MARTINA ZAENAH FOR RADAR MANDALIKA PENGUKURAN: Salah seorang anak diukur tinggi badannya oleh petugas di salah satu posyandu di Desa Jango, Kecamatan Janapria, belum lama ini.

PRAYA – Kasus stunting atau balita kurang gizi kronis di wilayah kerja Puskesmas Janapria, Kecamatan Janapria, Kabupaten Lombok Tengah mencapai ribuan kasus. Dari catatan Puskesmas Janapria berdasarkan data sampai Febuari 2021, angka kasus stunting di enam desa sasaran ada sebanyak 1.442 kasus. Dari jumlah itu, terdiri dari tinggi badan anak sangat pendek sebanyak 481 orang dan pendek ada 961 orang.
Berikut rincian angka kasus stunting dari masing-masing enam desa. Berturut-turut angka tertinggi di Desa Lekor yang mencapai 375 kasus, terdiri dari sangat pendek ada sebanyak 87 orang dan pendek ada 288 orang. Kemudian disusul Desa Saba mencapai 361 kasus, terdiri dari sangat pendek ada sebanyak 158 orang dan pendek ada 203 orang. Di Desa Janapria mencapai 272 kasus, terdiri dari sangat pendek 109 orang dan pendek 163 orang.
Selanjutnya, di Desa Setuta mencapai 166 kasus, terdiri dari sangat pendek ada sebanyak 61 orang dan pendek ada 105 orang. Di Desa Pendem terdapat 147 kasus, terdiri dari sangat pendek 29 orang dan pendek 118 orang. Sementara angka kasus terendah di Desa Jango ada 121 kasus, terdiri dari sangat pendek 37 orang dan pendek 84 orang.
Koordinasi Gizi Puskesmas Janapria, Martina Zaenah mengatakan, banyak sekali faktor pemicu terjadinya kasus stunting. Antara lain persoalan pola asuh anak, pernikahan dini, sosial ekonomi, lingkungan, dan sarana berupa alat. Hingga pengetahuan orangtua yang masih kurang tentang kasus stunting itu juga menjadi tantangan dalam pencegahan stunting.
“Belum pengetahuan ibunya. Banyak yang merasa biasa aja kalau (anaknya) pendek, dulu kakaknya juga kecil. Kemungkinan besok kalau sudah besar bisa tinggi,” ujarnya kepada Radar Mandalika, kemarin (29/7).
Tina sapaan akrabnya menyebutkan, total posyandu di wilayah kerja Puskesmas Janapria ada sebanyak 76 posyandu. Sedangkan, jumlah kader ada sekitar 380 orang. Di mana rata-rata terdapat lima orang kader ditiap posyandu.
Faktor lainnya, kurangnya sumber daya manusia (SDM) dari para kader juga menjadi persoalan dalam penanganan dan pencegahan kasus stunting. Namun Tina mengatakan, pihaknya setiap tahun melaksanakan kegiatan pelatahihan kader untuk pengukuran. “Kalau di desa ada PMT (Pemberian Makanan Tambahan),” ujarnya.
Sarana berupa alat pengukuran juga menjadi faktor munculnya angka kasus stunting. Tina mengutarakan, rata-rata posyandu dari semua desa sasaran puskesmas biasanya menggunakan alat meteran biasa. Sehingga data yang dihasilkan pun kemungkinan besar tidak akurat.
“Kemungkinan yang stunting itu yang ndak diukur pakai alat yang standar,” cetusnya.
Sarana berupa alat yang kurang standar yang digunakan di posyandu menjadi atensi pihaknya. Karena data yang dihasilkan pun bisa jadi tidak akurat. Tina memberi contoh seperti kasus gizi buruk atau stunting di Desa Saba. Di mana terjadi perbedaan data dari hasil pengukuran dan penimbangan anak di lapangan dengan saat setelah anak diukur ulang di Puskesmas Janapria.
“Beberapa orang (kader) kemarin dari Desa Saba saya suruh datang ke sini (Puskesmas Janapria). Langsung saya timbang lagi berat badannya, panjang sama tingginya, ternya dia (anak) normal,” tuturnya.
“Jadi, sangat berpengaruh sekali alat ini. Belum lagi waktu mengukur anak yang ndak bisa diam. Itu kita harus pintar-pintar. Harus cepat,” tambah Tina.
Persoalan kurang akuratnya alat yang digunakan di posyandu ini sudah dilaporkan ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB. Pemerintah daerah diharapkan segera mendrop bantuan alat Antropometri yakni alat yang lebih akurat. “Kemarin minta data posyandu mana yang memang tidak ada Antropometrinya (alat ukut dan timbang). Tiap tahun tiang (saya) juga lapor ke dinas kalau alatnya kurang,” tutur Tina.
Sedangkan, Puskesmas Janapria disebutnya memang memiliki alat Antropometri. Seperti Length Board untuk mengukur panjang badan anak, dan Microtoice untuk mengukur tinggi badan anak. Namun jumlahnya dianggap masih kurang dibanding jumlah sasaran.
“Kita memang bawa alat waktu posyandu. Tapi sasaran ndak semua datang. Jadi, kader yang harus swepping. Sementara kita harus pakai alat itu besok,” kata Tina.
Dalam penanganan stunting di masing-masing desa sasaran puskesmas. Kata Tina, pihaknya mengintervensi ibu hamil (bumil) kurang energi kronik (KEK) dengan pemberian makanan tambahan. Di antaranya berupa biskuit. “Bumil KEK kan juga sangat berpengaruh sekali waktu hamilnya,” jelasnya.
Pencegahan kasus stunting harus dilakukan sedari dini. Di mana pihak puskesmas juga menyasar para remaja putri yang notabene akan menjadi calon ibu. Karena nantinya berisiko bagi balita yang penderita stunting. Untuk itu, remaja putri diberikan tablet tambah darah. “Kita kasih tablet tambah darah,” kata Tina. (zak)

50% LikesVS
50% Dislikes
Post Views : 464

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *