PRAYA – Pemerintah hingga saat ini belum mampu mengatasi masalah minyak goreng. Kelangkaan minyak goreng yang disertai dengan harga di atas harga eceran tertinggi (HET) membuat warga menjerit. Terjadinya kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng diduga karena ulah permainan di tingkat hulu.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) NTB, Abdul Azis Bagis mengungkapkan, kondisi masalah minyak goreng saat ini terus berubah. Masalahnya, dikatakan apa yang sudah disepakati antara pemerintah dengan produsen minyak goreng dan para eksportir terutama itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Akibatnya kita yang diluar itupun jadi korban. Katakan para peritel sekarang,” katanya pada Radar Mandalika, Senin (7/3).
Dikatakan, para peritel atau penjual barang eceran (pengecer) tidak bisa berbuat apa-apa. Karena yang memang mempengaruhi kelangkaan minyak goreng ini adalah ulah dari para eksportir. “Yang mestinya dia sudah sepakat 20 persen itu dijadikan untuk kebutuhan dalam negeri, tiba-tiba dia nampaknya dijual semua (keluar negeri),” ungkap Bagis.
Tapi belakangan eksportir memenuhi ketentuan yang ada. Itu setelah pemerintah memberikan punishment atau hukuman terhadap eksportir. Umpamanya tidak mendapat izin ekspor. Tapi dikatakan terjadi lagi kelangkaan minyak goreng. “Rupanya itu dimainkan oleh distributor. Barang sudah ada tapi ndak diedarkan,” kata Bagis.
“Barang sudah ada tetapi ndak diedarkan kan ini ulah distributor yang sebetulnya adalah kaki tangan dari para eksportir “nakal” itu,” tambahnya menuding.
Masalahnya, dikatakan eksportir menyalurkan minyak goreng melalui distributor-distributor yang notabene milik mereka. “Inilah yang namanya kartel. Jadi, kartel itu menguasai dari hulu ke hilir tapi dengan cara-cara yang tidak sehat,” katanya.
Dia menambahkan, permainan kartel itu sekarang sudah mulai diidentifikasi pemerintah. “Kita tunggu saja. Jadi, memang kasian pemerintah sudah berupaya tapi si para eksportir dan produsen ini “nakal” gitu. Sekarang mulai dikejar satu satu,” kata Bagis. Sembari mengutarakan, Gubernur NTB akan mengadakan pertemuan dengan pihak-pihal terkait.
Pihaknya tidak memungkiri jika ketersediaan stok minyak goreng di ritel-ritel saat ini sangat terbatas alias langka. “Karena dari distributor nya juga terbatas. Distributor terbatas dari produsen,” ungkapnya memberi gambaran.
Menurutnya, masalah kelangkaan dengan disertai tingginya harga minyak goreng akan sulit teratasi apabila pemerintah belum berhasil menundukkan para eksportir dan produsen. “Capek kita ngawasin di bawah ini kalau di atasnya masih ada permainan,” katanya.
“Kalau di level anggota Aprindo (pengusaha ritel) sulit dia bisa bermain,” tambah Bagis meyakinkan.
Pihaknya mengapresiasi upaya langkah yang diambil pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang telah menentukan HET minyak goreng. Hal demikian menurutnya itu salah satu solusi. Namun begitu, harga minyak goreng di pasaran masih saja di atas HET.
Seperti diketahui, dalam ketentuan pasal 3 ayat 2 poin a Permendag RI Nomor 06 tahun 2022 tentang penetapan harga eceran tertinggi minyak goreng sawit, disebutkan bahwa HET untuk minyak goreng curah yakni Rp11.500 per liter, untuk minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14 ribu per liter.
“Yang menaikkan harga itu pertama dipastikan adalah mereka yang spekulan-spekulan. Dan, itu ada sanksi hukum sebenarnya,” katanya.
Tapi menurutnya, pemerintah tidak berani mengambil tindakan tegas. “Kadang-kadang pengawasannya cukup efektif. Tapi kalau udah ketauan ndak tau ujungnya. Contoh di Medan ketemu 1,1 juta liter. Itu konon mereknya Bimoli. Nah, kita ndak tau apa kelanjutannya. Mestinya kan sesuai bunyi pasalnya itu dia dikenakan sanksi sekian puluh miliar dengan kurungan (penjara). Kita ndak dengar itu,” kesalnya.
Aprindo, kata dia, sudah betul-betul pasang badan dalam membantu pemerintah terkait minyak goreng ini. “Dikasih patokan harga eceran tertinggi, kita lakukan itu. Tapi kan ndak ada daya karena kita tergantung supplier. Supplier dari distributor. Distributor dari produsen dan eksportir,” terang Bagis.
Dalam hal ini, dia menegaskan pihaknya dari Aprindo konsisten menjual minyak goreng dengan harga Rp 14 ribu per liter (minyak goreng kemasan premium, Red). Tidak boleh melebihi HET sesuai ketentuan yang diatur pemerintah. “Yang jual lebih (di atas HET) itu dipastikan dia bukan anggota Aprindo. Dia pengusaha-pengusaha liar di luar yang memanfaatkan kesulitan orang. Mengambil keuntungan dalam keadaan orang sudah,” tandasnya. (zak)