PRAYA — Kasus stunting atau bayi kurang gizi kronis di wilayah kerja Puskesmas Pengadang, Kecamatan Praya Tengah (Prateng), Kabupaten Lombok Tengah masih terbilang tinggi. Puskesmas Pengadang mencatat, dari jumlah 2.929 anak yang diukur tinggi badannya, ditemukan angka kasus stunting di tujuh desa/kelurahan sasaran sebesar 31 persen atau 917 kasus di tahun 2020. Terdiri dari tinggi badan sangat pendek ada sebanyak 220 orang dan pendek ada 697 orang.
Kepala Puskesmas Pengadang, Hermandi menyampaikan, jumlah angka balita yang penderita stunting di wilayah kerjanya ada sebanyak 917 kasus berdasarkan data pengukuran terakhir. “Per desanya rata-rata tinggi karena sesuai dengan jumlah penduduk dan balitanya,” katanya kepada Radar Mandalika, kemarin (28/7).
Adapun rincian angka kasus stunting dari masing-masing desa/kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Pengadang. Berturut-turut tertinggi di Desa Pengadang mencapai 343 kasus, terdiri dari sangat pendek ada sebanyak 88 orang dan pendek ada 255 orang. Disusul Desa Prai Meke mencapai 120 kasus, terdiri dari sangat pendek ada sebanyak 27 orang dan pendek ada 93 orang. Di Gerantung mencapai 104 kasus, terdiri dari sangat pendek ada sebanyak 24 orang dan pendek ada 80 orang.
Kemudian angka stunting di Desa Beraim juga mencapai 104 kasus, terdiri dari sangat pendek ada sebanyak 25 orang dan pendek ada 79 orang. Selanjutnya, Desa Jurang Jaler mencapai 87 kasus, terdiri dari sangat pendek ada sebanyak 13 orang dan pendek ada 74 orang. Disusul Desa Dakung mencapai 86 kasus, terdiri dari sangat pendek ada sebanyak 25 orang dan pendek ada 61 orang. Terendah di Kelurahan Jontlak mencapai 73 kasus, terdiri dari sangat pendek ada sebanyak 18 orang dan pendek ada 55 orang.
Dalam rangka menekan angka kasus stunting di tujuh desa/kelurahan itu. Hermandi sudah meminta pemerintah desa dan kelurahan masing-masing untuk membantu pihak puskesmas. Baik bentuknnya pemberian makanan tambahan (PMT), kegiatan dalam kelas balita, dan sarana prasarana penunjang lainnya. “Itu kita lempar ke desa,” katanya.
Hermandi menambahkan, pihaknya juga sudah meminta peran dan dukungan dari para tokoh agama untuk menyadarkan masyarakat khususnya kepada para orangtua balita dalam meminimalisir faktor pemicu kasus stunting. Persoalannya, pola asuh anak, pernikahan dini hingga lingkungan kurang maksimal menjadi pemicu stunting.
“Kita minta tolong lah entah di kebersihannya. Di keluarganya jangan sampai anak balita itu pola asuhnya yang berbeda. Karena banyak anak-anak kita belum enam buan sudah dititipin sama papukuk-nya (nenek),” katanya.
Pernikahan dini juga disebutnya bisa memicu resiko balita pederita stunting. Karena itu, pihaknya sedari awal sudah mewanti-wanti ketika anak dilahirkan jangan sampai berisiko terjadi stunting. “Masuk risiko kalau pernikahan dini,” jelas Herman.
Sementara iitu, menurutnya faktor gen bukan pemicu utama. Berdasarkan literatur yang dibacanya, angka prsentasenya sangat kecil dalam menyumbang kasus stunting. “Bisa dinaikkan tingginya (badan anak) kalau gen. Tetapi kalau yang sudah betul-betul cebol ya ndak bisa,” kata Hermandi.
Dikatakan, pihaknya hanya bisa melaksanakan kegiatan kelas balita di beberapa tempat saja. Itu dikarenakan anggaran dari Puskesmas Pengadang cukup terbatas. “Kita minta dukungan dari desa menganggarkan lagi untuk dana untuk kelas balita dan kelas ibu hamil,” harap Hermandi.
Dijelaskan, penanganan stunting tidak semudah membalik telapak tangan. Tidak secepat seperti menyebuhkan penyakit-penyakit lainnya. Melainkan tinggi badan anak itu butuh proses panjang dan waktu lama hingga bertahun-tahun. “Tidak bisa langsung berubah tinggi,” tandas Hermandi.
Dia sudah mengarahkan petugas gizi aktif turun ke rumah-rumah orangtua balita untuk memberikan edukasi bagaimana memvariasikan menu makanan di rumah untuk anak. Itu dinilainya salah saru upaya dalam pencegahan stunting. Jangan sampai, orangtua membeli makan makanan snack yang dibeli untuk anak.
“Misalnya sayur bayam diapakan biar enak. Biar divariasikan,” terang Hermandi.
“Kemarin saya lihat langsung dikirimin sama petugas gizi yaitu pengolahan makanan di kelas balita,” tambahnya. Sembari mebgatakan, terdapat dua kelas gizi ditiap desa sasaran yang sengaja dibuat khusus di luar kegiatan posyandu.
Di kelas gizi, ujar Herman, balita-balita dikumpulkan. Sementara, para orangtua menerima edukasi atau diajarkan oleh petugas bersama kader untuk bagaimana memvariasikan menu makanan bagi anak hingga cara penimbangan. “Semuanya diajarkan,” ujarnya. (zak)