PRAYA- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, ternyata tidak semua pelajar di Lombok Tengah menyambutnya dengan antusias.
Program ini sampai saat ini belum terealisasi di Kabupaten Lombok Tengah dan para pelajar juga enggan mempertanyakan program ini kapan akan dimulai. Ini artinya tidak semua pelajar mengharapkan program ini.
“Kalau saya disuruh memilih antara program Makan Bergizi Gratis dengan pendidikan gratis, ya saya pilih pendidikan gratis kalau ada. Karena saya sudah biasa bawa bekal dari rumah, dan masakan orangtua tidak ada bandingnya,” ujar Walid, pelajar SMAN 4 Praya.
Ia juga membandingkan, antara program Makan Bergizi Gratis dengan pendidikan gratis, program Makan Bergizi Gratis jika lauk pauknya, tahu tempe, telur sayur mayur mungkin semua orang sudah terbiasa. Namun kalau ada program pendidikan gratis pasti tidak ada lagi anak yang putus sekolah karena ketidakmampuan ekonomi.
“Kalau pendidikan gratis kan mudah kita masuk tes kepolisian, masuk perguruan tinggi. Semua orang pasti punya cita-cita menjadi orang sukses, menjadi orang pintar tapi biaya kuliah sekarang mahal, kalau makan gratis kita sudah kenyang dari rumah,” ungkapnya.
Memang program ini lanjutnya, niatnya baik untuk perbaikan gizi tapi tidak terlalu urgen, jika dilihat dari banyaknya kebutuhan para pelajar, lebih bagus program pendidikan gratis. Di jenjang SMA, biaya yang dikeluarkan cukup banyak, baik itu pembelian seragam, buku ATK, biaya SPP dan lainnya.
“Jadi banyaklah yang harus dipikirkan orangtua, paling tidak kita dibebaskan SPP bulanan sudah sangat bersyukur, kita bayar bulanan Rp 150 ribu,” ungkapnya.
Senada, Pelajar SMAN 1 Praya, Jihan menyambut baik program bergizi gratis tapi alangkah baiknya ada program pendidikan gratis untuk pelajar SMA/SMK sampai perguruan tinggi. Karena tujuan pendidikan ini kan untuk menyiapkan generasi muda Indonesia yang berkualitas jadi pemerintah harus membuka keran untuk memfasilitasi para pelajar agar bisa mendapatkan pendidikan secara merata.
“Sukur kalau orangtua mampu menguliahkan kita, tapi bagaimana kalau tidak mampu apakah kita akan paksakan, kalau kejar program beasiswa persaingannya ketat dan harus pintar. Masuk perguruan tinggi saja harus melewati tes, kalau gagal itu mempengaruhi mental. Padahal niat kita baik untuk memperbaiki nasib dan memajukan kualitas pendidikan Indonesia,” cetusnya.
Seharusnya, sebelum pelaksanaan Makan Bergizi Gratis ini dimulai, perlu pemerintah pusat melakukan riset di kalangan pelajar Indonesia, apakah program ini benar-benar dibutuhkan oleh semua pelajar atau hanya sebagian, terlebih lagi program ini katanya menghabiskan anggaran yang sangat banyak. Jika pertanyaan ini dilontarkan ke pelajar SMA dilihat dari kebutuhan tentu sebagian besar yang akan dipilih pendidikan gratis.
“Hasil masukan dari kalangan pelajar bisa dievaluasi, ada daftar isian yang diberikan sehingga pemerintah pusat bisa mengetahui apa yang memang dibutuhkan oleh pelajar masing-masing wilayah,” pungkasnya.(hza)