JHONI SUTANGGA/RADAR MANDALIKA Makmun

MATARAM – Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 tahun 2021 tentang pencegahan pernikahan anak (PPA) masih dipersoalkan. Terlebih dua pasal urgen yang lenyap begitu saja. Yakni, sanksi dan alokasi anggaran 1 persen dari APBD membuat banyak pihak menyesalkan.

Ketua badan pembentukanperaturan daerah (Bapemperda) DPRD NTB, H Makmun pun angkat bicara. Politisi PKB tersebut menyebutkan Perda yang membuat gubernur mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak itu tidak memiliki kekuatan dengan dihilangkan pasal pasal penting di dalamnya itu.

Makmun mengibaratkan Perda tersebut seperti kendaraan tanpa bahan bakar.”Kita ibaratkan kendaraan tanpa bahan bakar. Untuk apa rancang dan tetapkan Perda kalau tidak dibarengi sanksi, iya anggap saja Perda tidur,” sentilnya, Selasa kemarin.

Jika sanksi itu tidak ada, aspek kepatuhan hukum bagi masyarakat yang melanggar Perda tersebut akan minim. Bisa saja, Perda itu tidak dianggap ada karena tidak memiliki sanksi.

Makmun mengaku, belum mengetahui secara pasti kenapa pasal itu bisa hilang, karena sebagai Ketua Bapemperda, tidak dilibatkan saat proses fasilitasi oleh Kemendagri.
” Malah yang diundang yakni, Kabag Persidangan Setwan NTB, bersama staf ahli dari Biro Hukum,” tegas politisi Dapil Lotim itu.

Menurut Makmum, keberadaan pasal sanksi itu sebenarnya untuk memperkuat keberadaan Perda tersebut. Namun, dirinya tetap berpikir positif atas keputusan Mendagri dalam fasilitasi yakni langkah itu merupakan fase pencegahan terjadinya perkawinan di bawah umur yang tidak bersifat panismen.

Akan tetapi, pandangan dari Bapemperda DPRD NTB, mestinya ketika melakukan fasilitasi Ranperda, harus melibatkan banyak pihak, didalamnya ada Pansus, tim kajian, NGO dan lainnya.
“Ini menyangkut wibawa daerah, apalagi ada Permendagri nomor 120 tahun 2018 tentang perubahan Permendagri 80 tahun 2015 tentang Pembentukan produk hukum daerah,” ujarnya.

Makmun menambah, filosofi pembentukan Perda itu sudah jelas baik secara yuridis. Dibentuk supaya orang tua dan masyarakat tidak menikahkan anaknya dibawah umur karena memiliki dampak besar terhadap perkembangan masa depan generasi penerus.
“Kalau ada sanksi, jelas ada efek jera. Tapi, kalau tidak ada sanksi, anggap saja Perda tidur,” tutupnya.

Ketika tidak dilibatkan pada proses fasilitasi, lantas apakah ada rencana Bapemperda DPRD NTB akan melayangkan gugatan untuk pembatalan Perda itu ke Mahkamah Agung? Makmun belum berfikir kearah sana karena, masih harus melalui persetujuan pimpinan DPRD NTB.

Seperti diketahui, pada draf sebelumnya menyangkut sanksi administratif diatur Pasal 30, berbunyi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian dari jabatan dan/atau denda administratif paling banyak Rp. 5.000.000,- (Lima Juta rupiah).

Setiap orang tua yang memaksa dan/atau membiarkan anaknya melakukan perkawinan anak di luar ketentuan perundang-undangan di kenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis dan/atau denda administratif paling banyak Rp. 5.000.000,- (Lima Juta rupiah).

Setiap orang yang terlibat dalam pelaksanaan perkawinan anak diluar ketentuan perundang-undangan dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian dari jabatan dan/atau denda administratif paling banyak Rp. 5.000.000,- (Lima Juta rupiah). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Gubernur.

Kemudian sanksi Pidana diatur Pasal 31 berbunyi setiap orang yang melakukan pengulangan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000, (lima puluh juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

Tidak hanya pasal sanksi saja, pasal 32 yang mengatur pemantauan dan evaluasi pun dihilangkan. Pasal ini menjelaskan (1) Pemerintah Daerah melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan pencegahan perkawinan anak. (2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara partisipatif oleh Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan melibatkan perangkat daerah dan pemangku kepentingan yang lain.

Terakhir, pasal 33 mengatur pembiayaan berbunyi, pembiayaan program dan kegiatan pencegahan perkawinan anak yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.
Pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran pencegahan perkawinan anak paling sedikit 1 % dari APBD provinsi. Pembiayaan program dan kegiatan pencegahan perkawinan anak yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

Selain bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pembiayaan program dan kegiatan pencegahan perkawinan anak dapat berasal dari: bantuan Pemerintah Pusat; dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (jho)

50% LikesVS
50% Dislikes
Post Views : 304

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *