ilustrasi

 

MATARAM – Dana Operasional Sekolah (BOS) NTB disorot Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan NTB saat penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) NTB tahun 2021 yang berlangsung, Jumat lalu di Mataram.

 

Kepala BPK RI Perwakilan NTB, Ade Iwan Ruswana mengatakan, hasil temuannya pengelolaan dan BOS di beberapa SMA masih terlihat belum tertib meliputi penggunaannya. Penggunaan dana BOS belum didukung dengan bukti pertanggungjawaban yang valid. Penggunaan BOS menyalahi ketentuan untuk tujuan yang bukan peruntukannya.

 

“Ada juga penggunaan dana BOS serta laporan penggunaan dana BOS terlambat disampaikan,” ungkap Ade saat serah terima LHP atas LKPD Pemda NTB.

 

Atas temuan ini, BPK  mendorong agar Pemprov NTB memperbaiki kinerja pengelolaan dana BOS dan memonitor laporan penggunaan dana BOS Melalui aplikasi yang telah ditetapkan BPK. BPK juga menemukan kelebihan penggunaan dana BOS.

“Maka BPK merekomendasikan pengembalian beberapa kelebihan penggunaan dana BOS,” tegasnya.

 

Selain itu, BPK juga menemukan pertanggungjawaban belanja hibah dan Bansos belum memadai. BPK mendorong pemerintah Provinsi NTB agar menyempurnakan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang mengatur pemberian sanksi kepada penerima hibah dan bantuan keuangan yang tidak melaporkan pertanggungjawabannya.

 

Parahnya, ditemukan ada pemotongan penggunaan dana hibah atau bantuan dana bantuan hibah dan bansos oleh oknum yang memang tidak bertanggung jawab.

 

“BPK meminta supaya Pemprov NTB bisa meminimalisir adanya potongan. Karena di lapangan masih ditemukan di sana-sini masih ada potongan-potongan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab,” tegas Ade.

 

Berikutnya, BPK juga mengatensi penyelesaian proses likuidasi PT DMB berlarut-larut sehingga menyebabkan pemenuhan hak dan kewajiban para pemegang saham terbengkalai. BPK meminta gubernur NTB selaku pemegang saham untuk berkoordinasi dengan para pemegang saham lainnya agar secara tegas memerintahkan PT DMB untuk melaksanakan percepatan proses likuidasi yang sudah berlangsung sejak tahun 2019.

 

“Kalau tidak salah dengan target waktu yang jelas, melaporkan hasilnya di dalam Rapat Umum Pemegang Saham,” paparnya.

 

Sementara itu, BPK melihat tingkat kesejahteraan masyarakat NTB dalam satu tahun terakhir terdapat indikator yang menunjukkan perbaikan. Namun demikian pada aspek penurunan angka kemiskinan BPK menemukan adanya permasalahan yang perlu mendapat perhatian dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Pertama belum adanya koordinasi dan sinkronisasi penanggulangan kemiskinan pemerintah Provinsi NTB dengan Pemerintah kabupaten Kota. Selain itu belum ada monitoring dan evaluasi atas program kegiatan penanggulangan kemiskinan.

 

Hal ini terjadi karena penanggulangan kemiskinan daerah atau provinsi yang dibentuk oleh gubernur belum melaksanakan tugas dan fungsinya secara memadai. BPK tidak dapat menelusuri jejak hasil kerja atau hasil tugas yang telah dilakukan oleh Tim Koordinasi Penanggulanan Kemiskinan Daerah (TKPKD) dalam rangka koordinasi atau mengorgansir kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan baik pada tingkat perencanaan pelaksanaan evaluasi dan pelaporan. TKPKD juga belum memiliki rencana penanggulangan kemiskinan daerah yang menjadi acuan kerja. Kabupaten dan Kota tidak melaksanakan rapat koordinasi secara berkala dengan TKPD sehingga merska belum menyusun instrumen dan parameter untuk menilai keberhasilan program program penanggulangan kemiskinan serta menyusun laporan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan daerah.

 

“TKPD yang dibentuk gubernur NTB tidak berjalan dengan baik,” sebutnya.

 

Persentase Penduduk miskin di NTB tahun 2021 sebesar 12,83% turun sebesar 0,4% dari tahun sebelumnya yaitu 2020 14,23 persen. Persentase Penduduk miskin di NTB tinggi dari rata-rata nasional sebesar 9,71%. NTB menempati urutan ke 27 dan 34 provinsi penduduknya miskin. Padahal Pemerintah Provinsi NTB telah memiliki Peraturan Gubernur nomor 29 tahun 2021 tentang penanggulangan kemiskinan.

 

Kedua perancangan kebijakan penanggulangan kemiskinan perlu memanfaatkan data kependudukan yang relevan dan akurat. selama ini Dinas Sosial Provinsi NTB tidak menggunakan data DTKIS atau data dari BKKBN dalam menentukan kelompok penerima bantuan penentuan kelompok penerima bantuan hanya melalui usulan pada kegiatan reses DPRD tahun sebelumnya. Selanjutnya usulan nama-nama kelompok di input dalam aplikasi E-Pokir untuk masuk ke dalam.

 

Begitu pula untuk program penanggulangan kemiskinan bagi masyarakat rentan miskin penentuan sasaran masyarakat penerima program tidak menggunakan data DTKIS tetapi berdasarkan usulan pada kegiatan reses DPRD lalu di input dalam aplikasi E Pokir. Hal itu berdampak terhadap potensi pemberian bantuan atau hibah tidak tepat sasaran. Hasil perbandingan secara  antara Nomor Induk Kependudukan (KTP) penerima bantuan dengan data di DTKIS dengan memgambil sampel 469 orang terbagi dalam 78 kelompok penerima bantuan diketahui 279 orang atau 59,5% atau 60% tidak masuk ke dalam DTKIS.

 

“Selanjutnya uji petik itu menunjukkan adanya penerima bantuan yang tidak layak menerima bantuan. Di desa desa Kelompok Usaha Bersama yang sudah jelas keberadaan dan usahanya, bantuan yang diterima belum dapat dimanfaatkan bahkan ada yang dijual kembali dan ada beberapa potongan ilegal dari bantuan berupa uang,” paparnya.

 

Atas hal itu, BPK merekomendasikan gubernur NTB agar mengupayakan peningkatan kinerja OPD tersebut untuk supaya menggunakan data DTKIS atau hasil pendataan keluarga BKKBN dalam menyusun rancangan program penanggulangan kemiskinan terutama dalam menentukan sasaran penerima program hibah.

 

BPK juga menemukan anggaran bantuan  kepesertaan BPJS ganda. Provinsi mengalokasikan anggaran di dalam APBD, tetapi juga dialokasikan melalui APBN. Jumlah yang ditemukan BPK sebanyak 8.270 jiwa.

 

Dalam hal ini, Dinas Kesehatan Provinsi NTB diminta melakukan koordinasi dengan BPJS untuk validasi data kepesertaan ganda tersebut. Sampai dengan pemeriksaan berakhir koordinasi tersebut baru menghasilkan penonaktifan data ganda peserta JKN KIS Provinsi sejumlah 2.885 jiwa.

 

Dengan adanya penonaktifan itu akan mengurangi pengularan anggaran provinsi. Lalu sebagian besar peserta yang di non aktifkan data kepesertaan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBU) lingkup Pemprov NTB belum akurat sebanyak 3.908 orang.

 

Berdasarkan hasil validasi data kepesertaan PBU  Dinas Sosial pemerintah Provinsi NTB dengan Dinas Sosial Kabupaten Kota diketahui bahwa peserta penerima PBU yang menjadi kewajiban pemerintah Provinsi NTB telah meninggal dunia sejumlah 1.365 peserta dan data peserta yang tidak ditemukan di lokasi atau pindah sejumlah 2.618 peserta.

 

“Sampai dengan pemeriksaan berakhir BPJS Kesehatan belum dapat menonaktifkan kepesertaan tersebut sehingga perlu ada koordinasi lebih lanjut antara Dinas Kesehatan antara Dinas Sosial mungkin dengan BPJS,” paparnya.

 

Ade mengatakan, pasal 20 undang-undang 15 2004 tentang pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara mengamanatkan bahwa pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi LHP. Pejabat wajib memberikan jawaban atas penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi jawaban dan penjelasan dimaksud disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 hari setelah Laporan diterima.

 

BPK berharap agar pemerintah tidak hanya mengejar opini WTP terkait penyajian laporan keuangan tetapi juga akan mendorong pemerintah Provinsi NTB tentunya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.

 

 

Sementara itu Gubernur NTB, Zulkieflimansyah mengakatakan jika mendengar apa yang disampaikan BPK tentu masalah yang sama hampir terjadi di semua daerah. Dana BOS misalnya hampir di semua daerah ada penyalahgunaan. Lalu bantuan hibah yang tidak dilaporkan, dialihkan ke yang lain. Dicontohkannya, program diberikan ke Timses, terkadang tidak diberikan bisa marah. Terkadang bantuan diberikan karena kecil abai atas pelaporannya. Namun demikian dari persoalan itu yang terpenting bagaimana mengkomunikasikan dengan Aparat Penegak Hukum (APH) dibantu BPK dan BPKP supaya tidak melanggar hukum.

 

“Ini semua ada caranya (penyelesaia), (supaya) makin lama makin baik. Kan kita nggak bisa kontrol sampai semua orang. Jadi jangan terlalu membesarkan, kayak hari kiamat aja,” terang gubernur.

 

Politisi PKS itu menegaskan, demokrasi menuntun supaya semua program berinterkasi langsung dengan masyarakat.

Semua persoalan itu pasti ada solusinya. Dalam hal ini, lanjutnya BPK tidak melihat besara nominalnya tapi apakah ada pelaporannya, benar tidak lokasi bantuannya.

 

“Dan kita harus akui bantuan itu, rakyat masih abai terhadap pertanggungjwabannya. Tapi ini akan terus ada perbaikan perbaikan,” ujarnya.

 

“Semua ini masukan, harus kita pertanggungjawabkan,” sambungnya.(jho)

 

50% LikesVS
50% Dislikes
Post Views : 692

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *