LOTIM – Pelabelan keluarga miskin penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) wilayah dua Lombok Timur (Lotim), memasuki tahap dua. Di tahap ini, sebanyak 39 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) keluar. Berasal dari Kecamatan Sikur, Terara, dan Montong Gading, Pringgasela dan Masbagik.
Koordinator Kabupaten (Korkab) PKH Lotim, Saparudin menjelaskan, tujuan labelisasi memberikan tanda agar masyarakat melihat apakah layak tidaknya menerima PKH. Sebab, PKH tak bisa memutus sepihak KPM yang dinyatakan ekonomi mampu. “Kemarin langsung mengundurkan diri. Ini menunjukkan tumbuh kesadaran KPM bahwa tidak layak menerima PKH,” katanya.
Kepala Dinas Sosial (Kadisos) Lotim, H Ahmad mengatakan, setelah sebelumnya tahap pertama 29 orang KPM keluar. Disyukurinya tahap dua ini kembali 39 KPM mundur. “Lombok Timur daerah pertama di NTB yang berani melakukan labelisasi keluarga miskin,” tegasnya.
Angka kemiskinan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018-2019, Lotim sebanyak 16,55 persen. Angka kemiskinan hanya turun 0,4 persen, kurang 1 digit dari tahun sebelumnya.
Demikian juga data kemiskinan yang dikantongi Disos sebelumnya sebanyak 800 orang. Setelah dilakukan verifikasi dan validasi data serta telah diteken Bupati, jumlah warga miskin yang ditemukan sebanyak 320 ribu jiwa. Data tersebut telah diinput operator desa. Belum diinput, 4 ribu tak ditemukan atau salah rilis, 13 ribu pindah data, 2 ribu meninggal.
Salah satu strategi kita ucap Ahmad, yang tidak mau sadar mundur, bisa dikeluarkan melalui Musyawarah Desa (Musdes). Harapannya, setidaknya dalam satu tahun kemiskinan turun 1 digit.
“Dulu KPM katagori mampu hanya bisa dikeluarkan sekali lima tahun. Sekarang ada kewenangan daerah dari Kemensos, tiga kali setahun data bisa diubah,” tandasnya.
Diharapkannya, pendamping bekerja dengan hati dan perasaan. “Mudahan, penurunan angka kemiskinan sesuai harapan,” harapnya.
Wakil Bupati Lotim, H Rumaksi, mengatakan, jumlah data kemiskinan tinggi dinilai aneh jika dilihat sejumlah indikator. Sehingga, mengambil kebijakan pelabelan. Pelabelan keluarga miskin bukan menghina, tetapi langkah menertibkan agar bantuan untuk pengentasan kemiskinan tepat sasaran. “Fakta rill lapangan kalau turun ke desa-desa, yang pantas dapat malah tidak dapat. Yang ndak layak dapat, justru dapat,” tegasnya.
Kembali Rumaksi menegaskan, betul angka kemiskinan Lotim lebih rendah dari KLU. Tapi penduduk yang tinggi, menjadi faktor lain menempatkan Lotim di posisi delapan dari 10 kabupaten/kota di NTB. “Menjadi pertanyaan saya, angka kemiskinan tetap tinggi jangan-jangan masyarakat sendiri yang mempertahankan kemiskinan,” pungkasnya. (fa’i/r3)