MATARAM – Rapid tes diduga ada indikasi ladang bisnis. Tujuannya dilihat hanya profit oriented (orientasi keuntungan). Hal tersebut berdasarkan pantauan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTB. Orang yang bepergian keluar daerah harus melakukan rapid tes. Rapid tes itupun tidak gratis, masyarakat harus mengeluarkan sekian ratus ribu. Disisi lain Dinas Kesehatan (Dikes) dilihat tidak melakukan standarisasi kualitas rapid tes. Hal itu terbukti dengan variasi harga yang diberlakukan mulai dari yang paling mahal Rp 479 ribu hingga yang paling murah Rp 90 ribu.
“Saya melihat ada indikasi, rapid tes ini profit oriented,” ungkap Anggota komisi V DPRD NTB, Akhdiansyah di Mataram saat melangsungkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dikes NTB dan Dikbud NTB.
Akhdiansyah menyebut ada kejadian rapid tes hanya melalui pesan WhatsApp. Orang itu hanya mengirimkan KTP lalu hasil rapidnya keluar. Padahal orang yang rapid tes darahnya harus diambil diuji faktanya syarat tersebut tidak dilakukan.
“Ini terjadi di luar daerah (luar NTB). Tapi perlu juga diawasi di daerah,” kata sekretaris Fraksi PKB DPRD NTB itu.
Yongki sapaannya mengatakan praktik serupa tidak menutup kemungkinan terjadi di NTB. Kemungkinan potensi itu ada di setiap daerah yang memberlakukan syarat rapid. Terlebih dilihatnya tidak terpantau ketat oleh gugus tugas Covid-19 di NTB.
“Kita investigasi ini.
Kemungkinan juga ada di NTB. Banyak yang tidak terpntau oleh tim Satgas atau Dikes NTB,” kata Yongki.
Dalam kondisi seperti ini ia meminta Dikes atau Gugus Tugas melakukan intervensi. Harus ada pengawalan. Berikutnya soal standar mutu dan alat rapid yang digunakan Dikes diminta tidak mengganggu kondisi ekonomi masyarakat.
“Lakukan pengawasan agar Rapid test tidak disalahgunakan baik petugas atau yang menggunakan. Ada kemungkinan dugaan praktek hanya kirim KTP tanpa rapid tadi,” paparnya.
Dewan menemukan harga rapid tes bervariasi di sejumlah RS di NTB seperti RS Harapan Keluarga tarifnya Rp 420.000, RS Biomedika Rp 479.000, RS Risa Sentra Medika Rp 416.000, RS Siloam Mataram tarifnya Rp 350.000, RS Siti Hajar tarifnya Rp 400.000, RSJ Mutiara Sukma tarifnya Rp 285.000, RSUD Kota Mataram dan RS Unram malah Rp 400.000, laboratorium Prodia tarifnya Rp 250.000 dan Laboratorium Herpatika paling murah Rp 90.000.
“Dikes harus segera membuat rate harga rapid test agar ada keseragaman biaya, tidak seperti sekarang harga tiap tempat nominalnya beda beda,” sentilnya
Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan (Dikes) NTB, dr Nurhandini Eka Dewi mengatakan Rapid Test diberlakukan untuk orang orang yang akan melakukan perjalanan. Terkecuali pejalar dan mahasiswa gratis dengan menunjukkan surat keterangan sebagai pelajar. Sementara mahasiswa syaratnya harus ada keterangan dari kampus dinyatakan benar telah masuk.
Terkait danga jomplangnya harga disebabkan bahan Rapid Test tersebut merupakan impor terkecuali untuk Herpatika bahannya dibeli di Indonesia sehingga harganya terbilang murah.
Eka menjelaskan pada dasarnya masyarakat umum lebih banyak yang menerima Rapid Test secara gratis dengan berbagai program yang dilakukan pemerintah. Eka mencontohkan ada 21 ribu warga NTB telah difasilitasi melakukan Rapid Test meski 10 persen hasilnya reaktif.
“Rapid Test itu semuanya gratis,” katanya.
Terkait dengan potensi praktik Rapid Test diluar ketentuan, Eka berjanji Dikes akan menindak tegas. Meski sejauh ini belum ditemukan praktik serupa di NTB yairu Rapid bisa jarak jauh.
Jikapun ada yang diduga, lanjut Eka sulit untuk bisa dipastikan apalagi tidak menyebutkan secara detail keberadaan nya jangan sampai hal tersebut dianggap membuat fitnah.
“Saya akan himbau jangan sampai melakukan hal tersebut. Kalau tau tentu ditegur keras,” pungkasnya. (jho)