Oleh : Hasbi Ardhani (Anggota Panwaslu Kecamatan Gerung)
DALAM hitungan bulan ke depan Indonesia memasuki usia 25 tahun reformasi, seperempat abad bangsa kita sudah keluar dari politik tertutup dekapan rezim Soeharto dan menjalani apa yang disebut sebagai Demokrasi. Sudah banyak coretan prestasi politik kelembagaan, di samping itu banyak juga problem politik yang terus kita hadapi.
Para sarjana politik mengatakan di dalam demokrasi ada dua arah yang bermuara pada ketentuan yang bersebrangan. Jika demokrasi disusun dengan batu bata politik warganya yang kukuh dan direkatkan dengan etika politik yang penuh adab, maka demokrasi akan menghasilkan tatanan sosial yang menghantarkan kepada kebahagiaan dan kesejahteraan warganya. Hal sebaliknya bisa terjadi bila demokrasi hanya dijadikan instrument untuk mempertahankan kejayaan dan kemakmuran para elit dengan akumulasi kekuasaan yang tanpa didasari oleh etika dan adab, mempertajam perbedaan, suku, ras, dan agama. Maka, demokrasi akan menghasilkan ratapan tangis kebencian warganya.
Seorang pujangga Romawi mengatakan With Great Power Comes Great Responsibilty (Cicero). Kalimat itu disampaikan pada saat dia menjelaskan etika politik kepada para kalangan elit bahwa kekuasaan tidak bisa dinikmati dengan mudah hanya karena keistimewaan yang melekat, akan tetapi sejatinya kekuasaan merupakan ujian kebajikan (virtue) yang merupakan konsekuensi etis saat menggunakannya. Dengan pemahaman dan pengamalan seperti itu, para elit akan menjalani takdir dengan kemuliaan dengan dan atau tanpa kekuasaan.
Kesadaran para politisi dengan tanggungjawab etis ketika memiliki kekuasaan bukanlah hal yang instan. Kesadaran tentang semakin besar kekuasaan yang dimiliki maka tanggung jawab etis menjadi semakin tinggi merupakan perjalanan panjang dari edukasi politik yang berkeadaban. Tokoh cendekiawan Islam Nurcholish Madjid pada awal reformasi sering mengingatkan bahwa demokrasi Indonesia harus dibangun dengan orientasi tujuan membangun masyarakat madani. Masyarakat menjalani kontestasi politik demokrasi direkatkan dengan budaya tinggi, menghormati supremasi hukum, kontrol dan keseimbangan kekuasaan, disertai dengan semangat inklusivitas dan harmoni dalam momen kontestasi politik.
Etika politik pada saat ini perlu kita renungkan kembali menuju Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, ketika masyarakat Indonesia memilih presidennya. Pandangan tentang masyarakat madani yang digaungkan oleh Cak Nur sepertinya lebih relevan dihadirkan kembali saat ini daripada saat pertama kalinya diungkap tahun 1997, pada saat gemuruh awal reformasi.
Kenapa pandangan Cak Nur tentang masyarakat Madani lebih relevan saat ini? Itu karena melihat dinamika politik dewasa ini. Pada saat bangsa ini memerlukan kebersamaan kewargaan, tapi yang terjadi adalah pertandingan politik sudah mulai memanas sehingga membuat para elit lupa bahwa masyarakat kita perlu harmoni di setiap kontestasi.
Problem politik Indonesia akhir-akhir ini dilihat dari sudut pandang etika politik bukanlah semata-mata hadirnya politik identitas, tapi yang perlu digaris bawahi secara terang ialah corak antagonisme dalam politik identitas. Istilah cebong, kampret, dan kadal gurun bertahan sampai saat ini, dan dirawat oleh kelompok yang saling berkontes ialah indikasi dari hal tersebut. Jika itu kita jadikan bahan renungan politik, maka itu ialah efek dari terawatnya antagonisme politik identitas dalam rumah politik kebangsaan kita.
Manusia sebagai makhluk sosial, lahir dengan berbagai identitas dalam dirinya. Manusia lahir dengan identitas agama, identitas etnik, identitas gender, identitas ras, identitas orientasi seksual, dan lain sebagainya. Politik identitas hadir dalam konteks terkait dengan kesadaran tiap-tiap orang dalam komunitas pada dimensi mana identitas mereka perlu diperjuangkan secara politik, yang akan berbuah pada kebijakan.
Gerakan perempuan di Indonesia saat memperjuangkan politik affirmative action, kuota perempuan 30%, sesungguhnya itu merupakan artikulasi politik identitas. Sama halnya, pada saat minoritas agama berjuang untuk mendapatkan pengakuan sosial dalam bingkai kebhinekaan, dalam perspektif ilmu politik, hal itu merupakan bagian dari ekspresi politik identitas. Politik identitas menjadi parasit di dalam demokrasi, ketika yang lahir adalah politik antagonistis. Corak politik antagonistis adalah gerakan politik yang biasanya lahir dalam suasana politik yang diorkestrasi hadirnya politik fasisme.
Politik antagonisme fasis lahir dalam ekspresi ketika suatu pertandingan politik menghasilkan pembingkaian politik bahwa pihak yang berbeda bukan hanya rival sesama anak bangsa, melainkan musuh yang membawa ancaman. Politik antagonisme fasis menghasilkan pemahaman bahwa semua yang berbeda dengan kita ialah musuh yang harus dimusnahkan eksistensinya. Oleh karena itu, dalam atmosfer antagonisme politik, yang lain dianggap sebagai subhuman (di bawah manusia), dari situlah muncul dalam artikulasi melihat yang berbeda sebagai binatang (cebong, kampret, kadal gurun, unta Yaman).
Ketika lahir emosi politik yang didasarkan pada otak reptilian manusia, bahwa yang berbeda dari kita diberi sebutan dalam istilah hewan, semakin melemah pula kesadaran bahwa rival kita sebenarnya ialah manusia dan warga negara Indonesia. Dari meluapnya emosi tersebut, hilang kesadaran pengakuan untuk menghormati hak kemanusiaan dari pihak-pihak yang berbeda pilihan politik dari kita, itulah hakikat utama dari fasisme!
Bukan saja antagonisme politik identitas alih-alih politik identitas yang menjadi potensi pembelahan bangsa dalam Pilpres 2024. Bahkan, fobia terhadap identitas juga berpotensi menjadi masalah kebangsaan kita. Apabila kita membuka lembaran sejarah politik dunia, kita mengingat bahwa bangkitnya fasisme politik di Jerman semenjak 1920-an, selain dipicu krisis ekonomi akibat kekalahan dalam Perang Dunia Pertama, didorong emosi politik fobia terhadap identitas Yahudi yang diembuskan Nazi dipimpin Adolf Hitler. Fobia identitas dan antagonisme politik identitas ialah dua dimensi anak panah beracun yang menghancurkan tubuh kebangsaan dan jangan sampai pula menghancurkan ke-Indonesiaan kita.
Saat ini kita memasuki apa yang disebut sebagai politik digital, potensi peruncingan perbedaan yang menghantam kesatuan bangsa akan semakin besar terjadi saat makin mendekati Pilpres 2024. Harapan awal ketika politik digital disuarakan adalah mampu memperluas demokrasi dan mendekatkan komunikasi yang beradab, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Karakter kontestasi politik di dunia digital, semakin memperkuat dinamika politik dalam sentrum emosi. Rekam jejak dari kandidat politik tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam mengelola politik masa depan, tertutupi oleh rasa kebencian. Ketidakmampuan merefleksikan kebebasan politik sebagai kemerdekaan dengan tanggung jawab politik etis menyebabkan Jerman menuju fasisme yang berdiri dari kehancuran puing-puing demokrasi. Bumi pertiwi kita tidak menutup kemungkinan akan mengalami hal tersebut, namun upaya untuk menghindar dari akibat politik yang ekstrem seperti itu adalah membangun demokrasi yang berkeadaban dengan peningkatan kualitas tinggi, bisa kita lakukan bersama saat ini.(*)