MATARAM – Kesepakatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan komisi II DPR RI untuk Pilkada serentak akan berlangsung 9 Desember ini, nampaknya belum mendapatkan dukungan penuh dari berbagai pihak. Termasuk dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Anggota Komite I DPD RI, Achmad Sukisman Azmy justru meminta agar Pilkada ditunda hingga 2021.
Kepada media, Sukisman menjabarkan alasan usulan penundaannya. Pertama bencana Covid-19 belum berakhir dan tidak jelas kapan akan berakhir, sehingga menurutnya pemerintah perlu kembali mempertimbangkan keputusan Pilkada serentak di akhir tahun ini.
Berikutnya, biaya Pilkada ikut membengkak karena jika tetap berlangsung banyak tambahan item pendukung untuk memenuhi protokoler Kesehatan Covid-19. Berdasarkan tahapan KPU akan dimulai 15 Juni ini. KPU akan melakukan sejumlah kegiatan tahapan yang memang sempat tertunda akibat Covid-19 ini seperti, verifikasi faktual, pelantikan perangkat KPU yaitu pengaktifan PPK dan PPS tingkat desa dimana masih banyak yang belum dilantik. Sementara menurutnya tahapan itu dianggap tidak akan maksimal berlangsung.
“Tahapan lima sisa Pilkada yang dimulai 15 Juni itu dipastikan tidak optimal akibat Covid-19 ini,” yakin Sukisman.
Tidak berhenti sampai disitu saja. Menurutnya tenaga (instrumen KPU) dan masyarakat umumnya dianggapnya sangat rentan bisa saling menularkan, sehingga mereka menjadi cemas. Sukisman berpendapat kondisi ekonomi negara yang stagnan dan sebagian besar untuk Covid-1 akan lebih baik jika dana Pilkada untuk memperbaiki ekonomi nasional di tahun ini. Terlebih ekonomi sektor yang sangat terpuruk akibat Covid-19 tersebut.
“Belum lagi kita bicara sensus penduduk belum berakhir, sehingga data pemilih belum siap sehingga hasilnya tidak akan optimal,” katanya.
Sukisman juga melihat tidak ada jaminan keselamatan untuk penyelenggara dan masyarakat, sehingga bisa menyebabkan partisifasi peserta Pilkada bisa rendah. Bahkan bisa menyebabkan korban penyelenggara Pilkada lebih besar dari
pemilu 2019 lalu. Sementara mereka tidak punya jaminan asuransi dari pemerintah. Tenaga medis kualahan pun saat ini sudah kualahan jangan lalu ditambahi lagi karena Pilkada. Ia juga mengatakan lebih dari 105 juta warga di 27 provinsi terlibat Pilkada serentak yang tingkat pendidikan dan kondisinya daerah berbeda memerlukan penangan yang berbeda termasuk perlengkapan Pilkada seperti formulir surat suara dan lain lain sehingga hal demikian perlu menjadi pertimbangan penting. Jikapun akan tetap berlangsung menurutnya kesiapan pelaksanaannya terkesan dipaksakan dan juga tidak ada disain teknis tata cara Pilkada diera pandemi Covid-19 19 yang menyerang dunia saat ini.
“Khawatir muncul klaster baru akibat tahapan pilkada dan TPS,” katanya.
Saat ini berbagai jenia bantuan dari pemerintah telah banyak disalurkan. Jangan sampai bantuan tersebut justru diklaim dan dijadikan alat kampanye terutama bagi petahana.
“Pembagian BLT dan lain bisa dijadikan kampanye dini bagi petahana,” pungkasnya. (jho)