PRAYA – Kasus dugaan pelanggaran tindak pidaka pemilu yang melibatkan Ketua PGRI Kecamatan Pujut, H Jempol terus menggelinding di Polres Lombok Tengah. Bahkan, Jempol telah ditetapkan sebagai tersangka. Dia diduga kuat melanggar undang-undang tipilu atas postingannya di sebuah grup media sosial facebook.
PGRI ternyata tak tinggal diam dengan status Jempol. Setelah menerima laporan dari anggota, PGRI Provinsi NTB langsung memberikan bantuan hukum melalui Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PGRI Provinsi NTB.
“Kami akan berikan bantuan hukum melalui LKBH PGRI. Kami sudah instruksikan itu,’’ kata Ketua PGRI Provinsi NTB, H Muhammad Yusuf, kemarin.
Yusuf sangat menyesalkan kejadian yang menimpa anggotanya. Apalagi, Jempol bukan sekadar anggota biasa melainkan Pimpinan Cabang Pujut. Sudah seharusnya Jempol mendapatkan bantuan hukum. Apalagi, kasus yang dilanggarnya adalah undang-undang Tipilu. Di mana seharusnya, persoalan itu ditangani Bawaslu, bukan langsung dibawa ke ranah kepolisian.
“Itu yang kami sesalkan, kok bisa-bisanya langsung ditangani kepolisian,’’ tanyanya.
Jika merunut sejumlah kasus Tipilu di Pilkada Lombok Tengah, Yusuf mengaku sangat keberatan anggotanya dijadikan tersangka. Karena belum lama ini, secara terang-terangan oknum kepala dinas berfoto bersama salah seorang calon. Bahkan, kepala dinas ini mengacung jari sebagai tanda dukungan paslon tertentu. Namun, persoalan itu hingga sekarang tak tentu rimbanya.
“Kok, guru yang sekadar membuat postingan begitu langsung dibawa ke ranah hukum. Makanya kami akan bantu secara maksimal,’’ ujar Yusuf.
Sementara, Ketua PGRI Lombok Tengah, H Amir menilai penggiringan kasus H Jempol terkesan sangat politis. Seharusnya, pejabat lebih tinggi memberikan pembinaan. Jika tak bisa, barulah diarahkan untuk ditindak secara hukum.
Amir merunut, PGRI ranting kecamatan bernaung di bawah UPT. Sedangkan PGRI kabupaten/kota bernaung di bawah Dinas Pendidikan. Seharusnya, UPT kecamatan setempat memberikan pembinaan terlebih dahulu kepada pengurus PGRI setempat jika melanggar aturan. Jika tak bisa, barulah dibina secara hukum.
“Tapi ini tidak, ujuk-ujuk saja dibawa ke ranah hukum. Itu yang kami sesalkan,’’ ujar Amin.
Karenanya, Amin meminta agar kasus ini dilihat secara profesional dan proporsional. Jangan semata-mata dilihat secara politis semata. Apalagi, anggotanya tak secara terang-terangan berkampanye atau mendukung salah satu palson.
“Kami minta agar kasus ini ditangani secara proporsional dan profesional,’’ pintanya.
Tak sampai di situ, lanjut Amir, kasus yang menimpa Jempol sangat melukai hati guru. Seolah-olah mereka dijadikan objek empuk untuk diintimidasi secara politis.
“Kalau kami tidak tahan, sebenarnya teman-teman guru mau demo ke polres. Tapi kami menahan, karena tak elok guru demo. Apalagi di masa pendemi ini,’’ tambahnya.
Jempol yang dikonfirmasi terkait kasus ini mengaku sudah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, ia tak ditahan karena telah diberikan bantuan hukum.
“Saya sudah jadi tersangka dan sekarang status saya tahanan luar. Saya diwajibkan melapor dua kali seminggu,’’ ujarnya.
Dalam persoalan ini, Yusuf kembali mengimbau seluruh anggota agar tak terlibat politik praktis. Sebagai ASN, semua anggota PGRI harus bijak menggunakan media sosial. Jangan sampai ada yang memposting atau meng-upload gambar berbau mendukung salah satu paslon dalam masa pilkada ini.
“Saya mengimbau kepada seluruh anggota PGRI di NTB, terutama daerah yang sedang melaksanakan Pilkada agar bijak bermedia sosial,’’ imbauhnya.
Kuasa hukum PGRI, HM. Supriyatno mengaku menghargai langkah pihak kepolisian. Hanya saja pihaknya menilai penanganan kasus ini terkesan dikebut. Ini kata dia tidak hanya menimbulkan kecurigaan kuasa hukum tapi juga keluarga besar PGRI.
“Terus terang kami merasa ada yang aneh dengan kasus ini,” kata Supriyatno.
Hal ini menurutnya sangat beralasan. Mengingat beberapa kasus serupa juga pernah terjadi, namun penanganannya sedikit berbeda dengan H.Jempol. Mulai dari rentan waktu penanganan sampai keputusan akhirnya, sangat jauh berbeda dengan kasus H.Jempol.
“Pejabat yang pose empat jari seperti tidak ditangani dengan baik. Bahkan beberapa pejabat terang-terangan melanggar justeru tidak ditindak. Tapi sudahlah itu urusan penyidik, fokus kami sekarang hanya membela klien kami semaksimal mungkin,” jelasnya.
Selain itu yang menjadi pertanyaan besar tim kuasa hukum adalah pembuat status yang menuduh H.Jempol melakukan politik praktis sebagai pemicu persoalan. Dalam hal ini akun pembuat status tersebut seharusnya ditindak karena dianggap menjadi biang keladi dalam kasus ini.
” Sebenarnya klien kami korban fitnah. Biar adil, penyebar fitnahnya juga harus ditindak dong,” kata Yatno.
Namun demikian pihaknya memastikan kliennya akan tetap kooperatif dalam menghadapi kasus ini. Pihaknya juga berharap kepolisian bisa menangani kasus ini secara obyektif sesuai ketentuan perundang-undangan.
“Kita harus tetap berpikir positif.Yang jelas sebagai warga negara yang baik klien kami akan taat hukum,” pungkasnya. (bam)