ilustrasi

MATARAM –  Pusat Bantuan Hukum Mangandar (PBHM) NTB menilai pemerintah terlalu buru-buru mengesahkan RKUHP menjadi UU. Banyak pasal – pasal yang berpotensi mematikan nilai-nilai demokrasi seperti Pasal 240. Penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara.

“Dalam pasal ini, penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara dilebur menjadi satu pasal dan menjadi delik aduan secara terbatas, yaitu untuk penghinaan yang tidak mengakibatkan kerusuhan,” tegas Direktur PBHM NTB, Yan Mangandar, kemarin.

 

Menurut Yan, seharusnya pejabat/institusi pemerintahan tidak boleh anti kritik melainkan dia adalah objek kritik sebagai bentuk pengawasan rakyat berdasarkan amanat konstitusi. Pengalaman praktek di NTB sendiri seperti kasus Asmurien Kholil terdakwa kasus ITE yang divonis bebas oleh PN Mataram dan diperkuat di Mahkamah Agung RI. Saat itu Asmurien dilaporkan oleh Pemerintah Daerah Lombok Utara karena komentarnya di media sosial FB yang dianggap mengancam Pemda, padahal faktanya Asmurien adalah warga miskin korban gempa dan sudah lama di pengungsian tanpa tersentuh bantuan padahal Presiden sudah memberikan arahan tegas agar Pemerintah pusat hingga daerah bergerak cepat memberikan bantuan.

 

“Berlakunya RKUHP besar kemungkinan orang-orang seperti Asmurien akan terbukti bersalah dan dipidana penjara karena mengancam/menghina Pemerintah padahal tujuannya untuk mengingatkan pemerintah agar melaksanakan kewajibannya,” sentilnya.

 

Sementara, Pakar Hukum Pidana Universitas Mataram, Zaenal Asikin justru menanggapi berbeda. Dia mengatakn, pengesahan RUU KUHP menjadi Undang-Undang itu salah satu bentuk pembangunan nasional. Sehingga Indonesia keluar dari aturan hukum yang dibuat penjajah. Sebab, rezim hukum penjajah itu mayorjtas tidak cocok dengan suasana kebahitan, budaya bangsa Idonesia.

 

“Kita sebagai pengajar pun risih mengajarkan hukum pidana. Nuansa liberalnya, nuansa tidak beragama dalam UU KUHP peninggaln belanda itu,” katanya.

 

KUHP yang baru itu meredifinisi kembali, melakukan dekontruksi kembali nilai ajaran agama dan budaya bangsa Indonesia. Sebab warga negara Indonesia tidak bisa bertahan dengan rezim hukum penjajah yang memang disana itu mereka liberal berfikirnya.

 

Asikin juga mengatakan belum pas ketika baru disahkan lantas sikap penolakan penuh ditunjukkan. Ia menyarankan agar diberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menerapkan terlebih dahulu.

 

“Kalau menolak itu apa alasannya. Masa kita lebih suka dengan hukum penjajah,” terangnya.

 

Menurutnya yang perlu dilihat itu mana pasal-pasal yang perlu direvisi. Pasal yang menurut masyarakat kurang bagus. Dicontohkannya misalnya pasal mengenai kebebasan berpendapat.

“Mari kita kritisi pasal mana yang tidak pas menurut kita. Jadi jangan KUH Pidana nya yang kita tolak tapi pasal mana menurut kita masih kurang bagus. Jangan KUHP nya ditolak. Tapi pasal-pasalnya,” ungkapnya.(jho)

 

50% LikesVS
50% Dislikes
Post Views : 374

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *