DITANDATANGANINYA Publiser Right (Hak Penerbit) oleh Presiden Jokowi yang diumumkan saat pidato hari Puncak HPN ke-78, 20 Februari 2024 di Ancol mengundang kontroversi dari kalangan pers. Ada yang setuju juga yang protes.
Alasan yang setuju tentu lahirnya Publisher Right atau Perpres No 32 Tahun 2024 tentang tanggung jawab perusahaan platform digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas itu, lebih baik dan terkontrol. Sementara yang tidak setuju punya dalih berbeda.
Perpres itu dikhawatirkan akan membangkitkan kembali kekuasan atau campur tangan pemerintah untuk mengatur atur keberadaan dan kehidupan pers. Bahkan lebih ekstrem seperti diungkapkan Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Firdaus.
Persyaratan perusahaan media pers harus diverifikasi oleh Dewan Pers adalah titik balik pertumbuhan perusahaan pers yang luar biasa di masa reformasi. Sebelum era reformasi di masa Orde Baru, perusahaan media diharuskan memiliki surat izin usaha penerbitan oleh Departemen Penerangan RI.
“Sekarang peraturan presiden tentang publisher rights mengharuskan perusahaan media diverifikasi oleh Dewan Pers, apa bedanya dengan pengelolaan media di masa Orde Baru?” kata Firdaus.
Pernyataan keras dari SMSI, salah satu organisasi perusahaan pers yang menolak sejak awal dibahasnya Pubhliser Right. Bahkan belakangan muncul wacana di kalangan SMSI untuk melakukan Judicial Review Perpres tersebut.
“Kita merencanakan Judicial Review dan akan dimatangkan oleh tim hukum kita,” kata Ketum SMSI Firdaus pada Rapat Pleno yang diikuti 34 SMSI se-Indonesia, Senin, 26 Februari 2024. Dalam rapat pleno via zoom itu, mayoritas ketua sepakat untuk mengambil langkah hukum JR.
“Tidak hanya Perpres, bila memungkinkan kita juga akan juga uji materi UU Pers, ” kata Firdaus setelah mendengar pendapat dan keluhan serta masalah yang akan dihadapi anggota SMSI yang merupakan perusahaan startup kecil bila Perpres itu diberlakukan.
Sekadar gambaran, Perpres No 32 Tahun 2024 tentang tanggung jawab perusahaan platform digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas itu terdiri dari 6 Bab dan 19 Pasal. Intisarinya?
Perpres ini mengatur empat hal yaitu soal platform digital, kerja sama perusahaan platform digital dengan perusahaan pers, komite yang mengawasi, serta remunerasi dari platform untuk perusahaan pers. Perusahaan pers yang bisa bernegosiasi dengan platform adalah perusahaan pers yang sudah terverifikasi Dewan Pers. Perpres bakal mengatur soal Publisher Rights atau regulasi hak cipta jurnalistik. Aturan ini bakal mewajibkan platform digital, seperti Facebook dan Google untuk membayar berita dari media massa.
Apakah Publiser Right bisa diberlakukan? Pertanyaan itu dijawab Prof Henri Subiakto. Namun sebelum menjawab pertanyaan itu, profesor yang mantan staf ahli Menteri Kominfo menjelaskan bahwa Perpres itu sebenarnya sudah lama diwacanakan. Awalnya kata prof yang kini wakil ketua dewan pakar SMSI Pusat ini, diusulkan oleh beberapa tokoh pers untuk dicantumkan pada UU ITE namun mental karena memang UU bersifat khusus. “Saya waktu itu yang mengawal RUU ITE,” kata Hendri pada rapat pleno SMSI.
Di samping itu, lahirnya Perpres ini merupakan salah satu instrumen penguatan peran Dewan Pers. “Power DP akan semakin kencang terutama terkait pendataan dan verifikasi perusahaan pers,” kata gurubesar yang pernah adu debat dengan Rocky Gerung itu.
Memang, Perpres itu tidak serta-merta diberlakukan melainkan setelah enam bulan terhitung sejak tanggal diundangkan. Prof Hendri memprediksi Perpres ini akan sulit berlakukan. Mengapa?
Selain ada pasal yang belum jelas juga platform digital internasional semacam Google, Facebook, tidak akan mau dan mudah diatur atur.
Pasal yang masih belum jelas disebutkan Hendry pasal 5 yang berbunyi: Perusahaan Platform Digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib mendukung jurnalisme berkualitas dengan:
a. tidak memfasilitasi penyebaran dan/atau tidak melakukan komersialisasi konten Berita yang tidak sesuai dengan Undang-Undang mengenai pers setelah menerima laporan melalui sarana pelaporan yang disediakan oleh Perusahaan Platform Digital. “Siapa yang melaporkan, ” kata Hendri. “Sekali lagi prusahaan Platform Digital juga tidak akan mau diatur apalagi dengan Perpres, ” katanya.
Kemudian Prof Hendri memberi contoh yang terjadi di Kanada dan Australia yang pemerintahnya mencoba menerapkan aturan serupa kepada Pers, ditentang habis dan tidak bisa diberlakukan.
Terkait rencana Judicial Review, Prof Hendri yang menyatakan siap menjadi konsultan itu, menyarankan agar yang mengajukan perusahan Pers yang punya legal standing (pihak yang memenuhi syarat) atau yang merasakan dampak langsung dari terbitnya Perpres itu. “Anggota SMSI yang diback organisasi SMSI,” katanya.
Sebelumnya Ketua Dewan Pers Dr Ninik Rahayu meyakinkan Perpres itu bisa memberikan keadilan bagi insan pers untuk pembagian pendapatan iklan. Juga menghambat diinformasikan dan peningkatan ekosistem digitalisasi yang lebih baik.
Untuk itu dia mengapresiasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Publisher Rights.
Selanjutnya kata Ninik akan segera dibuatkan aturan turunannya berikut lembaga yang mengawasinya. Yakni, komite khusus beranggotakan 11 orang yang ditargetkan tuntas enam bulan ke depan. (abdus syukur)