PRAYA – Petani padi di Lombok Tengah (Loteng) merugi. Karena tanaman padi mereka pada musim tanam kedua kekurangan air. Mereka pun terpaksa memanen dini.
Seperti diketahui, hasil panen pada musim tanam pertama Loteng mendapat surplus hingga menempati urutan satu di NTB dalam hal swasembada beras. Namun, pada musim tanam kedua petani terpaksa gigit jari karena hasil panen tidak sesuai harapan.
Hal itu disebabkan karena tanaman padi kekurangan pasokan air di beberapa wilayah kecamatan. Akibatnya hasil panen padi kurang maksimal karena waktu tanaman padi membutuhkan air tapi tidak terpenuhi.
Seperti diketahui, belum lama ini di beberapa wilayah kecamatan di Loteng seperti di Kecamatan Praya, Kecamatan Praya Tengah, Kecamatan Pujut dan Kecamatan Praya Barat ada sekitar 3000 hektare lahan padi tidak mendapat suplai air maksimal. Itu dikarenakan tersumbatnya pintu aliran air Bendungan Surabaya di Kelurahan Jontlak. Adanya proyek di bendungan tersebut dituding jadi pemicunya.
Dan hingga saat ini persoalan yang dikeluhkan para petani tersebut masih juga belum tuntas. Sehingga, air dari bendungan belum maksimal mengaliri lahan padi petani. Kondisi demikian membuat petani terancam gagal panen.
Salah seorang petani asal Dusun Reak I Desa Tanak Awu, H Normal yang ditemui sedang memanen padinya di lahan seluas 12 are menyatakan, ia terpaksa memanen padinya mengingat sudah lewat waktu panen. Dimana, diperkirakan telah lewat 30 hari.
“Kita airi sawah kita menggunakan air sumur. Artinya, kalau tidak ada BB dan mesin diesel air ya kita gak dapat air,” ungkapnya, Selasa (6/6/2023).
Dikatakan, biasanya mendapatkan hasil panen padi di angka 75 kilogram dalam per are. Namun dengan kondisi ini hanya mendapatkan 40-50 kilogram per are. Sehingga hasil panen pada musim tanam ke dua ini dikatakan hanya 40 persen, sedangkan 60 persen gagal panen.
“Kami selama ini hanya mengharapkan air dari Bendungan Surabaya. Namun selama ini tidak pernah dapat air. Hanya saat hujan besar saja baru ada ke sawah kami dari aliran sungai, itupun kalau di atas atau di Bendungan Surabaya sudah kelebihan air,” ujarnya.
Terpisah, Kepala Desa Tanak Awu, Lalu Wisnu Wardana menerangkan, di lahan pertanian di desanya, yang seluas 7000:452 meter persegi ini, pihaknya selama ini melakukan pencermatan di tingkat petani supaya mendapatkan perhatian suplai air dari Bendungan Surabaya. Namun sayangnya, tidak pernah mendapatkan perhatian serius dari pihak terkait.
“Ke depan supaya yang memiliki kewenangan diberikan pemerataan air dalam kadar cukup untuk masyarakat di Tanak Awu. Mengingat 90 persen warga kami banyak menjadi petani. Karena disaat kemarau hanya sekedar mengairi saja sulit. Seperti saat menanam tembakau ataupun semangka, bahkan tidak pernah dapat air seperti dijanjikan,” katanya.
Ia pun sangat menyayangkan kondisi demikian. Padahal Desa Tanak Awu merupakan salah satu desa di Loteng yang memiliki lahan pertanian sangat luas. Bahkan perbaikan irigasi melalui program yang ia inisiasi dengan kelompok tani untuk mempermudah petani mendapat air, namun tidak ada air yang mengalir.
“Kalau gagal panen di Desa Tanak Awu ini sekitar 40 persen. Dimana banyak yang panen paksaan belum waktunya dengan buah seadanya hingga 60-70 persen demikian dengan hasil tidak maksimal,” ungkapnya.
“Sejak 4 tahun saya menjadi Kepala Desa tetap demikian adanya. Dimana supaya ke depan menjadi kesetaraan dan pemerataan mendapatkan air yang terpenting ke depan,” tambahnya.
Pihaknyapun akan mengupayakan agar lahan pertanian di desanya supaya lebih banyak lagi masuk dalam SK Bupati terkait luasan manfaat air melalui Bendungan Surabaya. Diman, 800 kubikasi air disuplai untuk 3000 hektare. Diharapkan dapat terbagi ke semua aliran sungai supaya merata.
Di wilayah lainnya yang juga terkena dampak dari tersumbatnya pintu air Bendungan Surabaya yakni Desa Penujak Kecamatan Praya Barat.
Kepala Desa Penujak, Lalu Suharto yang ditemui media ini menuturkan, bahwa hasil panen petani di desanya tahun ini ditaksir hanya 30 persen. Hal tersebut mengingat karena pasokan air yang minim. Dimana dalam per hektare hanya 5-7 ton, namun saat ini hanya 1,5 ton per hektar.
“Penyebab krusialnya yakni, saat padi butuh air namun tidak disuplai langsung, yakni saat padi baru akan mengeluarkan buah namun tidak terpenuhi kebutuhan airnya, ya jadinya tidak maksimal,” paparnya.
Ditambah lagi musim kemarau di saat tanaman padi butuh air namun tidak ter-suplai maksimal karena terkendala pintu air tertutup lumpur di Bendungan Surabaya. Dengan kondisi demikian, jangankan balik modal, malah bisa saja dikatakan petani merugi.
“Air dari bendungan Surabaya ini ada datang tapi kecil, bahkan itu harus pakai mesin air menaikkan ke sawah, namun juga sudah telat. Dan semua banyak panen paksa,” katanya.
Ditekankan, kondisi demikian harus menjadi pelajaran berharga. Terutama bagi pemangku kebijakan di level atas. Jangan sampai berdampak pada pasokan pangan.
“Kalau stok pangan kita kurang kita akan koordinasi dengan dinas terkait ke atas. Kita kan hanya memohon dan meminta dengan pejabat terkait,” katanya.(tim)