Cara Minta Hujan, Warga Rela Naik Gunung Sulung
Hujan di musim tanam tahun ini berkurang. Terutama beberapa desa di wilayah selatan. Kondisi ini membuat warga di beberapa dusun di Desa Kidang, Kecamatan Praya Timur Lombok Tengah melakukan ritual Nede (meminta, Red) diturunkan hujan.
TARNADI-LOTENG
RITUAL budaya dan adat istiadat warga bisa dibilang banyak di Loteng. Ritual-ritual itu masih dilestarikan hingga kini. Ritual itu sebagian besar dijalankan sesuai dengan sejarahnya. Tak jarang juga karena fenomena alam.
Seperti halnya yang dilestarikan warga Desa Kidang, Kecamatan Pratim ini. Ritual turun temurun itu berupa Nede untuk diturunkan hujan atau minta hujan. Ritual ini pun biasa disebut warga sekitar dengan sebutan Ngenjungix. Lokasi Nede-nya pun tak sembarang. Tapi di tempat khusus yakni Kemalik (tempat keramat, Red) yang ada di Gunung Sulung Dusun Darmaji namanya.
Ritual budaya dan tradisi adat, Nede di desa ini juga terbilang unik. Dengan berlandasan keyakinan, prosesi demi prosesi dijalankan oleh para pemangku adat setempat. Tepatnya di salah satu batu Kemalik di gunung tersebut. Batu yang berukuran besar posisinya condong ke arah barat dan selatan gunung. Konon, batu itu digunakan warga untuk bertapa, meminta ilmu gaib. Namun karena kini kondisi gunung tidaklah berupa semak belukar karena terjadinya alih fungsi lahan menjadi ladang tanaman jagung, warga yang bertapa pun tak begitu banyak.
Cerita tokoh adat sekitar, sepekan sebelum ritual inti Nede, tepatnya hari Rabu sore pemangku adat melangsungkan ritual awal dengan membakar dupa di atas batu kemalik. Sembari menancapkan Sawiq (tanda, Red) dengan menggunakan ranting pohon dilengkapi pelapah daun kelapa. Sembari membakar kemenyan itulah, pemangku adat memanjatkan doa sembari menyampaikan hajatannya untuk datang satu minggu ke depan dalam ritual inti dari Nede.
Menurut penuturan warga, dalam kurun seminggu itu, jika ada hujan turun walau hanya sekadar gerimis. Itu diyakini warga sebagai penanda jika Nede mesti dilakukan Rabu depannya. Sehingga Rabu (29/1), ritual Nede pun dilaksanakan. Atas arahan pemangku adat dusun sekitar dan tokoh adat desa, rencana Nede itu pun disiarkan melalui pengeras suara masjid di beberapa dusun.
“Ini lokasi Nede kita ada di 10 dusun. Seperti Dusun Darmaji, Semut, Semuyung Lauk, Semuyung Daye, Bagiq Pemurah, Selak, Peras, Batu Bokah, Montong Bile dan Dusun Belonsong,” tutur Rasid Sidik, Kepala Dusun Bagik Pemurah yang juga tokoh adat ini pada Radar Mandalika di kediamannya, kemarin.
Dalam pelaksanaannya, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemangku adat, pemuda, pemerintah desa dan lainnya hadir berbaur jadi satu. Tak ayal, untuk sampai puncak gunung setempat, ratusan warga harus rela berjalan ratusan meter. Walapun bagi ibu-ibu yang ikut lumayan melelahkan. Sebab, mereka sebagian besar membawa dulang makanan yang berisikan beragam jenis makanan dan buah-buahan. Maklum, jarak antara gunung lumayan jauh dari jalan raya kabupaten yang terdekat dengan lokasi. Kelelahan warga pun terbayar dengan rasa kebersamaan. Apalagi alunan langkah mereka diiringi musik tradisional Gendang Belek milik warga Dusun Semoyong, ikut memeriahkan salah satu program Lembaga Adat Desa (LAD) Kidang ini.
Lanjut, sesampainya di puncak gunung, pemangku adat kembali membakar dupa yang ditaruhkan kemenyan di atas batu Kemalik itu. Ketika asap dupa mengepul ke udara, Gendang Belek dimainkan, teriakan warga minta hujan bergemuruh hingga terdengar oleh masyarakat lain di beberapa dusun, menandakan jika ritual sedang berlangsung.
Beberapa menit kemudian, pemangku adat bersama para kiyai kampung mengarahkan peserta Nede untuk mulai melakukan zikir dan doa bersama. Ketika doa bersama usai, mereka pun makan bersama.
Seperti diketahui, dulunya warga yang ikut Nede sebagian besar membawa payung. Alasannya, usai pelaksanaan Nede langsung turun hujan. Akan tetapi dari beberapa kali Nede, warga tidaklah demikian. Masyarakat lebih memilih basah kuyup asalkan turun hujan.
“Setelah prosesi makan bersama usai, kita baru pulang bersama sembari diiringi Gendang Belek lagi. Kemarin kita Nede, Alhamdulillah sekarang hujan,” sambung Ketua BPD Kidang, Arsadi.
Tradisi ini, konon merupakan tradisi turun temurun menjadi ritual adat yang ditunggu-tunggu masyarakat. Pasalnya, dalam pelaksanaannya semua masyarakat menggenakan pakaian adat. Mulai dari Sapuq (pengikat kepala, Red), Bebet (kain ikat pinggang yang terbuat dari kain) dan pakaian lainnya.
Hanya saja, seiring perkembangan zaman, penggunaan pakaian adat tak lagi jadi kewajiban. Yang penting berpakaian rapi saja. “Walau kita laksanakan dengan swadaya, ritual ini sangat ditunggu masyarakat,” tutur Arsadi. (*/r1)