MATARAM – Salah satu pegiat sosial NTB, Yan Mangandar Putra menolak pembiaran joki cilik kuda di Sumbawa. Bahkan ada 41 gabungan organisasi masyarakat sipil dan organisasi mahasiswa ramai-ramai membuat petisi menolak tegas pembiaran joki cilik tersebut. Mereka menggalang 10.000 tandatangan petisi penolakan joki cilik.
“Semoga 13 hari bisa tembus 10.000 orang yang tandatangan,” tegas salah satu inisiator petisi tolak joki cilik ini.
Yan menegaskan maraknya penggunaan joki anak umur 4,5 tahun sampai 11 tahun dalam latihan dan lomba pacuan kuda tradisional di Pulau Sumbawa telah mengakibatkan dua anak mati sia-sia yaitu, Muhammad Sabila Putra umur 9 tahun pada 19 Oktober 2019 dan anak Muhammad Alfin umur 6 tahun pada 6 Maret 2022.
“Keduanya dari Pulau Sumbawa,” bebernya.
Ia menegaskan, keliru bila mengatakan joki anak di arena pacuan kuda adalah tradisi/budaya, karena di NTB tidak ada catatan sejarah apapun terkait joki anak dalam pacuan kuda tradisonal baik sebelum dan pada saat jaman penjajahan Hindia Belanda – Jepang, tidak ada dalam syair dan tidak ada tuturan yang dikisahkan dalam tembok istana maupun masyarakat di Bima. “Tidak ada dalam naskah Bo Sangaji Kai dan naskah Bima lainnya. Melainkan kuda hanya sebagai moda transportasi pengangkutan barang/manusia,” sebutnya.
Penggunaan joki anak pertimbangan utamanya adalah kondisi kuda yang apabila jokinya makin kecil dan bertubuh ringan maka kudanya akan lebih bisa berlari lebih kencang, sedangkan terkait keamanan nyawa anak nomor kesekian, hal ini bisa dilihat dari pakaian joki anak hanya bahan kaos, topeng wol, tanpa sepatu, helm seadanya dan kudanya tidak menggunakan pelana sehingga joki anak agar tidak terjatuh hanya perpegangan pada tali dekat mulut kuda serta harus mengendarai kuda semua kelas dari yang kelas paling ringan sampe yang paling berat sehingga tidak heran dalam sehari 1 anak bisa menunggangi sekitar 15 kuda. Mirisnya, hampir semua Joki anak berasal dari keluarga Miskin, sedangkan para pemilik kuda dan penyelenggara pacuan kuda tradisional adalah rata-rata dari kaum elit seperti Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota), Pejabat di Instansi Pemerintah Daerah/Desa, DPRD, Petinggi di Perusahaan Daerah, Pengusaha, anggota TNI/Polri.
Yan mengatakan, Joki Anak merupakan kekerasan terhadap anak (child abuse) atau perlakuan salah segala bentuk perlakuan buruk secara fisik dan atau mental, kekerasan seksual, pengabaian atau penelantaran atau eksploitasi komersial, atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan bahaya nyata atau potensial bahaya yang mengancam kesehatan, kelangsungan hidup, tumbuh kembang atau martabat anak dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
“Ini sesui data UNICEF tahun 2008,” ungkap anggota Tim Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Fakultas Hukum Universitas Mataram itu.
Selain masalah kekerasan tersebut, hal yang dihadapi Anak yang menjadi joki kuda pacuan yaitu Anak dapat kehilangan hak dasarnya yaitu Pendidikan karena seringkali anak yang mengikuti pacuan terutama di daerah yang jauh dari tempat tinggal dan anak harus tinggal berhari-hari hingga berbulan mengakibatkan anak harus meninggalkan sekolahnya. Kedua membahayakan kesehatan anak, seringkali apabila anak mengikuti kegiatan jauh dari rumahnya maka menginap dengan keadaan seadanya sekitar kandang kuda, tenda atau mobil pick up dan di arena pacuan kuda minim bahkan hampir tidak ada tenaga medis. Ketiga Terjadi Eksploitasi ekonomi, Joki Anak menjadi tulang punggung keluarga karena tiap anak menunggangi 1 kuda biasanya dibayar Rp.100.000,- atau apabila menang bisa sampe Rp.500.000,- hingga orangtua merasa bergantung.
Pada tahun 2019 ketika kematian joki anak Muhammad Sabila Putra (umur 9 tahun) koalisi joki anak yang terdiri dari 41 (empat puluh satu) organisasi masyarakat sipil dan organisasi mahasiswa se-NTB telah melaporkan Dandim TNI AD 1608/Bima selaku Ketua Panitia Penyelenggara Pacuan Kuda yang mengakibatkan anak tewas atas dugaan tindak pidana eksploitasi anak kepada Komandan Datasemen Polisi Militer IX/2 Mataram dan diproses, namun oleh karena ada permohonan maaf dan menyatakan bahwa Kodim 1608/Bima tidak akan menyelenggarakan pacuan kuda yang menggunakan joki cilik maka koalisi mencabut laporan.
Selanjutnya Pemerintah Provinsi NTB melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB mengajak koalisi untuk membahas draft Pergub tentang Perlindungan Anak Dari Zona Bebas Pekerjaan Terburuk Bagi Anak di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang juga mengatur mengenai joki. Pembahasan draft tersebut juga difasilitasi oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), namun sayangnya pembahasan draft Pergub tersebut tidak dilanjutkan.
“Pada 23 Juni 2022 saya Yan mangandar putra, Joko jumadi, Arya pratama, Deden kempo, Andre safutra dan Muhammad khairul rizal perwakilan Koalisi Stop Joki Anak telah mengajukan Laporan Pidana atas dugaan tindak pidana eksploitasi terhadap anak dan/atau penyediaan tempat perjudian oleh Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) selaku Penyelenggara Pacuan Kuda Penyaring Sumbawa Tahun 2022 (side event MXGP) yang diduga dalan event tersebut telah melakukan tindak pidana eksploitasi terhadap anak dan/atau penyediaan tempat perjudian,” katanya.
Sejak 2019 sampai sekarang Koalisi sudah berupaya maksimal melakukan Advokasi terkait Joki Anak dari mengajukan laporan pidana untu penyelenggara event pacuan kuda, terlibat aktif dalam pembahasan draft Pergub, mengadakan diskusi melibatkan Budayawan dan Lembaga pemerintah terkait, melakukan aksi damai didepan Kantor Wilayah Kemenkumham NTB, kantor gubernur dan kantor DPRD NTB lalu dilakukan Investigasi hingga press release beberapa kali yang kemudian Menteri Kementerian Pemeberdayaan dan Perlindungan Anak (KEMEN PPPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah menyatakan Joki Anak adalah Eksploitasi Anak dan mendorong penegakan hukum, kemudian Anggota dan Ketua DPRD telah secara tegas meminta joki anak dihentikan dan terakhir Kantor Wilayah Kemenkumham NTB menyatakan Joki Anak adalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
“Sampai hari ini Gubernur NTB ‘diam’ dan terus membiarkan joki anak bertarung nyawa di punggung kuda,” sentilnya.
Yan mengatakan gubernur selaku Kepala Daerah diduga telah mengabaikan Konstitusi (UUD 1945), Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak yang seharusnya Wajib menjamin 1) setiap anak untuk hidup dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan; dan 2) mempertimbangkan kepentingan yang terbaik bagi anak dengan tidak menempatkan anak dalam keadaan berbahaya dan penelantaran atau perlakukan salah (ekploitasi).
Untuk itu melalui petisi yang digalangnya mereka menuntut supaya dihentikan eksploitasi penggunaan Joki Anak dalam pacuan kuda tradisional di seluruh wilayah NTB. Mendesak Menteri Kemen PPPA mencabut Penghargaan dan tidak melakukan penilaian Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA) terhadap Kota/Kabupaten yang masih menggunak Joki Anak dalam pacuan kuda tradisional. Gubernur NTB juga didesak segera menerbitkan aturan baik Pergub atau lainnya yang mengatur secara tegas pelarangan penggunaan joki Anak dalam pacuan kuda tradisional di NTB.
“Kami juga Meminta Komnas HAM dan KPAI untuk merekomendasikan bahwa pacuan kuda tradisional yang melibatkan Joki Anak adalah Pelanggaran HAM adalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia,” pintanya.(jho)