Oleh: Dr. Agus, M.Si
Dosen dan Peneliti Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik, UIN Mataram
Diskursus tentang partisipasi publik yang dijewantahkan melalui keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam tata kelola pemilihan umum (Pemilu) sudah berkembang sejak tahun 1980-an, khususnya ketika sejumlah negara menggunakan model penyelenggara Pemilu independen sebagai pilihan lembaga penyelenggara pemilu (LPP) di sejumlah negara demokrasi. Dengan model LPP indenden (the independent model of electoral management), yaitu suatu model LPP yang memiliki ciri-ciri; anggotanya terdiri dari orang-orang yang diluar lembaga eksekutif, legislatif, dan bukan anggota partai politik, memiliki dan menyelenggarakan danya sendiri, tidak bertanggungjawab kepada kementerian, serta lebih memiliki otonomi dan akuntabilitas fungsional (Allan Wall, 2006).
Pilihan model LPP independen sebagaimana gambaran di atas menimbulkan sejumlah kegelisahan. Pertanyaan besar yang sulit dijelaskan dan terus menggelinding yaitu dengan posisinya sebagai lembaga independen sementara mereka menghadapi tata kelola Pemilu yang kompleks bahkan di beberapa negara Pemilu itu bersifat kolosal (melibatkan orang dalam skala besar), mungkinkah LPP dapat bekerja sendiri?, bukankah demokrasi elektoral pada dasarnya harus dikelola secara partisipatif, terbuka, dan inklusif, bukan sebaliknya dikelola secara eksklusif?.
Menjawab pertanyaan publik di atas, LPP di sejumlah negara tentu memiliki pilihan manajemen yang berbeda. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia sebagai LPP yang diberi mandat khusus mengendalikan dan penjaga kualitas Pemilu memiliki pilihan manajemen pengawasan yang disebut pengawasan partisipatif. Model manajemen ini sontak menimbulkan sejumlah diskursus, diantaranya bagaimana persisnya pelaksanaan manajemen pengawasan partisipatif itu, tidakkah berpotensi mengganggu independensi Bawaslu yang apabila hal ini terjadi justru merusak kualitas Pemilu?.
Belum banyak penjelasan terhadap pertanyaan di atas, bahkan Bawaslu sebagai pemilik inovasi manajemen pengawasan tersebut belum mampu meyakinkan publik. Dengan modal yang masih sangat terbatas, diperoleh dari informasi selama penulis terlibat sebagai narasumber dalam diskusi-diskusi yang diselenggarakan Bawaslu di daerah, tulisan di ruang terbatas ini berusaha mendudukkan posisi manajemen pengawasan partisipatif dalam logika tata kelola Pemilu (electoral governance). Tentu saja tidak dimaksudkna untuk menemukan kebenaran tunggal, melainkan minimal hanya menjelaskan urgensi dan posisi manajemen pengawasan partisipatif..
Urgensi manajemen pengawasan partisipatif, sekurang-kurangannya dilihat dari tiga alas an, yakni kompleksitas Pemilu, tuntutan integritas Pemilu, dan keterbatasan sumberdaya Bawaslu. Alasan pertama menjelaskan bahwa Pemilu di Indonesia merupakan kerja negara yang paling kompleks sebab selain digear dengan skema serentak (terlebih di 2024) Pemilu dilaksanakan dalam sistem multi-partai ekstrim yaitu dengan jumlah partai politik yang sangat besar. Alasan kedua, sementara di tengah Pemilu yang kompleks dengan tingkat rivalitas politik tinggi, penyelenggaraan Pemilu dituntut harus berintegritas. Nilai-nilai integritas Pemilu dengan jelas disebutkan dalam ketentuan pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Kedua pasal ini secara tegas mengingat penyelenggara Pemilu baik KPU maupun Bawaslu. Alasan ketiga, ditengah kompleksitas Pemilu dan tuntutan integritas, Bawaslu dihadapkan pada kondisi keterbatasan sumberdaya (wewenang dan SDM) untuk melaksanakan pekerjaannya. Bahkan kedua aspek tersebut sifatnya sangat limited di Bawaslu.
Sementara itu, kerja-kerja pengawasan Pemilu itu sangat berat dan penuh resiko baik berupa ancaman dalam bentuk intimidasi hingga godaan untuk melakukan perbuatan korupsi elektoral. Namun di tengah keterbatasan sumberdaya kewenangan dan SDM tersebut, Bawaslu dipaksa berakuntabilitas dengan kondisi normal. Dalam melaksanakan tugasnya Bawaslu diposisikan seperti malaikat yang tidak boleh memiliki kesalahan sedikitpun. Tengoklah misalnya jika perilaku politik uang, politisasi ASN, politisasi SARA, dan pelbagai pelanggaran lainnya masih terjadi, maka publik sudah pasti menuding kesalahannya ada pada jajaran Bawaslu. Padahal sesungguhnya undang-undang belum memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk memfinalkan sejumlah kasus tindak pidana Pemilu hingga dipengadilan.
Dalam penanganan tindak pidana Pemilu misalnya, Bawaslu hanya berhenti sampai pekerjaan administrasi, sementara proses hukum selanjutnya merupakan kewenangan GAKUMDO yang terdiri dari POLIRI, Kejaksaan, dan unsur Bawaslu. Faktanya menunjukkan dalam kasus Pemilu 2019 sangat sedikit sekali kasus tindak pidana Pemilu dalam bentuk politik uang sampai ke pengadilan, sebab POLRI seringkali lebih mengutamakan rasionalitas ketertiban masyarakat daripada rasionalitas keadilan Pemilu. Demikian halnya dengan kasus keterlibatan ASN dalam politik, hanya berhenti sampai pengajuan kasus kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), sebab lagi-lagi Bawaslu tidak memiliki kewenangan menjatuhkan hukuman. Yang menarik justru dalam Pilkada banyak ASN yang telah diperiksa Bawaslu mendapatkan promosi jabatan karena dipandang berjasa pada kandidat terpilih.
Dalam keterbatasan kewenangan tersebut, manajemen pengawasan partisipatif dibutuhkan guna membangun manajemen secara kolaboratif dengan seluruh stakeholders Pemilu. Namun penerapan manajemen partisipatif juga perlu kehati-hatian agar tidak mengganggu semangat yang tertuang dalam ketentuan pasal 22E UUD 1945. Oleh karena itu posisi stakeholders dalam manajemen pengawasan partisipatif tidak boleh lebih dari sekedar aktor pendukung tugas-tugas Bawaslu dalam manajemen Pemilu (electoral management support).(***)