MATARAM – Pojok NTB menggelar diskusi publik soal polemik hak guna bangunan (HBG) di atas lahan peninggalan PT. GTI di Gili Trawangan, Lombok Utara, Kamis kemarin di Kata Cafe Mataram.
Adapun tema diangkat ‘Plus Minus HGB Gili Trawangan: Dapat HGB Alhamdulillah’. Kegiatan ini dimoderatori Abdul Majid dengan menghadirkan sejumlah tokoh seperti Akademisi Universitas Mataram, Prof Zainal Asikin, Kabag Hukum Pemprov NTB diwakili Lalu Rudy Gunawan, dan Ketua Satgas Optimalisasi Aset Gili Trawangan, Ahsanul Khalik.
Direktur Pojok NTB, M. Fihiruddin memberi apresiasi sikap Gubernur NTB, Zulkieflimansyah. Bang Zul dinilai memberanikan diri dalam memutus kontrak PT.GTI. “Ini langkah baik Gubernur NTB, 64 hektare lahan tanah. GTI hanya menyetor 12,5 juta per tahun ke Pemprov. Artinya sudah miliaran dikeluarkan masyarakat Gili Trawangan saat itu ke GTI,” katanya.
Akademisi dan guru besar Hukum Universutas Mataram, Prof Asikin mengatakan agar kedua kelompok yang menyetujui HGB dan SHM tidak saling memusuhi. Karena baik HGB dan SHM dijamin oleh undang-undang.
“Yang mau HGB tidak boleh memusuhi yang mau SHM, begitu sebaliknya. Kalau disetujui HGB oleh BPN tugas pemerintah hanya mengusulkan dan BPN memutuskan,” katanya.
Menurut Prof Asikin, baik HGB maupun SHM telah dijamin oleh Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.
Dimana dalam aturan itu masyarakat dapat memiliki hak milik jika telah menempati tanah selama 20 tahun. Namu itu tidak wajib untuk dimiliki, tergantung keputusan Badan Pertahanan Nasional (BPN).
“Ada orang mengajukan hak milik ternyata disetujui. Karena ada pasal yang memperbolehkan, PP 18/2021 dan juga PP 24/97 memberikan rujukan juga kalau 20 tahun menempati tempat boleh diberikan hak milik. Boleh juga belum tentu wajib. Tergantung BPN,” terangnya.
Prof Asikin mengusulkan agar soal lahan di Gili Trawangan dibagi menjadi tiga klaster masyarakat. Klaster pertama untuk warga yang menang tinggal dan memiliki rumah di sana, klaster kedua masyarakat umum yang juga mengelola tanah di sana, dan klaster tiga adalah penyewa.
“Sebaiknya masyarakat dibagi tiga klaster. Pertama hanya menempati rumah atau tinggal di sana, kedua ada klaster masyarakat Gili dan ketiga ada klaster yang menyewa,” ucapnya.
Prof Asikin tidak setuju jika semua masyarakat dipukul rata dengan mendapatkan HGB. Apalagi masih ada yang berstatus penyewa. “Saya tidak setuju klaster tiga tiba-tiba dapat HGB,” katanya.
Sementara itu, Ketua Satgas Optimalisasi Aset Gili Trawangan, Ahsanul Khalik, memaparkan bagaimana perjalanan panjang Pemprov NTB memutus kontrak dengan PT GTI.
“Dari awal Pak Gubernur mau putus kontrak. Saya diminta membuat formula untuk putus kontrak. Ketika masalah semakin memanas, Gubernur mengumpulkan kita, diperintahkan agar saya menjadi Ketua Satgas Gili,” ungkapnya.
Jika Pemprov NTB memilih adendum dan membiarkan GTI kembali menguasai lahan di Gili, tentu banyak sekali warga yang akan digusur. Sehingga langkah putus kontrak adalah tindakan paling tepat.
“Tanah Gili Trawangan bukan tanah sengketa, dan orang-orang dari Gili Trawangan bukan diciptakan dari tanah sengketa,” serunya.
Langkah Pemprov mengajak GTI menyelesaikan persoalan tersebut selalu tertunda. Beberapa kali pihak GTI tidak menghadiri undangan Pemprov untuk bermusyawarah.
“Undangan ketiga pun GTI tidak mau hadir, maka kita buatkan SK putus kontrak. Kita tunggu tidak ada gugatan, maka kita turun sosialisasi ke Gili Trawangan menawarkan kerjasama dengan masyarakat,” ujarnya.
Dicerikan oleh Kadis yang akrap di sapa AKA ini, pada awalnya masyarakat sangat gembira langkah Pemprov memutus kontrak PT GTI. Namun entah mengapa, muncul permintaan SHM belakangan ini.
“Saat itu tidak ada yang menuntut SHM. Tapi kemudian belakang muncul mau SHM. Gubernur NTB meminta mereka menyampaikan dengan terhormat, jujur dan alasan yang jelas,” katanya.
Saat turun di Gili Trawangan, Satgas menemukan berbagai fakta tidak menyenangkan di lahan peninggalan GTI. Ada yang telah disewakan kepada turis, bahkan hingga 13 kaplingan.
“Kita temukan warga menyewa kepada bule. Tapi kita tidak sebut besarannya,” katanya.
“Ada yang kapling sampai 12, ada yang nilai aset miliaran tapi bukan asli Gili Trawangan. Bahkan ada dari Jawa Barat. Tapi pak Gubernur bilang selama dia warga Indonesia maka juga orang NTB. Kita rangkul,” jelasnya.
AKA menjelaskan, HGB tidak merugikan masyarakat Gili. Justru HGB juga dapat dijual maupun diagunkan ke bank, namun tentunya dengan memberitahu ke Pemprov NTB.
Perwakilan Kabag Hukum Pemprov NTB, Lalu Rudy Gunawan, mengatakan hasil perhitungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), nilai lahan pet meter persegi mencapai lebih dari Rp3 juta, sehingga menjadi beban terhadap masyarakat yang memiliki HGB ke depannya.
Sehingga diterbitkan Perda yang mematok biaya hanya minimal Rp25 ribu per meter persegi dalam lima tahun. Itu merupakan langkah Pemprov untuk membantu masyarakat Gili Trawangan.
“Hasil perhitungan DJKM nilai per meter persegi 3 juta lebih. Akhirnya kita pake Perda minimal 25 ribu per meter persegi dalam 5 tahun. Kita juga pakai PP 18/2021 dengan perjanjian pemanfaatan,” ujarnya.
Pemprov akan segera memutuskan HGB untuk lahan bekas GTI. Namun menunggu penghapusan HGB milik PT GTI sebelumnya.
Sementara jika ngotot menggunakan SHM, tentu membutuhkan waktu sangat panjang dengan segala risiko bahwa ke depan lahan akan dijual ke pihak lain.
“Sekarang kalau SHM kita berkutat lagi penghapusan HPL. Pengajuan lagi ke dewan. Selanjutnya diajukan ke kementerian. Selama itu berjalan, masyarakat masih berstatus illegal,” katanya. (rif)