Sebagai Bentuk Rasa Syukur, Termasuk Momen Cari Jodoh
Tradisi Perang Timbung di Desa Pejanggik, Kecamatan Praya Tengah setahun sekali digelar. Jumat sore pekan kemarin kembali dilaksanakan dengan aman dan lancar. Berikut cerita di balik keberadaan perang timbung.
KHOTIM-LOMBOK TENGAH
Di telingan masyarakat Lombok sudah sering mendengar adanya perang timbung. Tapi ada banyak yang tidak tahu awal mula sehingga adanya perang timbung. Termasuk prosesnya.
Sesepuh Adat Desa Pejanggik, Kecamatan Praya Tengah, Amaq Murne Alias Mudiah menceritakan tata cara pelaksanaan perang timbung. Pertama warga menggunakan baju adat, kemudian para kiyai dalam pelaksanaan adat ikut terlibat, ada kolaborasi adat dan agama satu kesatuan tidak terpisahkan saat prosesi berlangsung.
Perang Timbung katanya, merupakan tradisi peninggalan leluhur dalam perang zaman terdahulu. Dimana, peperangan kerajaan agar keributan dan kekacauan zaman dulu suka duka diganti dengan perang kesenangan dan kesyukuran dalam wujud mengenang masa lalu pada Abad ke 1. Selama ini, perang timbung berlangsung di areal Makam Serewe di desa setempat yang merupakan petilasan Makam Raja Pejanggik, banyak menyebutkan Arya Banjargetas. Ada juga menyebutkan Gajah Mada.
Ceritanya, saat itu kerajaan Lombok dipimpin Gajah Mada, Kerajaan Jawa bahkan kerajaan Bali juga dipimpin Gajah Mada. Pada zaman itu disimbolkan Kerajaan Jawa sebagai bendera putih, Kerajaan Bali bendera merah dan kerajaan Lombok bendera hijau bulan bintang. Yang merupakan satu kesatuan.
Selanjutnya, kerajaan pada zaman itu, kerajaan Bayan Lombok Utara, Kerajaan Selaparang Lombok Timur dan Kerajaan Pejanggik Lombok Tengah merupakan satu kesatuan dan satu orang mengingat menghilangnya para raja secara bersamaan itulah secara gaib diyakini warga sasak satu orang dan satu kesatuan.
Dilanjutkan tokoh satu ini, pada tradisi Perang Timbung di Makam Serewe diibaratkan merupakan seperti rumah mempelai wanita pada prosesi nyongkolan dimana merupakan rumah sang mempelai wanita, sementara Bale Beleq merupakan rumah sang mempelai pria membawa sajian makanan diiringi dengan gamelan menuju rumah mempelai wanita.
Untuk itu, pada dasarnya merupakan ungkapan rasa syukur dan mengenang masa perang terdahulu para raja berdoa dan perwujudan Perang Timbung ini merupakan budaya, dengan sebaris gadis dan pemuda saling lempar dan menjadi kepercayaan barang siapa terkena lemparan timbung akan berjodoh.
Selanjutnya, rangkaian sebelum prosesi Perang Timbung dimulai ada proses pembuatan ketan dari padi dengan ditubruk, kemudian penyiapan kayu khusus dari akar kelapa yang telah kering hanya menggunakan bara dalam mematangkannya. Timbung lalu dilapisi dengan daun pisang di dalamnya di masukkan ke dalam bambu berisi ketan dan santan yang mulai dimasak dengan cara dipanggang di atas bara. Proses pemanggangan dilakukan usai salat Magrib hingga Subuh, bahkan satu kampung tidak ada yang tidur pada saat prosesi berlangsung di Desa Pejanggik khususnya.
“Ada juga memasak nasi dan lauk yang akan dibawa ke makam sore hari,” ceritanya kepada Radarmandalika.id.
Selanjutnya, sekitar 300 orang beriring-iringan melakukan sesuai hajatan dan kemampuan masyarakat. Dengan dulang tinggang (tempat sajian makanan sasak, red) dan satu buah Timbung dengan perorang membawa satu. Nantinya, timbung ini oleh-oleh untuk para tamu yang hadir dalam acara tasyakkuran Perang Timbung.
“Makna Besapuk (ikat kepala adat sasak, red) secara makna bahwa semua saling menghargai, bambu maknanya saling mendengarkan, kemudian kayu pembakaran menggunakan sengkar (akar kelapa, red) seperti tradisi sediakala supaya matang sempurna agak lama. Ada filosofi pemanggangan menggunakan bara jauh dari api supaya tidak terbakar dan gosong,” katanya.
“Bale beleq ini bukan rumah tapi rumah, dibilang masjid tapi bukan masjid, sehingga disebut dulu Masjid siu bedere kuluhu (Masjid 1000 bendera satu) yang menandakan kebersatuan terhadap Tuhan yang Maha Esa, pada nilai ketauhidan Allah ta’ala,” ucapnya.
Di tempat sama, Kades Pejanggik, Ahmad Nurailah menambahkan tradisi dari nenek moyang itu memang harus dijalankan setahun sekali, dengan bagaimana kemudian pemerintah desa memberdayakan masyarakat dan terus mendukung kegiatan ini.
“Tradisi Perang Timbung ini sudah diakui skala nasional oleh Kementerian Pariwisata. Kita juga menerima piagam penghargaan berupa sertifikat budaya,” kata kades.(*)