MATARAM – Fraksi Partai Bintang Perjuangan Nurani Rakyat (BPNR) menilai kondisi APBD NTB tiga tahun terakhir tidak sehat. Anggaran daerah bukannya terus mengalami peningkatan justru hutang makin membengkak mencapai Rp 685 miliar. Hal ini ditegaskan Fraksi BPNR DPRD NTB dalam pandangan umum fraksinya terhadap rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD NTB tahun 2021 melalui Ketua Fraksinya, Ruslan Turmuzi, kemarin.
“Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir Faksi BPNR mencermati anggaran pendapatan dan belanja daerah provins NTB tidak sehat,” tegas Ruslan.
Ruslan menyampaikan secara umum anggaran pendapat dan belanja daerah tahun 2021 yaitu pendapatan tahun 2021 dianggarkan sebesar 5 triliun 739 milyar rupiah lebih, terealisasi sebesar 5 triliyun 326 milyar rupiah lebih atau 92,80% , dengan rincian Pendapatan Asli Daerah dianggarkan sebesar 2 triliyun 258 milyar rupiah lebih, terealisasi sebesar 1 triliyun 888 milyar rupiah lebih atau 83,62%.
Pendapatan transfer dianggarkan sebesar 3 triliyun 426 milyar rupiah lebih, terealisasi sebesar 3 triliyun 414 milyar rupiah lebih atau 99,63%. Selanjutnya belanja tahun 2021 dianggarkan sebesar 5 triliyun 621 milyar rupiah lebih dan terealisasi sebesar 4 triliyun 888 milyar rupiah lebih atau sebesar 86, 96%. Pembiayaan tahun 2021 dianggarkan sebesar 645 milyar 305 juta rupiah lebih dan teralisasi sebesar 307 milyar 367 juta rupiah lebih atau 47,63%.
Ruslan menjelaskan kondisi APBD yang tidak sehat itu disebabkan proses perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah sangat buruk bahkan terlalu ambisius. Hal itu disampaikan dengan data terhadap objek- objek penerimaan dari tahun ketahun realisasinya tidak mencapai target bahkan capaiannya sangat rendah, namun target yang ditetapkan tetap tinggi antara lain retribusi pemakaian kekayaan daerah ditargetkan sebesar 31 milyar 292 juta rupiah lebih, realisasi sebesar 4 milyar 540 juta rupiah lebih atau 14,22%. Retribusi tempat penginapan, pesanggrahan dan villa, target 3 milyar 334 juta rupiah lebih, realisasi 926 juta rupiah lebih atau 27,79%, retribusi penjualan hasil produksi daerah ditargetkan 3 milyar 500 juta rupiah, realisasi 1 milyar 634 juta rupiah lebih atau 46,71%. Retribusi pelayanan tempat olahraga ditargetkan 1 milyar
390 juta rupiah lebih, realisasi 395 juta rupiah lebih atau 28,47%. Retribusi izin usaha perikanan ditargetkan 2 milyar 309 juta rupiah lebih, realisasi 167 juta rupiah lebih atau 7,26%. Retribusi perpajangan imta ditargetkan 1 milyar 650 juta rupiah lebih, realisasi 188 juta rupiah lebih atau 11,41%.
Selanjutnya hasil penjualan barang milik daerah yang tidak dipisahkan ditargetkan 11 milyar Rp 500 juta rupiah, realisasi 450 juta rupiah lebih atau 3,29%. Hasil kerjasama pemanfaatan barang milik daerah ditargetkan 153 milyar 909 juta rupiah lebih, realisasi 705 juta rupiah lebih atau 0,46%. Jasa giro ditargetkan 20 milyar 250 juta rupiah, realisasi 4 milyar 583 juta rupiah lebih atau 22,63%. Pendapatan bunga deposito ditargetkan 30 milyar rupiah, realisasi 2 milyar 243 juta rupiah lebih atau 7,48%. Tuntutan Ganti Rugi (TGR) ditargetkan Rp 8 Milyar realisasi Rp 3 milyar 665 juta rupiah lebih atau 45,81%.
Berikutnya, penerimaan komisi, potongan ditargetkan 36 milyar 760 juta rupiah lebih, realisasi 11 milyar 490 juta rupiah lebih atau 31,26% lalu denda pajak ditargetkan Rp 41 milyar 838 juta rupiah lebih, realisasi Rp 7 milyar 958 juta rupiah lebih atau 19,02%.
“Total target anggaran 345 milyar 732 juta rupiah lebih, realisasi sebesar 38 milyar 944 juta rupiah lebih atau 11,26%, yang berarti pendapatan yang tidak mencapai target pada tahun 2021 ini sebesar Rp 306 Milyar 788 juta rupiah lebih tidak termasuk pajak hanya bersumber dari dari dua item yaitu retribusi dan lain-lain PAD yang sah,” paparnya.
Kondisi itulah yang membuat tidak dapat terbayarnya program dan kegiatan yang telah direncanakan dalam APBD, bahkan ada beberapa program dan kegiatan yang sudah dilaksanakan namun tidak dapat dibayarkan bahkan menimbulkan kewajiban baru bagi pemerintah daerah untuk tahun berikutnya. Oleh karena itu Fraksi BPNR meminta penjelasan kepada eksekutif terkait hal tersebut. Disamping itu tidak sehatnya anggaran dapat dilihat dari silpa APBD tahun 2021 sebesar Rp 84 milyar rupiah lebih yang terdiri dari kas yang ada di kas daerah sebesar 5 milyar rupiah lebih, kas di BLUD Rp 78 milyar rupiah lebih, kas dibendahara dana bos 799 juta rupiah lebih, kas lainnya 150 juta rupiah lebih. jika dilihat dari silpa murni APBD/sisa kas yang ada dikas daerah tahun 2021 sebesar 5 milyar rupiah lebih.
“Maka wajarlah pemerintah daerah ini tidak dapat memenuhi kewajibannya,” katanya.
Sementara itu terkait dengan kewajiban Pemda per 31 desember 2021 berdasarkan laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diaudit oleh BPK mengalami peningkatan sebesar 404 Milyar 273 juta rupiah lebih dari total kewajiban tahun 2020 sebesar 280 milyar 780 juta rupiah lebih menjadi sebesar 685 milyar rupiah lebih, yang terdiri dari
Utang Para Fihak Ketiga sebesar 1 milyar 513 juta rupiah lebih. Utang bunga sebesar 1 milyar 160 juta rupiah lebih. Pendapatan diterima dimuka sebesar 508 juta rupiah lebih. Utang beban sebesar 161 milyar rupiah lebih. Utang jangka pendek lainnya sebesar 332 milyar rupiah lebih. Utang kepada lembaga keuangan bukan bank (pt.smi) sebesar 187 milyar 500 juta rupiah lebih.
“Terkait dengan kewajiban tersebut, kalau dikatakan hal itu hanya kewajiban administratif, menurut pendapat Fraksi BPNR sangatlah keliru karena berdasarkan pengamatan kami bahwa yang sifatnya administratif itu adalah pendapatan diterima dimuka yang besarannya hanya 508 juta rupiah lebih. sehingga kewajiban riil yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah sebesar 684 milyar 492 juta rupiah lebih,” cecarnya.
Kondisi itu pun membuat BPNR bertanya apa langkah-langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka memenuhi kewajiban tersebut.
Kemudian terhadap bagi hasil kepada Kabupaten/Kota yang menjadi kewajiban pemerintah daerah dengan nilai sebesar 81 milyar 711 juta rupiah lebih, pihaknya meminta kepada eksekutif agar dana tersebut segera disalurkan mengingat kabupaten/kota sangat membutuhkan dana tersebut. Hal itu sesuai dengan undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan
retribusi daerah. Jika bagian kabupaten kota sebesar 81 milyar rupiah lebih tersebut tidak dapat dicairkan sampai dengan 31 desember 2021 karena prosedur dan mekanisme pembayaran, maka sisa kas yang berada didaerah seharusnya menjadi 86 milyar rupiah lebih.
Selanjutnya terkait dengan penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan yang merupakan bagian deviden untuk pemerintah daerah, Fraksi BPNR melihat penerimaan tersebut cenderung menurun. Mereka kemudian menyarankan eksekutif agar peraturan yang mengatur tentang deviden untuk para pemegang saham dapat dipertimbangkan untuk dapat dilakukan perubahan, mengingat kondisi keuangan daerah saat ini sangat sulit.
Fraksi BPNR tidak setuju dengan saran Badan Anggaran dalam rangka mengurangi beban pemerintah daerah provinsi terhadap kewajiban dan beban hutang maka banggar mengusulkan untuk melepas sebagian aset yang tidak produktif. Katanya pelepasan aset membutuhkan waktu yang cukup lama terkait dengan prosedur dan mekanismenya sehingga Fraksi BPNR berpendapat usul tersebut bukan merupakan jalan yang terbaik untuk dilakukan.
Berikutnya, atas temuan BPK terkait laporan keuangan pemerintah daerah Provinsi NTB yang terus berulang dari tahun ke tahun, pihaknya menyarankan agar dilakukan evaluasi terhadap temuan tersebut, agar dimasa yang akan datang tidak terulang kembali temuan yang sama.
Ruslan sebelumnya kemudian mendetailkan kewajiban pembayaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB di tahun anggaran (TA) 2021 membengkak hingga mencapai angkai sebesar Rp685 Milyar, atau mengalami peningkatan sebesar Rp404 Milyar dari tahun sebelumnya.
“Angka sebesar Rp685 Milyar ini adalah total utang kita di tahun anggaran 2021. Makna mengalami peningkatan kewajiban pembayaran itu sama halnya dengan terjadinya peningkatan utang yakni dari utang sebesar Rp280 Milyar pada tahun anggaran 2020, meningkat menjadi Rp685 Milyar. Berarti ada peningkatan utang sebesar Rp404 Milyar lebih,” ungkap politis PDIP itu.
Dirincikannya lagi utang Pemprov di tahun anggaran 2020 sebesar Rp280 Milyar itu, menurutnya, adalah utang Pemprov yang tidak bisa terbayar pada tahun anggaran 2021. Dan ditahun anggaran 2021, Pemprov kembali berutang dengan nilai utang sebesar Rp 404 Milyar lebih.
Kewajiban pembayaran Pemprov TA 2021 sebesar Rp685 Milyar itu rinciannya terdiri dari utang bunga sebesar Rp1 Milyar lebih. Utang bunga sebesar Rp1 Milyar lebih ini berasal dari bunga pinjaman Pemprov dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).
“Itu baru bunga saja yang harus dibayar di TA 2021. Belum utang pokoknya,” ujarnya.
Kemudian ada yang namanya utang beban. Utang beban itu, menurut Ruslan, merupakan utang yang timbul akibat beban jasa yang sudah dimanfaatkan tapi belum dilakukan pembayaran
“Utang beban 2021 itu adalah sebesar Rp161 Milyar lebih,” sambungnya.
Rincian utang beban itu terdiri dari utang beban barang dan jasa terdiri dari tambahan penghasilan pegawai, tenaga kontrak, belanja listrik, belanja air (PDAM), belanja telepon, belanja internet, surat kabar majalah, utang ambulance, yang jumlahnya mencapai Rp42 Milyar lebih.
Utang beban yang kedua adalah utang beban transfer ke Kabupaten/Kota antara lain Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok.
Sementara utang beban yang ketiga itu adalah utang beban tunggakan BPJS yang terdiri dari iuran BPJS sebesar Rp37 Milyar lebih.
Selain itu, ada juga yang namanya utang jangka pendek sebesar Rp332 Milyar lebih yang terdiri dari utang pengadaan aset tetap, utang pengadaan barang dan atau jasa (BLUD), dan utang pengadaan barang dan atau jasa (Barang yang diserahkan ke masyarakat atau hibah).
“Jadi total utang Pemprov 2021 itu jika dikalkulasikan semuanya adalah Rp 685 Milyar lebih,” sebutnya.
Disamping itu, Silpa 2021 terealisasi senilai Rp84 Milyar lebih dibandingkan tahun 2020 senilai Rp119 Milyar lebih, maka mengalami penurunan senilai Rp35 Milyar lebih atau sekitar 29,76%.
“Silpa Rp84 Milyar itu rinciannya, kas di daerah hanya tersisa Rp5 Milyar lebih, kas di BLUD sebesar Rp78 Milyar, kas di bendahara dana BOS sebesar Rp799 juta, dan kas lainnya sebesar RpRp1,5 Milyar. Kas di BLUD sebesar Rp78 Milyar dan kas di bendahara dana BOS sebesar Rp799 juta itu sudah tidak bisa lagi diutak atik. Sementara yang masih bisa diutak atik itu hanya kas di daerah sebesar Rp5 Milyar dan itu pun tidak akan bisa mencukupi dan itu yang akan dijadikan pembahasan dalam APBD Perubahan,” bebernya.(jho)