MATARAM – Pembangunan Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) di Paokmotong Kecamatan Masbagik, Lombok Timur yang menelan anggaran Rp 24 miliar itu ditolak masyarakat setempat.
Perwakilan masyarakat, Kamis (5/1/2023), mendatangi Komisi II DPRD NTB yang langsung diterima Sekretaris Komisi II DPRD NTB, Khairul Warisin. Turut dihadirkan juga Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB, Fathul Gani.
Koordinator Masyarakat, Lalu Handani menjabarkan sejumlah alasan penolakannya. Penolakan itu muncul karena berada di tengah pemukiman padat penduduk yang dikhawatirkan akan mencemarkan lingkungan dan penyebab kemacetan lalu lintas. Proses awal tidak pernah ada sosialisasi atau musyawarah dengan warga sekitar, tidak ada persetujuan warga terdekat dari lokasi pembangunan KIHT tersebut, tidak pernah dilakukan AMDAL atau minimal Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang RI nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 36, 53 dan 70 dan Undang-Undang nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian pasal 9, 10, 11, 14, 63, 106 dan 107.
“Dan yang paling utama Bupati Lombok Timur dan Gubenur NTB telah melanggar Peraturan Daerah Lombok Timur nomor 2 tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Lombok Timur, Perda tersebut berlaku dari tahun 2012 sampai 2032,” tegas Handani.
Dijelaskannya, pada pasal 29 ditegaskan bahwa kawasan industri/pabrik/pergudangan harus dibangun di Kecamatan Labuan Haji, Sakra Timur, Keruak dan Pringgabaya. Sedangkan Desa Paokmotong Kecamatan Masbagik tidak termasuk. Untuk menunjukkan penolakan dan perlawanan warga, berbagai upaya telah dilakukannya.
“Jauh hari sebelum mulai pembangunan kami mengetahui dari beberapa berita online akan ada pembangunan pabrik rokok berkedok KIHT di eks pasar Paokmotong,” katanya.
Warga dan pedagang eks Pasar Paokmotong kaget, karena awal pemerintahan bupati Lombok Timur pernah mengumpulkan kepala desa dan tokoh agama dari 3 kecamatan yakni Masbagik, Sikur dan Terara. Bupati berjanji akan membangun pusat agrobisnis, lapak UKM dan ruang terbuka hijau seperti taman dan tempat bermain anak.
“Jadi, jauh hari sebelum pembangunan kami sudah menyatakan menolak,” tegasnya.
“Hari ini kami hearing di DPRD bersama puluhan perwakilan warga Paokmotong,” terangnya.
Dalam hearing tersebut mereka menyampaikan tuntutan diantaranya, meminta gubenur NTB dan bupati Lombok Timur membuat keputusan menghentikan pembangunan dan memindahkan KIHT ke lokasi lain yakni Kecamatan Labuan Haji, Sakra Timur, Keruak atau Pringgabaya sesuai dengan Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Lombok Timur melalui surat keputusan resmi masing-masing.
Meminta Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram untuk mengadili Gubenur NTB dan Bupati Lombok Timur yang telah melanggar Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Lombok Timur. Meminta DPRD Provinsi untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) pelanggaran Undang-undang RI nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian dan Peraturan Daerah Lombok Timur nomor 2 tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Lombok Timur.
Sementara itu Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB, Fathul Gani menilai persoalan ini adalah hal yang biasa dan wajar. “Terjadinya pro kontra dalam masyarakat itu wajar. Jadi kita hargai pro dan kontra ini,” ujarnya.
Menurut dia, pembangunan KIHT sudah berjalan melalui proses yang cukup panjang. Bahkan tidak lama lagi akan tuntas. Mengenai pembangunan KIHT, pihaknya menegaskan tidak sembarangan.
Dimana pemerintah telah melalui proses atau kajian yang matang dari jauh harinya. “Pembangunan (KIHT) sudah lama panjang. Jadi kami membangun (KIHT) bukan asal bangun, tentu ada proses,” ungkapnya.
“Tanggal 14 Januari selesai secara fisik. Masyarakat (sempat) menyegel 14 hari, sehingga pengerjaannya ditambah 14 hari,” ujarnya.
Kemudian soal sosialisasi, pihaknya menyatakan enggan untuk berdebat. Sebab, di dalam dokumen sendiri tertera jelas. Dimana pihaknya telah melakukan sosialisasi terkait KIHT. “Kita tidak mau berdebat soal sosialisasi. Sejak 2021 kita sosialisasi, tapi karena mungkin tidak melibatkan masyarakat. Dan ini akan menjadi catatan,” ujarnya.
“Limbah ndak ada, sudah kami sampaikan. Jadi ndak ada limbah, karena itu diolah jadi rokok lagi,” terangnya.
Saat ini, lanjutnya telah masuk pada tahan bimbingan teknis (bimtek) bagi 100 orang yang dibagi tiga tahap. Tahap pertama 30 orang, tahap kedua 30 orang dan tahap ketiga 40 orang. Dan hal ini sebenarnya sudah direncanakan.
“Karena ada sekitar 16 kelompok rumahan yang akan bergabung,” jelasnya.
Mengenai soal tenaga atau pekerja yang akan digunakan nantinya, kata Fathul Gani, sesuai arahan pimpinan, akan memprioritaskan warga yang berada di kawasan/zona terdekat. “Pak Gubernur sudah menegaskan agar memprioritaskan sekitar 1000 sampai dengan 1500 orang di kawasan zona terdekat,” ungkapnya.
Sementara itu, Sekretaris Komisi II DPRD NTB, Khairul Warisin bahwa persoalan seperti ini adalah hal yang biasa. “Saya pikir masyarakat bagus. Karena dia peduli lingkungan dan peraturan yang dibuat Pemda,” katanya.
“Tapi itu semua kembali lagi pada niat. Pemerintah juga (berniat) baik ingin mensejahterakan masyarakat (dihadirkannya KIHT),” sambung Legislator Udayana Dapil Lombok Timur tersebut menanggapi.
Berbagai tuntutan yang disampaikan perwakilan warga melalui Formas Paokmotong pada hearing dinilainya baik. Dimana berbagai dampak baik dan buruknya, menurut dia, juga perlu diperhatikan bersama.
Disinggung soal adanya dorongan dari Formas Paokmotong agar DPRD Provinsi NTB segera membentuk panitia khusus (pansus), Khairul Warisin menyatakan akan melihat lebih dulu soal kelayakannya secara langsung.
Maka dari itu, pihaknya berencana akan turun ke lapangan meninjau secara langsung seperti apa dan bagaimana situasi dan kondisi di lapangan.
“Kita lihat kelayakannya dulu. Besok kami turun bersama Ketua Komisi II,” pungkasnya. (jho)