pembubaran ataupun sangsi lainnya itu ditetapkan oleh pihak tersebut.
“Kita tidak berwewenang dalam hal penindakan, hanya menyampaikan laporan dan rekomendasi kepada KPU, dan meneruskan ke jajaranya ke bawah kemudian merekalah yang menentukan tindakan yang akan diambil,” ucapnya.
Selama ini setiap dilakukan Rapat Koordinasi (Rakor) dengan KPU supaya mengingatkan jajaran bawah terkait wewenang itu. Bahkan saat beberapa kali Rakor di tingkat Provinsi itu disampaikan, mengingat hal ini sesuai dengan pasal 309. (tim)