FENDI/RADARMANDALIKA.ID Ilustrasi

Gara-gara Merantu Bisa Bangun Rumah, Tidak Bisa Paksa Sekolah

Para guru honorer di Kabupaten Lombok Timur bisa dibilang jauh dari kata cukup. Sama halnya dengan keluh kesah mereka yang berhasil direkam Radar Mandalika.

FENDI-LOMBOK TIMUR


 MENJADI tenaga pendidik honorer mungkin dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Setelah menyelesaikan proses pendidikan yang begitu lama, mulai dari SD sampai dengan Strata 1 (S1) membutuhkan waktu sangat lama, 18 tahun bahkan lebih.

Diungkapkan salah satu guru honorer asal Lombok Timur, Herlan Nurjaya, dia merupakan guru honorer di salah satu MTs. Katanya, dia jadi guru honorer sejak 2013 silam, dia mengabdi pada profesi tersebut dengan penuh ketekunan, selama lebih 5 tahun mengabdi, ia memutuskan untuk pergi merantau ke Kalimantan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Sebab jadi guru tidak bisa berbuat lebih.

Diceritakan dia, di Kalimantan ia bekerja serabutan ini cara dirinya mengumpulkan bekal untuk memenuhi kebutuhan keluarga, anak, istri dan orang tuanya di Lombok Timur.
 “Lama saya ngabdi di sana, tapi dibayar hanya cukup untuk bensin saja,” ungkapnya.
 Dengan hasil merantau di daerah orang, dia mampu mendirikan rumah sederhana sebagai tempat tinggal bagi keluarga kecilnya.

 “Setelah beberapa lama, sekitar 1 tahun pulang dari rantauan, saya di tawarkan ngajar di MTs Darul Muhsinin NW Surabaya Utara, sejak itu saya mulai ngajar,” sambung ceritanya.
 Pada sekolah itu, gaji seadanya, namun dirinya tetap istiqomah untuk mengamalkan ilmunya, mengurus dan mengajar siswa sejak pagi hari sampai dengan pulang sekolah. Rutinitas ini sudah 3 tahun berjalan ia lalui.
 

“Pokoknya kita istiqomah, insyaallah besok seiring berjalannya waktu, kita bisa di ajukan sertifikasi oleh kepala sekolah,” harapnya.
 dia mengaku masa pandemi sangat mempengaruhi penghasilannya sebagai pengajar, aktifitasnya juga tidak menentu. Tidak ada penghasilan membuatnya harus terlilit hutang demi memenuhi kebutuhan keluarga.
 

“Makan tetap, penghasilan tidak ada, terpaksa kita berhutang, miskipun ada BLT tapi belum cukup untuk memenuhi kebutuhan makan dan jajan anak, ujarnya.
 Sempat mendengar tentang subsidi gaji, dirinya berharap segera direalisasikan untuk menutupi kebutuhan kesehari,” katanya.
 “Subsidi gaji ini harapan saya satu- satunya jika tidak terealisasi kita tidak tahu harus ngapain, kita gembala aja sudah,” katanya pesimis.


 Dirinya menegaskan tidak bisa memaksa sekolah untuk mebayar dirinya per jam, karena kemampuan sekolah juga belum memadai, dia tegaskan perhatian pemerintah perlu di tingkatkan untuk memberi kesejahteraan bagi tenaga guru Non PNS.
 “Sekolah juga tidak mampu, besar angan- angan kita supaya subsidi gaji dapat terealisasi tepat sasaran, dan kita inginkan perhatian lebih dari pemerintah pusat maupun daerah,” harapnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *