DOK/RADAR MANDALIKA MEDIASI: Pihak UPTD PPA Loteng saat berusaha melakukan mediasi atas kasus perkawinan anak di kantor UPTD PPA Loteng pada Maret 2022.

PRAYA – Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah disahkan pada tanggal 9 Mei lalu. UU itu di dalamnya mengatur kekerasan seksual di antaranya terkait perkawinan anak. Bagi orang yang memaksakan perkawinan anak di bawah usia 19 tahun kini bisa diancam hukuman 9 tahun penjara.

 

Ancaman pidana itu tertuang dalam Pasal 10 ayat 1. Yang berbunyi, Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000.

 

Kemudian dalam pasal 10 ayat 2 yang berbunyi, Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): perkawinan anak; pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya; atau pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan.

 

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Lombok Tengah (Loteng), Baiq Sri Hastuti menegaskan, pihaknya akan tetap melakukan sosialiasi kepada masyarakat mengenai peraturan perundang-undangan tersebut. Itu nanti dilakukan kalau pihaknya secara resmi sudah menerima UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

 

“Sekarang inikan belum saya terima surat. Pasti ada perintah nanti dari pusat/kementerian,” katanya pada Radar Mandalika, kemarin.

 

Sehingga, sampai sekarang belum ada tindak lanjut di lapangan. “Nanti kalau memang sudah ada itu nanti kita informasikan. Tapi sebelum saya terima apakah PP atau undang-undangnya, kita masih tetap menggunakan regulasi yang lama,” jelas Sri.

 

Dia mengatakan, pihaknya selama ini memang sangat fokus terkait masalah pencegahan perkawinan anak di bahwa usia 19 tahun. Namun pihaknya masih menunggu secara resmi UU TPKS dari kementerian. Untuk selanjutkan akan disosialisasikan kepada masyarakat secara massif.

 

“Pasti kita akan sosialisasikan. Tapi sekarang belum berani saya sosialisasikan karena belum ada secara resmi kami terima aturan itu,” terang Sri.

 

Yang jelas, lanjut Sri, pihaknya sangat menyambut baik adanya UU TPKS yang didalamnya juga memuat ancaman pidana penjara terhdap pemaksaan perkawinan anak. “Malah saya berkepentingan sekali dengan itu. Karena regulasi yang ada selama ini kan belum ada sanksi hukumnya,” katanya.

 

“Kita tidak susah sekali mengarahkan masyarakat, kalau aturan itu sudah ada. Karena sudah ada aturan-aturannya. Apalagi di situ (UU TPKS, Red) katanya sudah ada sanksinya, berarti masyarakat harus tau itu. Supaya masyarakat tidak berani menikahkan di bawah tangan, karena itu tidak main-main, sekarang sudah ada sanksi hukumnya. Kalau kemarin-kemarin kan belum ada sanksinya, sekarang sudah ada sanksinya itu, saya berkepentingan,” tambahnya.

 

Dengan adanya UU TPKS ini diharapakan dapat menekan angka perkawinan anak di Gumi Tatas Tuhu Trasna nantinya. Karena, pemaksaan perkawinan anak bisa diancam hukuman 9 tahun penjara. “Jadi tidak ada lagi anak-anak kita yang dinikahkan di bawah tangan, karena ada regulasi itu,” kata Sri. (zak)

 

50% LikesVS
50% Dislikes
Post Views : 402

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *