MATARAM – Diam-diam Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB sedang mendalami paket proyek pada Dinas PUPR yang sesuai temuan BPK terdapat kekurangan volume yang mengakibatkan harus dilakukan pengembalian senilai Rp 14 miliar lebih.
“Masih didalami oleh tim Jaksa terkait hal ini,” ungkap Kepala Seksi Penkum Kejaksaan NTB, Efrien Saputra di Mataram, kemarin.
Efrien mengatakan, langkah pendalaman yang dilakukannya mengingat adanya laporan aduan dari masyarakat yang masuk di meja Kejaksaan.
“Ada laporan aduan (Lapdu),” katanya.
Meski di satu sisi temuan BPK tersebut mengharuskan ada pengembalian bukan berarti kejaksaan tidak bisa masuk dalam melakukan pendalaman.
“Makanya didalami oleh Jaksa terkait lapdu yang masuk. Kalau rekomendasi tersebut silakan saja dilakukan, tidak masalah,” katanya.
Saat ini kejaksaan sedang mengumpulkan data dan bukti terhadap Lapdu yang diterimanya. Diakuinya tahap ini belum masuk ke ranah pro justicia seperti penyelidikan atau penyidikan.
“Masih puldata dan pulbaket,” tegasnya.
Disinggung apakah akan dilakukan audit investigasi, Efrien mengaku belum sampai ke arah sana.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK ditemukan ada kekurangan volume pada Proyek Percepatan Jalan tahun jamak di belasan titik yang tersebar di NTB. Angka Rp 14 miliar itu merupakan temuan kumulatif dari sekian kegiatan fisik dari banyak penyedia, dimana besaran temuannya bervariasi. Surat rekomendasi BPK itu keluar pada 22 Desember 2022 Nomor 176/LHP-DTT/XIX.MTR/12/2022.
Data yang ditemukan koran ini satu perusahaan akan mengembalikan dana kelebihan bayar cukup besar. Misalnya PT FK diharuskan mengembalikan sejumlah Rp 512.509.000 dari nilai kontrak Rp 28.760.051.000 pada paket 2 Keruak-Labuan Haji, Jembatan Korleko. Begitu juga pada paket 4 Rembige-Pemenang yang dikerjakan PT SR yang harus mengembalikan Rp 300 juta dari kontrak sebesar Rp 34,902,925,000.00.
“Jadi ada kekurangan spek misalnya tebal Aspal 6 cm tapi dibuat 4 cm. Ini yang menjadi temuan BPK,” ungkap narasumber yang enggan dikorankan namanya.
Menurutnya pengembalian sesuai rekomendasi BPK itu belum bisa dilakukan rekanan mengingat mereka juga belum menerima pelunasan pembayaran dari Pemprov dikarenakan kondisi keuangan daerah.
“Karena keadaan uang daerah jadi belum dilunasi,” katanya singkat.
Sementara itu Komisi IV DPRD NTB mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk melakukan audit investigasi. Meski ada mekanisme yang berlaku di BPK yaitu hanya kewajiban mengembalikan namun tidak menutup kemungkinan adanya dugaan pidana dalam pengerjaannya.
“Makanya kita minta dilakukan audit investigasi,” pinta anggota Komisi IV DPRD NTB, Ruslan Turmuzi terpisah.
Dirinya juga telah mengumpulkan sejumlah dugaan bukti pelanggaran pada proyek yang didanai dari pinjaman Pemprov melalui dana PEN tersebut.
“Nanti saya kasih (buka) datanya semua,” ungkapnya.
Diketahui berdasarkan rekomendasi BPK tersebut, tanggal 22 Februari ini (kemarin) merupakan batas akhir pengembalian alias sudah tepat 60 hari. Kepala Bidang Bina Marga Dinas PUPR NTB, Lies Komalasari mengaku belum mengetahui progres pengembalian masing-masing rekanan sampai saat ini.
“Nanti kita cek dulu. (Ini) masih rapat di Bappeda,” ujar Lies singkat. (jho)