MOMEN peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) se-dunia 10 Desember. Sejumlah aktivis di NTB menyampaikan dugaan pelanggaran HAM ke permukaan. Itu semua dituangkan dalam pernyataan sikap bersama dilakukan, Solidaritas Perempuan (SP) Mataram, SOMASI NTB dan WALHI NTB.
Direktur Eksekutif WALHI NTB, Amri Nuryadi menegaskan, ada sejumlah persoalan yang ditemukan pihaknya selama ini. Khususnya yang diduga merampas hak masyarakat. Dia pun menyayangkan masih banyak pihak yang melakukan pelanggaran HAM.
Sementara dugaan kuat terjadinya pelanggaran HAM di NTB dalam kehidupan sosial dan akses ekonomi kerap kali terjadi terhadap warga yang wilayahnya diorientasikan untuk suatu pembangunan yang selalu mengatasnamakan kesejahteraan ekonomi warga. Faktanya menghilangkan bahkan menghancurkan sumber-sumber ekonomi warga baik di daratan sampai dengan pesisir.
Adapun yang ditemukan pihaknya, pada pembangunan proyek strategis nasional Bendungan Meninting di Lombok Barat, proyek ini berdampak serius pada lingkungan hidup, ekonomi warga. Proyek ini menyebabkan hilangnya wilayah kelola warga serta kesehatan perempuan dan anak di Desa Bukit Tinggi, Desa Penimbung, Desa Gegerung dan Desa Dasan Griya, Lombok Barat.
Dijelaskan Amri, Bendungan Meninting dibangun tahun 2019 hingga saat ini masih dalam tahap pembangunan dan dalam proses pembangunan dilakukan dengan adanya pembabatan hutan seluas 10 hektare. Bahkan ada juga pembebasan ratusan hektare lahan milik warga yang berada di beberapa desa. Misalnya, Dusun Murpadang – Desa Bukit Tinggi dan Dusun Murpeji-Desa Dasan Griya.
“Dari hasil studi di beberapa media massa yang memberitakan proses pembangunan PSN – Bendungan Meninting, maupun hasil investigasi lapangan Walhi NTB dan SP mendapatkan informasi fakta lapangan. Tidak melibatkan masyarakat, banyak warga terdampak yang tidak mengetahui akan rencana pembangunan Bendungan Meninting. Minimnya sosialisasi kepada masyarakat, tahun 2018 sosialisasi terkait rencana pembangunan bendungan telah dilaksanakan sebanyak tiga kali oleh Balai Wilayah Sungai (BWS),” ungkapnya dalam keterangan resminya.
Sementara hasil investigasi dilakukannya, pembangunan bendungan Kepala Dusun Jelateng dan Kepala Dusun Penimbung Timur tidak mengetahui akan adanya rencana pembangunan Bendungan Meninting. “Pengakuan salah satu tokoh masyarakat di Desa Geria dalam wawancaranya dengan tim investigasi kami, mereka ngaku tidak pernah dilibatkan dalam sosialisasi pembangunan bendungan. Pihak desa pun tidak pernah juga melakukan sosialisasi,” terangnya.
Selain itu, dampak lain munculnya krsis air bersih. Sungai Meninting yang merupakan sumber air warga Desa Gegerung, Desa Penimbung, Desa Dasan Geria dan Desa Bukit Tinggi sejak ada proyek tahun 2019. Air Sungai Meninting kini jadi keruh. Kendati kondisi air Sungai Meninting berubah menjadi keruh, warga Desa Penimbung, Desa Dasan Geria, dan Desa Gegerung masih menggunakan air Sungai Meninting.
“Dari temuan kami, bahwa kami menduga kuat karena mengkonsumsi air Bendungan Meninting warga mengalami gata-gatal. Setidaknya 50 orang anak dan berakibat buruk pada kesehatan 50 orang perempuan,” sebutnya.
Amri menerangkan, sesuai data diperoleh Bendungan Meninting dibanguan di lahan seluas +90 hektare yang terdiri dari 4,95 hektare kawasan hutan dan 85,5 hektare non kawasan hutan. Sementara, pengakuan warga Dusun Murpadang yang lahannya telah dibebaskan untuk pembangunan bendungan meninting. Pembebasan lahan yang sudah dilakukan untuk Bendungan Meninting mencapai 400 hektare berdampak pada hilangnya sumber penghidupan warga di sana.
“Yang sangat merasakan dampak dari proyek pembangunan bendungan adalah pengerajin sapu, perajin gula aren, dan pembudidaya ikan. Akibat dari proyek pembangunan banyak dari mereka beralih profesi. Di Dusun Penimbung Timur sebelum proyek ada sesuai pengakuan Kadus Penimbung Timur ada 20 warga yang menjadi pembudidaya ikan tetapi setelah proyek pembangunan Bendungan Meninting dimulai, pembudidaya ikan beralih profesi menjadi buruh kasar.,” jelasnya.
Sementara, demikian dialami pembudidaya di Dusun Jelateng. Kadus Dusun Jelateng menyampaikan terdapat 50 warga yang menjadi pembudidaya ikan sekarang sebagaian pembudidaya ikan terpaksa bertahan meskipun hasil menurun.
Dijelaskannya, fakta yang belum lama ini terjadi Hari Jumat 17 Juni 2022 sekitar pukul 16.00 Wita banjir dampak proyek pembangunan Bendungan Meninting. Warga berdampak ada 25 kepala keluarga di Dusun Buwuh, Desa Mambalan, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat mengalami kerusakan rumah dan properti serta kehilangan mata pencaharian (budidaya ikan air tawar) karena rusaknya kolam dan sawah tempat bercocok tanam.
“Ada juga konflik pertanahan antara 763 warga Desa Karang Sidemen dan Desa Lantan dengan PT Perkebunan Kopi Trisno Kenangan seluas 355 hektare,” kata Amri.
Diungkapkan Direktur Walhi baru ini, tahun 2008, 763 Kepala Keluarga Desa Karang Sidemen mulai menggarap lahan eks PT. HGU atas nama PT Trisno Kenangan seluas 150 hektare yang terletak di dekat Kawasan hutan Tastura/RTK I – Desa Karang Sidemen dan Desa Lantan, Kecamatan Batukliang Utara, Lombok Tengah. Adapun izin HGU atas nama PT. Trisno Kenangan telah kadaluarsa sejak tahun 1986 dan tidak dapat diperpanjang oleh PT Trisno Kenangan, bahkan sejak masa berlaku izin HGU habis perusahaan tidak dapat memperpanjang masa waktunya disebabkan beberapa prasyarat izin tidak dapat dipenuhi. Termasuk pada tahun 2010 terbitnya surat Keputusan Bupati Lombok Tengah terkait tentang penetapan lokasi tersebut diperuntukkan sebagai areal perkebunan kopi dengan SK Bupati Loteng Nomor: 1448 tahun 2008 tentang penetapan status kebun kopi di Desa Lantan dan Desa Karang Sidemen tanggal 30 Juni 2008 dan meminta PT. Trisno Kenangan untuk mengosongkan lahan tersebut (SK Bupati Lombok Tengah No. 525.27/672/Hutbun, perihal: perintah pengosongan perkebunan kopi, tertanggal 30 Juni 2008).
“Demikian tahun 2012, Badan Pertanahan Nasional RI menerbitkan surat nomor : 2812/25.3-500/VIII/2012, tanggal 3 Agustus 2012, yang pada pokoknya menegaskan bahwa ‘PT. Perkebunan Kopi Tresno Kenangan memiliki lahan perkebunan di Desa Karang Sidemen dan Desa Lantan, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah yang berakhir Hak nya tanggal 14 Desember 1986 sehingga status tanah tersebut menjadi TANAH NEGARA’,” bebernya.
Selanjutnya, Oktober 2022, PT. Trisno Kenangan memasang plang yang berisikan tulisan “Tanah Milik PT Trisno Kenangan” di Lahan yang telah digarap dan dikuasai oleh warga sejak tahun 2008-2010 padahal izin HGU atas nama PT. Trisno kenangan telah habis masa berlaku atau telah lampau waktu, sehingga mendapat perlawanan oleh warga Desa Lantan, sampai sekarang lahan tersebut masih dikuasai oleh Warga Desa Karang Sidemen dan Desa Lantan. Warga berharap dapat mengajukan pengelolaan lahan tersebut secara kolektif atau kelompok melalui skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) sebagaimana dalam Perpres Nomor: 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
“Sehingga kami Walhi NTB mendampingi setiap konsolidasi dan upaya warga dalam melakukan advokasi dan kampanye untuk mendapatkan pengakuan negara atas ruang kelola dan ruang penghidupannya di lahan tersebut,” jelasnya lagi.
“Konflik pertanahan, berikutnya penghancuran lingkungan hidup dan pelanggaran HAM di lingkar Ekonomi Khusus Mandalika,” sambung Amri.
Diterangkan dia, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika adalah salah satu dari apa yang disebut Destinasi Pariwisata Super-Prioritas di Indonesia. Mega proyek pembangunan di pulau lombok sebagian besar didanai oleh Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) sebesar 248,4 juta USD. AIIB adalah bank yang saham terbesar dari 85 Negara anggota dimiliki oleh China, yaitu 26,3 persen saham. Dengan demikian, tentu saja China memiliki kepentingan ekonomi yang cukup besar dalam pengembangan KEK di Mandalika-Lombok Tengah. Proyek ini juga dikategorikan sebagai bagian dari Belt Road Initiative (BRI) di China yang juga dikenal sebagai One Belt One Road (OBOR).
“Kami Walhi berinisiatif untuk mengadvokasi mereka yang terkena dampak pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus di Mandalika. Selama proses pembangunan berlangsung standar pengelolaan kelestarian lingkungan tidak ditegakkan, relokasi bagi masyarakat terdampak tidak ditangani dengan baik, dan pelanggaran hak asasi manusia menjadi isu serius, terutama dalam penyelesaian konflik lahan, perlindungan warisan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat, serta keselamatan perempuan dan anak-anak,” tegasnya.
Sementara tujuan pembangunan KEK Mandalika yang berorientasi pada peningkatan ekonomi, kontras dengan proses pembangunan yang di bawah standar dan sistem perlindungan pembiayaan yang dipersyaratkan oleh AIIB.
“Beberapa hasil kajian dan penilaian lapangan WALHI NTB adalah adanya konflik lahan, kerusakan lingkungan dan dampak buruk terhadap perekonomian warga yang saat ini semakin menurun karena sebagian besar akses ekonomi sudah tidak tersedia lagi sebagai petani, nelayan dan peternak serta relokasi tidak layak,” ungkap Amri.
Dikatakan Amri, beberapa temuan dalam melakukan investigasi lapangan. Tahun 2018 pemerintah mengklaim telah melakukan pembebasan lahan dengan skema ganti rugi dan menggusur warga yaitu penggusuran pertama tanpa ganti rugi/ganti rugi, tahun 2019 penggusuran kedua dan pada tahun 2021 penggusuran ketiga penggusuran tersebut menyebabkan warga sebagai pemilik lahan yang tidak setuju dengan metode ganti rugi, mereka tetap bertahan di lahan mereka dengan cara berpindah dan kembali ke lahan mereka. Hampir 100 orang atau sekitar 36 KK yang tersisa tinggal di samping lokasi pembangunan dekat sirkuit. Selama event MotoGP 2022 Maret, anggota polisi dan pasukan keamanan Indonesia memiliki kendali penuh atau berkemah di rumah-rumah dan di sekitar pemukiman orang-orang yang terkena dampak proyek. Anggota masyarakat setempat juga dicegah untuk menegaskan hak-hak tanah mereka dan menuntut kompensasi yang adil dan penyelesaian sengketa.
Sementara WALHI NTB masih terus melakukan kosolidasikan warga terdampak dan pemantauan terhadap lingkungan di KEK Mandalika.
“Yang terbaru terancamnya pertanian produktif disebabkan aktivitas pertambangan galian C di Desa Menemeng dan Bilabante, Lombok Tengah. Wilayah Dusun Gundul dahulu merupakan bagian dari Desa Bagu namun setelah adanya pemekaran pada tahun 2015 masuk menjadi wilayah Desa Menemeng. Aktivitas sehari-hari warga Dusun Gundul yang berjumlah 850 jiwa adalah petani pemilik, petani penggarap dan buruh tani, dimana wilayah pertanian subur milik warga Dusun Gundul seluas ±200 Hektare termasuk dalam wilayah Desa Bilabante yang terletak di sebelah barat Desa Menemeng. Selanjutnya luas wilayah Desa Menemeng adalah 288,4075 dengan keadaan topografi sebagian besar dataran dengan sistem irigasi yang baik sehingga kegiatan pertanian menjadi sektor ekonomi yang bergerak dinamis di Desa Menemeng, hal inilah yang menggerakkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia bergerak bersama-sama warga Dusun Gundul dan sekitarnya untuk memperjuangkan wilayah pertanian sumber penghidupan warga agar tetap terjaga dan lestari,” sebutnya.
Semerntara ada dugaan aktivitas pertambangan pasir illegal sejak tahun 1999 di beberapa titik di Desa Bilebante, termasuk di kawasan pertanian yang digarap oleh warga Dusun Gundul. Tahun 2002 muncul penolakan dari warga Dusun yang makin hari penolakan warga semakin kuat terhadap pertambangan pasir galian C.
Sementara, tahun 2005 penolakan warga Dusun Gundul terhadap tambang pasir semakin meluas, sehingga warga meminta Kepala Desa Bilebante, Camat Pringgarata dan Bupati Lombok Tengah agar menghentikan dan menutup tambang pasir tersebut. Tak direspons waktu itu warg langsung melakukan aksi pemblokiran jalan.
“Akibat penolakan warga tersebut warga kemudian tiga orang warga dikriminalisasi. Ada, Saleh Las Amaq Rabiah alias Haji Zulkarnaian, Saneh alias Amaq Sartini, dan Arinah oleh penambang illegal dengan tuduhan melakukan perusakan jembatan, dan dalan vonis Pengadilan Negeri Praya Lombok Tengah akhirnya warga dikenakan tidak pidana ringan, dan dalan kasasi yang diajukan jaksa, Mahkamah Agung (MA) warga diputuskan bebas murni (tahun 2007) dengan didampingi WALHI,” ungkap dia.
Sementara tambang di wilayah Dusun Gundul akhirnya berhenti namun di titik-titik lain di wilayah Desa Bilebante tetap dilakukan penambangan liar oleh pera panambang, yang kemudian memicu keberanian penambang lain untuk kembali berani membuka dan melakukan penambangan di dusun Gundul. Beberapa upaya penambangan illegal pernah dilakukan dalam kurun 2008-2015 namun tetap berhasil di tolak warga.
“Akan tetapi usaha “jahat” perusahaan untuk melakukan pengerusakan ruang penghidupan warga terus dilakukan dengan berbagai macam cara, bahkan pada awal tahun 2019 salah seorang aktivis Walhi NTB yang memimpin langsung pendampingan warga mendapatkan tekanan serius yaitu rumah miliknya dibakar oleh orang tidak dikenal dan diduga kuat karena upaya dan perjuangan bersama warga Desa Menemeng dalam melakukan penolakan terhadap beroperasinya tambang galian C,” yakinnya.
Pada bulan Oktober 2022, warga dikejutkan kembali dengan terbitnya Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi atas nama CV. Karman Jaya Unggul dengan lokasi izin di Desa Bilabante dan akses jalan di Desa Menemeng. Beberapa izin yang menunjukkan bahwa perusahaan tersebut diberikan beraktivitas eksploratif disalahgunakan dengan melakukan aktivitas produksi, sehingga warga kembali melakukan penolakan atas izin dan aktivitas operasi produksi pertambangan oleh perusahaan CV Karman Jaya Unggul.(red)