MATARAM – Wacana perubahan sistem Pemilu pada 2024 memantik reaksi banyak pihak. Salah satunya Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik (PusDek) UIN Mataram. PusDek sebagai lembaga yang mengawal kebijakan demokrasi di Indonesia itu menggelar diskusi panel bertajuk “Menakar Sistem Pemilu: Representasi Kepentingan Daerah” di Mataram, belum lama ini.
Menariknya diskusi PusDek itu mengundang berbagai narasumber baik pengamat hingga penyelenggara teknis yang langsung dipandu Ketua PusDek UIN Mataram, Prof Dr Kadri.
Aneka perspektif dan sudut pandang bermunculan. Jaringan Demokrasi Indonesia (JADI) Wilayah NTB tidak ingin terjebak pada kata setuju dan tidak.
Koordinator JADI NTB, Lalu Aksar Anshori terlihat menyayangkan munculnya wacana sistem Pemilu Proporsiaonal tertutup di tengah sedang berlangsung tahapan Pemilu 2024 saat ini. Hal itu mengartikan Indonesia belum memiliki konsep yang mapan menghadapi Pemilu yang akan datang.
Sebelumnya juga muncul wacana Pemilu hendak dimajukan dimana UU Nomor 7 Tahun 2017 hendak di-Perppukan.
“Ini artinya dalam tahapan awal saja masih gaduh soal sistem Pemilunya,” sentil Aksar dalam diskusi tersebut.
Kegaduhan yang ada itu, selain menandakan telah terjadi kemunduran demokrasi, juga ketidakpastian aturan main Pemilu diakibatkan setiap saat sistemnya selalu disoal.
Berikutnya, Aksar melihat sistem proporsional terbuka maupun tertutup. Merujuk pada jejak historis Pemilu, konsolidasi demokrasi dilihat Aksar belum selesai. Indonesia merdeka di tahun 1945 lalu lahir konstitusi. Di fase ini ada visi besar bangsa Indonesia yaitu berlangsungnya Pemilu. Namun Pemilu bisa berlangsung 10 tahun berikutnya yaitu di tahun 1955. Ini merupakan Pemilu pertama sejak Indonesia lahir selama rezim Orde Lama. Pelaksanaan Pemilu itu dilihatnya demokratis.
Melibatkan multi partai, mengikutsertakan personal dari unsur Ormas meski sistemnya proporsional tertutup.
Berikutnya berlangsung Pemilu 1971 dan pemilu ini masih proporsional tertutup. Lalu Pemilu kembali berlangsung di tahun 1997. Hingga reformasi berlangsung di tahun 1998.
“Dan dalam banyak buku tidak ada nilai-nilai yang menunjukkan kita sukses melakukan konsolidasi demokrasi,” terangnya.
Pasca reformasi, harapan besar rakyat Indonesia bagaimana perubahan sistem Pemilu itu dirasakan dampaknya. Baru pada tahun 2004-2009 sistem proporsional terbuka berlaku.
Berlakunya sistem parlemen bikameral yaitu pemilihan DPR dan DPD.
Sayangnya kewenangan DPD dibandingkan DPR jauh antara bumi dan langit. Kewenangannya hanya memperjuangkan kepentingan daerah.
Kalaupun DPD boleh bersuara namun pada tataran mengusulkan atau mengajukan saja. Selebihnya yang membuat dan menetapkan regulasi adalah DPR.
“Pada posisi ini, DPD tidak bisa dianggap sebagai representasi daerah,” katanya.
Pemilu pasca reformasi dengan sistem proporsional terbuka dilihat JADI NTB hingga hari ini tidak mampu mewujudkan agenda reformasi. Hajatan reformasi dalam sistem demokrasi itu bagaimana bangsa Indonesia menjadi negara yang lebih mengedepankan Law Enforcement (penegakan hukum), penegakan HAM serta bebas KKN atau kolusi oligarki bisa diturunkan.
“Justru selama Pemilu dengan sistem proposal terbuka malah menyuburkan korupsi, money politik. Menyuburkan yang punya modal tetap berkuasa bisa menjadi wakil rakyat,” tegas mantan Ketua KPU NTB dua periode itu.
“Lalu apakah sistem proporsional terbuka menyumbang misi reformasi itu? Justru tidak. Karena agenda reformasi tidak bisa diperjuangkan,” sambungnya.
Masalah lain yang dilihat JADI, pelaksanaan proporsional terbuka justru menimbulkan persoalan semakin komplek dan semakin bertambah. Ini bisa dilihat t pada kasus Pemilu 2019 sebagai Pemilu paling rumit.
“Kurang lebih akan sama dengan Pemilu 2024 yang akan datang,” katanya.
Sebaliknya, JADI NTB melihat hanya Pemilu sederhana yang tidak menimbulkan kerumitan. JADI sepakat atas rekomendasi Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi (MK), peluang money politik dan kecurangan pada level bawah rentan bermunculnya akibat dari kerumitan Pemilu tersebut. Jika melihat dari sisi teknis, maka bagi JADI NTB cukup dengan proporsional tertutup. Lebih simple dan sosialisasi peserta Pemilu lebih mudah.
“Tapi ini soal mengatasi kerumitan saja,” katanya.
Oleh karenanya, JADi belum bisa menilai mana lebih bagus proporsional terbuka atau tetutup karena penilaiannya belum ada yang selesai dilakukan.
Lain halnya dengan Komisi pemilihan Umum (KPU) NTB memegang prinsip selalu siap apapun sistem yang diberlakukan. Meski saat ini banyak pihak baru sadar, tahapan Pemilu yang eksennya sudah jauh itu justru harus flashback pada sistem apa yang hendak diberlakukan.
Ketua KPU NTB, Suhardi Soud mengatakan, diakuinya ada gerakan tertutup yaitu gerakan yang menghendaki perubahan sistem pemilu.
Hal ini cukup beresiko bagi penyelenggaraan tahapan Pemilu yang sedang berlangsung saat ini. Sampai saat ini KPU pada tahapan rekrutmen Panitia Pemungutan Suara (PPS) level desa. Di satu sisi KPU sedang menerima pendaftaran Bakal Calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang jadwalnya masuk tahapan perbaikan.
“Pada dasarnya semua menjadi tanggungjawab penyelanggara Pemilu,” kata Suhardi.
Sebetulnya, lanjut Suhardi, dari aspek demokratis, baik proporsional tertutup maupun terbuka sudah tidak ada masalah alias sudah klir.
Namun tidak dapat dipungkirinya, akan muncul potensi gejolak ketika fase tahapan berlangsung tiba-tiba terjadi sistem Pemilu menjadi proporsional tertutup. Secara teknis, tertutup lebih praktis, potensi salah hitung potensi slip antar calon tidak ada. Namun demikian KPU berpendapat ketika tidak ada kepastian hukum alias putusan MK belum keluar akan sangat beresiko bagi penyelanggara Pemilu.
Saat ini KPU masih berpegang teguh pada sistem penyelenggaraan terbuka. Hal ini pun sudah diterima masyarakat luas. Namun KPU memandang perlu juga melihat kesiapan penerimaan masyarakat ketika sistem Pemilunya dirubah. Ini berkaitan dengan tingkat pertanggungjawaban publik.
“Ini semua beresiko kalau UU dibahas tertutup. Di MK ada sembilan orang menentukan sistem pemilu demokrasi saat ini,” terangnya.
Seperti diketahui saat ini sedanh berlangsung Pengajuan Uji Materi Sistem proporsional terbuka ke MK. Para pihak tetsebut sedang menguji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan sistem proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan nya sudah teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 pada 16 November 2022. Tinggal publik saat ini menunggu keputusan MK tersebut.
Sementara itu, Ketua Bawaslu NTB, Itratip menjelaskan, Bawaslu merupakan lembaga pelaksana teknis UU. Apapun yang diputuskan Bawaslu RI maka daerah menerima dan menjalankan.
Mengenai pilihan proporsional tertutup ataupun terbuka, Bawaslu justru melemparkan pertanyaan. Apakah sistem Pemilu saat ini bisa memperbaiki kerusakan demorkasi. Jangan-jangan publik belum melihat demokasi yang kian rusak. Itratip mengatakan semangat awal Pemilu bagaimana mencegah monopoli Parpol yang diduga sarat money politik. Berdasarkan evaluasi itu, disepakati sistem yang digunakan proporsional terbuka.
Itratip menjabarkan semangat perubahan di sistem Pemilu (tertutup ke terbuka) mencegah money politik di tataran peserta Pemilu itu sendiri. Sebaliknya yang terjadi dugaan prakatik money politik terjadi pada Parpol hingga diduganya sudah merambah ke masyarakat luas.
“Semestinya perubahan sistem Pemilu menjawab tantangan sebelumnya. Pertanyaannya dengan sistem terbuka apakah money politik bisa dikurangi di fase Pencalegan atau justru semakin merambah?,” tanya nya kembali.
Bawaslu menegaskan tugasnya mencegah money politik. Jika sistem Pemilu tidak bisa merubah maraknya dugaan money politik maka tetap saja keadaan demokrasi saat ini seperti yang disaksikan.
Lagi lagi, Itratip mempertanyakan apakah perubahan sistem itu menjawab soal perubahan Pemilu. Merubah keruskan demokrasi tanpa ada campur tangan dugaan money politic.
Wakil Ketua PusDek UIN Mataram, Dr Agus berharap agar penyelenggara Pemilu tetap tegak lurus. Berikutnya MK yang akan memutuskan putusan sistem Pemilu (tetap terbuka atau tertutup) niatnya menyelamatkan demokrasi dan konstitusi. Bukan pada kepentingan politik sesaat.
Agus melihat tiga aspek yang perlu didiskusikan lebih serius. Pertama aspek hukum pemilu. Agus menegaskan tidak ada larangan dalam UU mau tertutup atau terbuka. Pemilihan dilaksanakan secara demorkasi, langsung Jujur dan Adil sesusai pasal 168 dan pasal 422 UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Dari aspek hukum mau tertutup/terbuka tidak ada yang dilanggar,” kata Agus. L
Kedua aspek politik. Politik diartikan Agus sebuah konstelasi atau pertarungan. Sehingga ia berpandangan bahwa sistem porporsional tertutup pasti menguntungkan pemilik partai di pusat dan mereka para pemilik modal. Sedangkan proporsional terbuka cenderung memilih Parpol baru.
“Oligarki partai akan tumbuh subur dengan sistem tertutup,” katanya.
Terakhir aspek Tata Kelola Pemilu. Sistem tertutup lebih efisien, yang terbuka lebih kompleks. Namun sistem tertutup tuntutan loyalotis DPR di partai. Dampaknya pada masyarkat dibawah. Sebaliknya sistem terbuka, jauh lebih dekat dengan kesejahteraan sosial.
“Kesimpulan, saya berharap proporsional terbuka, karena itu menujukkan kepastian hukum. Terkakhir bagi daerah, nilai pola proporsional dapil mencipatakan perwakilan politik dan fungsional. Jika daerah ingin maju sebaiknya mempertahankan terbuka. Kedua terbuka itu mensejahterakan pusat dan lokal,” pungkasnya.
Diakhir Diskusi Sekretaris PusDek UIN Mataram, Ihsan Hamid memberikan sejumlah rekomendasi. Rekomendasi yang cukup serius bagaimana sistem Pemilu masih proporsional terbuka. Jikapun perlu dilakukan proporsional tertutup barangkali bisa saja namun pasca Pemilu 2024 mendatang. (jho)