MATARAM – Wacana pemilu dengan sistem pemilihan legislatif (Pileg) proporsional tertutup dipandang sebagai langkah mundur sehingga harus ditentang. Sistem Pileg proporsional terbuka harus dipertahankan.
Hal itu dikatakan Ketua DPD Partai Demokrat NTB Indra Jaya Usman (IJU) di Mataram, Minggu (1/1/2023).
Menurut dia, kembali ke sistem proporsional tertutup adalah kemunduran demokrasi dan pengkhianatan terhadap reformasi.
“Wacana ini adalah ide dari oligarki yang ingin menutup ruang partisipasi (rakyat) dan demokratisasi di NKRI,” tukasnya.
IJU menegaskan, Partai Demokrat bersama rakyat tidak mau lagi dibawa ke masa-masa kelam sebelum reformasi, ketika rakyat tidak bisa menentukan siapa calon anggota legislatif (caleg) yang terpilih.
Dalam sistem proporsional tertutup, kata IJU, representasi hanya diberikan kepada para oligarki partai politik.
Jika sistem tertutup itu berjalan maka para pemilih hanya diberikan logo partai politik pada surat suara, bukan nama calon anggota legislatif.
“Saya kira ide (wacana sistem proporsional tertutup) ini adalah ide yang sangat buruk,” ujar IJU.
Lebih lanjut dia mengimbau lembaga-lembaga masyarakat yang konsen dalam perjuangan demokratisasi untuk menyuarakan penolakan terhadap wacana sistem proporsional tertutup tersebut.
“Jangan lagi kita mengalami kemunduran dalam demokratisasi yang sudah kita jalani paling tidak sejak reformasi 24 tahun terakhir,” ucapnya.
Sementara itu wacana sistem proporsional tertutup mencuat sejak adanya upaya judicial review atau uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Uji materi diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh enam orang yakni Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Pemilu dengan sistem proporsional tertutup didukung oleh PDIP. Dan, mendapat tentangan keras dari sejumlah partai politik lainnya, diantaranya Partai Demokrat dan Nasdem.
Sekretaris DPD Partai Demokrat NTB Andi Mardan menambahkan, pemilu dengan sistem proporsional tertutup ini membawa tatanan demokrasi di Indonesia mundur. Bagi Demokrat, hal itu tidak baik karena menutup celah partisipasi rakyat di tengah antusias yang berkembang.
“Tidak berlebihan rasanya kami menyebut Pak SBY sebagai Bapak Demokrasi atas dedikasinya dan selalu mengingatkan kami untuk menjaga demokrasi,” kata pria yang juga Anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah (Loteng) itu. (*/RM)