TRANSFORMASI digital yang melanda dunia dalam dua dekade terakhir telah mengubah secara drastis wajah industri media dan kewartawanan. Kini, kita menyaksikan bagaimana media cetak menyusut, pendapatan iklan berpindah ke platform digital, dan ruang informasi dibanjiri oleh konten tanpa verifikasi.

Dalam kondisi semacam ini, tantangan terbesar bagi para wartawan dan pengelola media bukan hanya bersaing untuk bertahan hidup, tetapi juga menjaga marwah jurnalisme itu sendiri.

Dulu, kompetisi menjadi semacam semangat utama dalam dunia pers. Siapa yang pertama kali mendapat berita, siapa yang lebih eksklusif, siapa yang tampil lebih mencolok—semuanya menjadi ukuran keberhasilan media. Namun kini, paradigma itu tak lagi cukup.

Kenyataan hari ini menunjukkan bahwa eksklusifitas tanpa akurasi hanya akan menambah kegaduhan informasi. Di sinilah pentingnya menggeser pendekatan dari kompetisi ke kolaborasi.

Kolaborasi dalam jurnalisme bukanlah hal baru, tetapi kini menjadi lebih mendesak untuk diarusutamakan. Proyek-proyek investigasi besar seperti Panama Papers dan Pandora Papers, tidak akan mungkin terwujud tanpa kerja sama lintas negara dan lintas media.

Kolaborasi memungkinkan distribusi beban kerja, pertukaran keahlian, dan pembagian sumber daya yang adil. Dalam konteks media lokal termasuk juga di Pulau Sumbawa dan Lombok,  kolaborasi juga menjadi sarana untuk bertahan. Terutama ketika redaksi dihadapkan pada keterbatasan dana dan sumber daya manusia.

Di era digital yang sarat disinformasi dan hoaks, kerja sama antarmedia dalam melakukan pemeriksaan fakta menjadi sangat vital. Masing-masing media mungkin memiliki keterbatasan dalam menjangkau seluruh informasi yang tersebar. Tetapi ketika mereka bekerja bersama, proses verifikasi menjadi lebih cepat dan lebih kuat. Ini bukan sekadar soal efisiensi, melainkan tanggung jawab moral terhadap publik.

Selain itu, kolaborasi membuka peluang untuk peningkatan kapasitas jurnalistik. Media kecil atau daerah bisa belajar dari media besar, mengakses pelatihan bersama, atau mendapatkan bimbingan dari redaksi yang lebih mapan. Ini berkontribusi langsung pada peningkatan kualitas liputan, profesionalisme, dan etika jurnalistik. Dalam jangka panjang. Kolaborasi semacam ini juga bisa memperkaya perspektif pemberitaan, menjadikannya lebih inklusif dan berakar pada realitas masyarakat.

Namun, tentu saja, jalan menuju kolaborasi bukan tanpa hambatan. Ego perusahaan media, kekhawatiran kehilangan keunikan redaksi, serta perbedaan kepentingan bisnis kerap kali menjadi ganjalan.

Meski demikian, tantangan ini bisa diatasi jika ada niat baik dan kesadaran bersama bahwa nilai tertinggi dari jurnalisme adalah pelayanan terhadap kepentingan publik. Membentuk forum koordinasi antarmedia, menyusun protokol kerja sama yang adil, dan menjunjung tinggi transparansi bisa menjadi langkah awal yang realistis.

Pada akhirnya, dunia media harus kembali menyadari bahwa mereka bukan sekadar pesaing di pasar informasi, melainkan bagian dari ekosistem demokrasi. Media memegang peran strategis dalam membentuk opini publik, menyuarakan kebenaran, dan menjaga akuntabilitas kekuasaan.

Oleh karena itu, kolaborasi harus dimaknai bukan sebagai kelemahan, tapi sebagai bentuk solidaritas profesional untuk memperkuat peran media di tengah gempuran algoritma dan disinformasi.

Kolaborasi bukan berarti menyerahkan independensi. Sebaliknya, ia adalah strategi untuk bertahan secara bermartabat dan relevan dalam lanskap media yang berubah. Kolaborasi adalah jalan baru bagi jurnalisme yang ingin terus hidup, dipercaya, dan berdampak.

Kini saatnya para wartawan dan pemimpin redaksi menanggalkan ego kompetisi sempit, dan melangkah ke era baru: jurnalisme kolaboratif yang cerdas, kritis, dan berpihak pada kebenaran. (*)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *