MATARAM – Pemerintah Nusa Tenggara Barat (NTB) belum bisa meneken kasus pernikahan dini khususnya bagi siswa SMA/SMK derejat. Dari data yang ditemukan Komisi V DPRD NTB, lonjakan kasus sebelum pandemi dan setelah pandemi meningkat tajam.
“Saat pandemi ada 1.200 kasus. Sebelum pandemi hanya 200 kasus. Ini kenapa kok bisa terjadi,” sentil Anggota DPRD NTB, Akhdiansyah dalam diskusi DPRD NTB Bicara Tiga Tahun Kepemimpinan Zul-Rohmi, Selasa kemarin.
Politisi PKB itu menegaskan, kejadian itu sangat miris. Padahal program yang digenjot Pemprov NTB bagaimana menekan angka stunting dan gizi buruk melalui Posyandu keluarga. Keduanya salah satu faktor yang timbul akibat pernikahan dini.
Maraknya pernikahan dini, diakibatkan gagalnya pendampingan dunia pendidikan untuk mempertahankan investasi gererasi bangsa. Pelajar merupakan para calon pemimpin masa depan. Sehingga jangan berharap kedepannya bisa menghasilkan pemimpin cerdas jika dari sekarang tidak mampu membendung pelajar menikah dini.
“Program stunting dan posyandu keluarga ini bull shit. Faktanya yang dihadapi tidak mampu diatasi. Mau atasi kesehatan sementara penanganan pernikahan dini tidak mampu,” sentil Yongki sapaannya.
Provinsi NTB tercatat masuk tujuh besar di Indonesia dengan angka kasus pernikahan anak tertinggi. Tahun 2020 ini saja, lebih dari 750 kasus pernikahan dini terjadi di Provinsi NTB. Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB mencatat, angka pernikahan dini di NTB mencapai 38,08 persen.
Kabupaten Lombok Tengah menjadi daerah yang paling banyak terdapat kasus pernikahan anak sebanyak 48,64 persen. Kemudian Lombok Timur 45, 91 persen dan Lombok Barat 40,74 persen.
Tingginya angka pernikahan dini di NTB, karena yang menikah di bawah usia 16 tahun mencapai 14,23 persen dan usia 17-18 tahun mencapai 23,8 persen. Kemudian sisanya bukan anak, usia 19-20 tahun sebanyak 24,4 persen, dan yang menikah di atas usia 21 tahun 37,4 persen.
Kondisi itu membuat dewan menginiasi Perda Pencegahan Perkawinan Anak yang disahkan dengan Nomor 5 Tahun 2021. Saat itu, Yongki langsung sebagai ketua pansus. Parahnya, banyak pasal- pasal penting pada Perda itu dihilangkan Pemprov seperti pemberian sanksi bagi yang terlibat menikahkan di bawah umur hingga anggaran 1 persen.
“Justru ini yang membuat kita semakin miris. Ketika Perda yang disusulkakn dicekok juga. Pasal pasal substantif dipotong oleh eksekutif,” semprotnya.
Kejadian itu menunjukkan tidak ada feed back yang baik. “Saya tidak melihat ada politik yang baik penanganan terhadap pernikahan dini itu. Zul-Rohmi semakin mundur,” sindirnya.
Hal kedua yang disoroti mantan aktivis PMII Mataram itu mengenai ketenagakerjaan. Dimana Pemprov NTB tidak pernah memberikan satu solusi kebutuhan lapangan kerja. Bayangkan saja tahun ini ada 70 ribu TKI WNI masuk daftar tunggu pulang dan dari NTB mencapai 6000 an.
“Di NTB itu tentu jadi tantangan bagaimana mereka bisa akses lapangan kerja. Saya tidak melihat Zul Rohmi ini konsen di TKI,” sentilnya lagi.
Selanjutnya dari keberpihakan anggaran, Disnaker NTB mengelola anggaran jauh lebih kecil. Dari perencanaan yang diusulkan sebesar Rp 18 miliar malah yang direalisasikan TAPD hanya Rp 3 miliar.
“Artinya sekali lagi political will mendororong tenaga kerja lebih baik itu yang tidak ada,” sebutnya.
Komisi V juga menyorot aspek penanganan kesehatan yang juga dilihatnya miris. Penanganan Covid-19 tidak transparan. Beberapa kasus GTT yang dianggarkan Rp 14 miliar yang dibayarkan hanya Rp 300 juta.
Terkait pengelolaan anggaran Pemprov pun bobrok. Disatu sisi ada target peningkatan APBD disisi lain tidak mampu merealisasikan pembayarannya.
Komisi V melihat sektor pendidikan, TKI dan sektor kesehatan masih memprihatinkan. Untuk itu Zul Rohmi harus hadir untuk menyelesaikan masalah. “Bukan memunculkan masalah,” terangnya.
Sementara itu, Komisi IV DPRD NTB melalui anggota Komisi IV DPRD NTB, Ruslan Turmuzi mengatakan awalnya cita-cita NTB Gemilang menjadi harapan seluruh masyarakat NTB namun tidak dipungkirinya masih terdapat banyak masalah.
Pekerjaan besar yang harus diatasi Zul- Rohmi bagaimana merealisasikan Perda Rencana Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemprov NTB. Ada beberapa ancaman yang muncul seperti dalam perencanaan awal RTRW kawasan Lakai Langgudu Bima akan dijadikan kawasan pariwisata sementara dalam rancangan perubahannya mau dijadikan sebagai kawasan pertambangan. Dampaknya akan mengalihfungsikan sekitar 200 Ha hutan lindung.
“Ini harus diantisipasi oleh pemerintah dari sekarang ini,” kata Ruslan.
Ruslan menegaskan, Perda RTRW ini menjadi parameter acuan para investor. Selama ini banyak investor pergi lantaran Perda itu tidak jelas.
“Kita harus selesaikan RTRW ini pada periode sekarang. Karena itu yang masih tersisa,” pinta Ruslan.
Hal kedua yang disorot Ruslan mengenai infrastruktur. Dalam revisi RPJMD yang disorot publik anggaran Perda Percepatan Jalan Tahun Jamak yang menelan biaya Rp 750 miliar tidak direvisi. Padahal kondisi fiskal APBD NTB lemah.
“Memang tujuannya menuju jalan mantap Provinsi 8,86 persen,” katanya.
Selanjutnya, dalam revisi Pergub sebagai turunan Perda tersebut pun telah terjadi tiga kali revisi. Dari hasil revisi itu ditemukan alokasi anggaran untuk pulau Sumbawa lebih besar. Kedua banyak intervensi Pemprov NTB kepada ruas jalan yang menjadi kebutuhan kabupaten.
“Kalau melihat alokasi belanja untuk jalan ini lebih banyak alokasinya ke Sumbawa. Kita bisa buka datanya,” sindirinya.
Politisi PDIP itu menegaskan, untuk melihat keberhasilan Zul Rohmi itu harus mengacu kepada capaian RPJMD selama lima tahun.
“Apakah itu gagal atau berhasil. Secara obyektif parameter kita menilai itu dari RPjMD,” katanya.
Anggota DPRD NTB lima periode itu mengatkan, visi misi NTB baru berjalan dua tahun yang dituangkan dalam RPJMD. Selama tiga tahun memimpin NTB telah terjadi revisi RPJMD tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
“Dari RPJMD yang ada semuanya belum tercapai secara maksimal,” katanya.(jho)