IST/RADAR MANDALIKA.ID PENINGGALAN: Anak-anak di Dusun Selanglet Desa Penujak saat dimandikan pada momen tradisi budaya BETIMPAS, Jumat pagi pekan lalu.

Digelar Saat Ada Tanda-tanda Alam, Termasuk Terjangkit Wabah

 

 

 

 

 

Tradisi budaya ‘BETIMPAS’ kembali digelar warga Dusun Selangelet Desa Penujak, Kecamatan Praya Barat. Sebelumnya, saat tragedi Gunung Samalas tahun 1850 silam, saat itu pertama kali dilaksanakan oleh Raden Mas Panji Mitir. Berikut catatannya.

 

 

KHOTIM – LOMBOK TENGAH

 

 

KEGIATAN Budaya ‘Betimpas’ kembali dilaksanakan tahun 2022, perayaannya begitu khidmat. Momen tahunan ini diselenggarakan usai salat subuh di masjid, baru kemudian dilaksanakan prosesi adatnya. Adapun tema diangkat tahun ini, “Mengukuhkan kebesaran dan gotongroyong dalam keberagaman, sebagai wujud tauladan kita pada leluhur”. Kegiatan berlangsung Jumat, 4 November 2022 yang bertepatan dengan 9 Rabiul Akhir 1444 hijriah.

 

Dang acara penghulu padukuhan, Misbah menceritakan dimana sebagai generasi ke -XII dalam melanjutkan tradisi nenek moyang merupakan Kerajaan Rungkang Lombok sejak tahun 1850 lalu. Tradisi Betimbas ini memiliki makna yang arti yakni membersihkan keseluruhan.

 

Berdasarkan kondisi pada saat itu ceritanya, tradisi ini dilaksanakan mengingat pada masa itu penduduk Lombok sedang terjangkit wabah mematikan yakni, cacar yang sangat cepat menular. Kala itu ipun tidak dapat menceritakan detail entah bagaimana leluhurnya mendapatkan wangsit dan melakukan mandi bersama dalam rangka pembersihan diri.

 

Saat itu lanjutnya, warga paling cepat sembuh dari wabah warga Dusun Selanglet, sehingga saat juga ditetapkan para leluhur di bulan tujuh penanggalan Sasak sebagai waktu turunnya penyakit, yakni sebanyak 144 penyakit.

 

Dijelaskannya, tradisi budaya ini pada pelaksanaannya dilaksanakan berdasarkan tanda-tanda dari alam. Mulai dari berbunyinya hewan tengkerek (sejenis hewan bersayap yang berbunyi di musim panas, red) kemudian buah uwi (tumbuhan jenis umbian yang menjalar dan memiliki umbi, red) tidak dapat berdaun, kemudian pergeseran bintang yang mulai agak ke selatan. Termasuk disertai adanya wangsit (pemberitahuan, red) dari para leluhur, baik melalui mimpi atau sekilas menyatakan “Wayem wah peririk gubuk”. Hal inilah yang menandai bahwa telah masuknya bulan tujuh. Tapi anehnya pelaksanaan ini juga tidak dapat diperhitungkan baik penanggalan Sasak, masehi dan hijriah.

 

“Dalam prosesi adat yang dimulai sejak hari Kamis sore itu dilakukan Sembek gubuk (menandai kampung, red) dengan tebu Sale (tidak dimakan, red) setelah itu di malamnya Dang padukuhan membuat sembek dan prosesi pembakaran ayam untuk makan bersama di esok harinya,” bebernya pada Radar Mandalika.

Selain itu, sembek inipun yang dibuat dari pinang, kencur, dan ada semacam rapus (pil tradisional, red) dengan ritual. Selanjutnya, hari pelaksanaan tradisi Betimpas, semua warga membawa air dari masing-masing sunurnya, kemudian disatukan artinya sebagai kebersamaan, dilakukan jampi-jampi dicampurkan dengan obat-obatan herbal jenis akar-akaran dan daun-daun dari 44 jenis dan dimasukkan ke dalam air di 44 wadah.

Diterangkannya, sebelum mandi bersama digelar dilakukan pembakaran kemenyan untuk menghormati leluhur dan langsung memandikan semua masyarakat, dengan disertai daun pisang jenis pisang lilin. Selanjutnya, bagi masyarakat yang mandi diminta menaruh uang logam di wadah penampungan air minimal 500 rupiah.  Nantinya dari jumlah uang tersebut akan dihitung usai acara yang dapat menjadi gambaran jumlah peserta, kemudian uang yang dihitung akan disedekahkan kepada anak-anak di kampung usai acara.

 

Sementara tahun 2022 ini berdasarkan jumlah uang, Dang Padukuhan menyatakan peserta berjumlah 2.104 orang. Bahkan memang tidak wajib menaruh uang ini, maka ditaksirkan peserta melebihi angka itu. Usai mandi, barulah acara makan bersama digelar, dengan wadah besar dan secara bersama-sama menyantap ayam bakar, sambal, kelapa parut muda dengan nasi yang di masak menggunakan santan.

“Dalam prosesi makan ini ada sejumlah aturan yang tidak boleh dilanggar masyarakat. Tidak boleh saling menawarkan makanan, siapapun yang ingin makan langsung makan dimana saja tanpa harus saling menunggu ditawarkan,” katanya.

 

Selanjutnya, ada prosesi besembek (memberikan tanda pada bagian kening dengan sejumlah ramuan) dilaksanakan kepada semua yang telah mengikuti prosesi, lalu kemudian diikatkan gelang benang hitam ke tangan warga.

Dalam keanehan lainnya, makanan sisa tidak boleh dibawa pulang. Hal ini dimaksudkan untuk jambek (suguhan, red) di tempat persimpangan jalan areal kampung untuk penghormatan ke leluhur. Mengingat, keyakinan para leluhur setiap penyakit itu disertai adanya pengaruh gaib. Makanan sisa yang ditaruh di persimpangan jalanpun tidak akan dimakan ayam, anjing dan kucing karena sembeknya itu. Tapi hari 2-3 akan habis secara gaib dan hanya akan menyisakan daun pisangnya saja.

 

Dalam tradisi ini, warga Dusun Selanglet Desa Penujak di manapun berada akan pulang ke kampung halamannya, mereka melakukan ritual Betimpas inikKarena dalam bulan tujuh ini selain diyakini sebagai bulan wabah penyakit, peredaran matahari juga sangat berbeda daripada bulan lainnya. Cuaca yang sangat panas, bahkan zaman dahulu kayu atap rumah hingga pecah dan yang akan menandakan hujan akan mendominasi ditandai dengan arah aliran air dalam prosesi pemandian.

“Tahun 2022 arah air mengalir ke utara,” ungkapnya.(*)

 

50% LikesVS
50% Dislikes
Post Views : 930

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *