25 kali sudah Rakernas digelar. Hampir dua periode juga saya jadi pengurus PWI Provinsi NTB. Namun baru sekali dapat kesempatan mengikuti rapat kerja nasional (Rakernas). Rakernas XXV di Elhotel Bandung pada 24-26 September. Tak mengapa.

Sebagai wakil ketua memang tidak punya hak suara. Hanya boleh jadi peninjau.

Pada Rakernas XXV ini, PWI NTB mengirim delapan utusan. Tiga peserta dan lima peninjau. Ada Ketua DKD H Ismail Husni, Ketua PWI Nasruddin Zain, Sekretaris H Rachman Hakim, Waka Pendidikan Rudi Hidayat dan saya sendiri Wakil Ketua Bidang Organisasi serta tiga pengurus lainnya.

Sekadar info, Rakernas merupakan salah satu forum “pesta demokrasi” wartawan (para ketua provinsi) untuk memilih punggawanya di tingkat pusat. Ketua Umum dan Ketua Dewan Kehormatan PWI.

Pada Rakernas XXV ini ada tiga kandidat yang bertarung, memperebutkan kursi ketum PWI. Ada Atal S Depari, Hendry Ch Bangun dan Zulamansyah Sekedang. Mereka berkompetisi, meraih suara terbanyak dari 88 suara dari 39 PWI Provinsi se-Indonesia. Termasuk PWI Surakarta, Solo yang disetarakan kelasnya dengan PWI Provinsi. Lalu kenapa suaranya hanya 88 padahal anggota PWI jumlahnya ribuan?
Sistem demokrasi PWI agak berbeda dengan demokrasi pada pemilihan pemimpin di lembaga lain.

PWI menggunakan demokrasi keterwakilan. Jumlah suara yang diperebutkan juga dihitung berdasar jumlah anggota pemegang kartu (biru) PWI Biasa. Satu suara dinilai kurang dari atau 100 anggota biasa. Dua suara sama dengan 101 atau lebih anggota, dan tiga suara sama dengan 201 pemegang kartu PWI level biasa.

PWI NTB sendiri hanya punya hak satu suara dengan 99 anggota PWI pemegang kartu biasa. Dan, yang menarik berapa pun jumlah suara yang dimiliki PWI provinsi, mandat untuk memilih diserahkan kepada ketua berapa pun jumlah suara.
Begitu pun pada Rakernas XXV PWI yang berlangsung mulai Minggu sampai Selasa dini hari (26 September). Para ketua menggunakan hak pilih secara bergiliran. Menyalurkan hak suara di bilik suara yang disiapkan panitia.

Mereka memilih salah satu dari tiga kandidat ketua umum. Ketiga tokoh pers yang berkontestasi itu, Atal S Depari, Hendey Ch Bangun dan Zulmansyah Sekedang.

Proses pemilihan berjalan alot. Berlangsung dua putaran. Putaran pertama, Atal S Depari sebagai calon incumbent menyabet 40 Suara, Hendry Ch Bangun 39 Suara dan Zulmansyah Sekedang hanya mampu meraih 9 suara.

Sidang pun diskors untuk mempersiapkan pemilihan putaran kedua. Sesuai tatib, putaran kedua wajib digelar manakala kandidat tidak ada yang memperoleh suara 50 plus satu.

Prosesi pemilihan pun makin seru. Masa jeda digunakan maksimal oleh tim sukses masing masing calon untuk melakukan lobi-lobi. Para peserta pun riuh rendah menyemakati jagon masing-masing. Bahkan ada yang berseloroh sedang “menunggu serangan pajar”. Silakan siapkan nomor rekening, ” kata salah seorang peninjau.

Para pendukung Zulmansyah Sekedang paling bersemangat. Pendukung yang anggota PWI Riau yang jumlahnya ratusan itu tak henti henti meneriakkan jargon calonnya: PWI Riau, Zulmansyah Hebat.

Ball room Elhotel Bandung seakan dikuasai tim pemenangan calon bos koran cetak, online dan televisi Jawa Pos Group di Riau itu. Namun apa daya Zulmansyah yang visi dan misinya menjanjikan jika menang akan memperhatikan kesejahteraan wartawan dan akan mengajak pengurus PWI jalan jalan keluar negeri serta naik haji, langkahnya terhenti di putaran pertama dengan 9 suara.

Lalu kemana suara Zulmansyah berlabuh? Tim sukses yang coba dihubungi via WA tak merespons.

Ketua PWI NTB Nasruddin Zain memprediksi suara milik Zulmansyah itulah kunci kemenangan Hendry Ch Bangun. Bahkan ketua PWI yang punya pantun andalan berjudul “Pelecing Kangkung” itu menjuluki Zulmansyah ada “Pahlawan” kemenagan Hendry Ch Bangun.

Salah satu pengurus senior PWI Riau sebelum berlangsung putaran kedua, memprediksi mantan Sekjen PWI akan menang bila terjadi dua putaran. Suara Zulmansyah akan mengalir ke Hendry Ch Bangun. Atal S Depari menurutnya juga mengklaim suara Zulmansyah.

Apa konvensasinya. Sekjen kah? Pengurus inti PWI Riau itu menjelaskan Zulmansyah mungkin tidak akan tertarik dengan jabatan Sekjen. Dia lebih nyaman menjadi Pengurus Korda (Koordinator Daerah). Pak Ketua orang lapangan, kata dia. Jika jadi Korda, silaturahmi dengan pengurus daerah bisa lebih intens.

Para punggawa Pers pun kelihatan turun gunung. Beberapa menit setelah sidang dijeda, tampak Ketua Umum SMSI, Firdaus, Hendry Ch Bangun dan Zulmansyah Sekedang berbincang serius. Entah apa yang dibincangkan.

Setelah berdiskusi beberapa menit, mereka pun menuju ball room Elhotel untuk melanjutkan agenda Rakernas. Pemilihan putaran kedua.

Suasana tambah tegang. Teriakan para pendukung kembali bergema dalam ruangan yang berkapasitas ribuan itu.

Para peserta makin tegang menyaksikan panitia dan saksi yang menyebut nama calon secara bergiliran.

Saling kejar-mengejar angka. Sesekali Atal di atas, kali lain Hendry di bawah. Begitu sebaliknya. Berulang ulang. Sampailah pada hitungan terakhir yang menjadi sejarah PWI. Dari total 88 suara yang diperebutkan, Atal S Depari hanya mempu meraih 41 suara. Sedangkan Hendry Ch Bangun menorehkan 47 suara. Dengan demikian Hendry yang pada Rakernas XXIV kalah tiga suara, berhak mengendalikan PWI selama 5 tahun mendatang (2023-2028).

Selamat Bang Hendry. Bejibun pekerjaan besar menanti. Mulai dari masalah internal kepengurusan yang mengemuka saat pemandangan umum Laporan Pertanggungjawaban kepengurusan perlu segera dituntaskan. Soal profesional, integritas. Juga masalah kesejahteraan wartawan yang kerap terabaikan. (*)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *