JHONI SUTANGGA/RADAR MANDALIKA Mori Hanafi

MATARAM – Wakil rakyat di DPRD NTB buka suara terkait PT Gili Trawangan Indah (PT GTI). Dewan mempersoalkan terkait Kejati NTB melalui Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang merekomendasikan perubahan kontrak produksi kerjasama pengelolaan aset oleh PT GTI tentang pemanfaatan lahan seluas 65 hektare are di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.

Wakil Ketua DPRD NTB, H Mori Hanafi mengatakan, usulannya sangat jelas dan kongkrit. Kalaupun mau di-adendum, angka wajar sewa lahan pertahun yaitu sebesar Rp 15 miliar.

“Usulan saya jelas dan kongkrit. Apabila mau di-adendum kontrak dengan PT GTI, maka angka wajar sewa lahan pertahun Rp 15 miliar. Kalau PT GTI tidak mau maka silakan keluar,” minta Mori.

Mori menyebutkan, Pemerintah Provinsi  NTB tidak akan rugi. Bahkan kata dia, kalaupun Pemprov yang mengelola sendiri, potensi pendapatan malah dinilai lebih besar.

“Pemprov akan lebih untung. Karena kalau dikelola sendiri, potensi pendapatan Pemprov bisa Rp 30 miliar setahun,” yakinnya.

Sementara itu, anggota DPRD NTB lainnya memberikan tanggapan serupa dan lebih mengutamakan suara rakyat. Menurut Sudirsah Sujanto, bahwa dari lima konsep Kejati, dinilainya tidak banyak yang mengakomodir kepentingan masyarakat. Terlebih dapat mengangkat ekonomi berbasis kerakyatan.

“Bayangkan, kejati malah merekomendasikan GTI yang keberadaan serta selama ini menjadi “benalu” pembangunan pariwisata ini. Dilakukan adendum (terinspirasi Pemda KLU-TCN). Lebih dari 20 tahun menelantarkan tanah HGB, justru dibukakan peluang addendum?” tanya dia.

“Kayak tidak ada pengusaha lokal atau konsorsium lain di republik ini,” tambahnya.

Bahkan dia memberikan sebuah opsi. Jika Pemprov tidak mampu mengelola lahan GTI, maka pindahkan ke Pemda KLU untuk dikelola dan dicarikan investor termasuk rakyat. Pola itu, kata Sudirsah, dinilai jauh lebih menguntungkan daerah dan rakyat.

“Kalau kembali ngasi GTI “bercokol”, ya sama artinya kembali menelantarkan tanah potensial Trawangan untuk puluhan tahun lagi tanpa hasil bagi rakyat atau negara. Dari statemen (pihak kejati), saya menduga baru hanya lihat dokumen puldata sepihak (dari sisi PT GTI), tanpa pernah melihat secara langsung atau belum melakukan investigasi secara benar-benar komprehensif,” sentilnya.

Dia lalu mempertanyakann, dimana dan apa yang telah dirintis dibangun oleh GTI Sejak tahun 1996 GTI. Apakah hanya membangun gubuk kecil. Entah mau digunakan untuk apa. Hanya Allah dan mereka yang tahu. Faktanya, tidak pernah ada satu krikil fondasi bangunan apapun yang mereka buat.

“Rakyat punya bukti foto, visual dan lainnya serta bisa diambil salin kapan saja bagi yang mau lihat kebenaran,” terang politisi Dapil KLU-Lobar itu.

Dia pun mengaku, sangat menyayangkan. Dimana kemudian rakyat dituding melakukan pengerusakan. Menurut dia, bisa iya dan bisa juga tidak. Kemudian rakyat dituding melakukan pengerusakan? May be yes, may be no. Tapi jika mungkin ada pengerusakan, bukan 65 hektare yang mereka kelola yang rusak. Tapi mungkin hanya sejengkal tanah dari HGB yang dimiliki. Lalu apakah itu yang membuat mereka merasa terganggu untuk melanjutkan pembangunan fasilitas resort wisata di puluhan hektare tanah GTI.

“Kenapa tidak bangun ribuan meter persegi lainnya yang tidak dirusak? Kalau memang benar-benar mau serius investasi,” sentilnya lagi.

Dewan menilai hal tersebut harus dijawab atau minimaln mencari tahu dengan serius dan transparan.

“Ini harus dijawab, dicari tau dengan hati bersih penuh amanah Lillahitaalla,” pintanya.

Menurut dia, rakyat begitu sangat berharap hasil yang membahagiakan setelah puluhan tahun dalam kebuntuan (usulan hak kepemilikan, HGB, HGU, atau hak hak hak sebagai anak bangsa terwujud). Namun ternyata, masih tetap gelap.

“Rakyat kembali bergumam, kalau hasil investigasi pihak yang diamanahkan gubernur akhirnya tetap membuka peluang GTI menguasai lahan yang selama ini ditelantarkan, lalu untuk apa?,” tanya dia lagi.

Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi NTB menilai kontrak produksi PT GTI dengan pemerintah harus diadendum, diubah. Mitra PT GTI harus tunduk dengan penyesuaian apa pun risikonya.

“Suka tidak suka dia harus tunduk karena kalau tidak akan berpotensi merugikan negara. Ini juga jadi perhatian teman-teman di KPK,” kata Kasi Penkum Kejati NTB Dedi Irawan, belum lama ini.(jho)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *