FENDI/ RADAR MANDALIKA BUKA: Pemangku makam saat melakukan ritual pembuka pintu makam bersama penziarah, Senin kemarin.

Diyakini Sebagai Makam Salah Satu Wali dari Sembilan Wali Jawa

Makam Embung Puntik selalu ramai didatangi peziarah. Lebih khusus lagi pada bulan tujuh penanggalan Sasak, dimana saat itu bulan menunjukkan pertenggahan (tumbuk) antara musim panas dan musim hujan. Seperti apa? berikut hasil liputan wartawan Radar Mandalika.

FENDI-LOMBOK TENGAH

MAKAM Embung Puntik berada di Dusun Telok Desa Sengkerang, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah. Makam ini berada sekitar 50 meter dari jalan raya provinsi ruas Mujur-Keruak.

Untuk ke lokasi makam, bisa kendaraan masuk langsung, sebab ada jalan sejak lama dibuka pemerintah desa dan masyarakat setempat. Bagi para peziarah ke makam ini, harus mengikuti aturan yang ada. Mereka akan ditemani oleh pemangku ke makam.  Biasanya warga sekitar datang ke makam untuk berziarah membawa makanan dengan menggunakan dulang tinggi.

Makanan yang dibawa pengunjung tidak ada ketentuan yang dibawa. Namun dianjurkan tetap menggunakan dulang tinggi. Makanan yang dibawa peziarah ini, nantinya setelah selesai acara ritual berupa zikir dan doa di depan makam, baru peziarah melakukan makan bersama.

Selama ini, makam yang diyakini warga sekitar merupakan makam seorang wali bernama Raden Suryadiningrat. Dimana sosok penyebar agama Islam ini diyakini warga sebagai bagian dari Sembilan Wali Jawa yakni, Sunan Gunung Jati bernama Syek Sarif Hidayatullah. Dalam perjalanan menyebarkan agama islam, beliau diperkirakan berlayar ke Lombok pada tahun 1717 M. Dimana pada waktu itu, beliau pertama kali singgah di Selaparang. Setelah dari Selaparang kemudian menyebar ke daerah Sakra, baru kemudian menyisir wilayah Lombok bagian tengah termasuk Desa Ganti pada waktu itu.

“Di sini beliau Raden Suryadiningrat membuat suatu petilasan persinggahan di (embung puntik). Beliau inilah yang menghilang dari kampung persinggahan, sehingga masyarakat sekitar menamakan dengan kemalih embung puntik,” cerita Ahmad sebagai pengelola makam tersebut.

Papuk Wahid panggilan akrabnya menceritakan, sang ulama itu menghilang tanpa mohsa (jasad) di lokasi tersebut. Dimana sebelum menghilang, sang wali melakukan ritual yakni mengelilingi persinggahannya selama sembilan kali baru kemudian naik dan menghilang di makam tersebut.

Selain meninggalkan makam, Raden Suryadiningrat juga meninggalkan sumur yang diberi nama sumur emas. Sumur yang berjarak sekitar 20 meter dari makam tersebut dimanfaatkan warga untuk mengambil air dan juga mandi dengan hajat tertentu.

Para peziarah yang datang ke makam tersebut jelasnya, akan membawa berbagai makanan dan sesaji sebagai persembahan dan makanan untuk meminta keselamatan dengan perantara makam tersebut.

 “Ada tiga pintu, setiap pintu dibukan oleh pemangku, sebelum masuk makam harus keliling makam, sebanyak sembian kali, atau tujuh kali, atau tiga kali sesuai kesangupan,” jelasnya.

Adapun hajatan dan alasan warga melakukan ritual pada bulan tujuh jelasnya karena makam tersebut diyakini mampu menjadi perantara untuk memberikan kesehatan, baik untuk keluarga, juga untuk usaha, bahkan untuk sebagai syarat sebelum menanam padi.

Dimanan sesaji yang telah di berikan ritual oleh pemangku di dalam makam, digunakan sebagai sembek, ada juga air digunakan membasuh muka anggota keluarga.

“Kebisaan pada bulan tersebut masyarakat mengambil air untuk dijadikan obat,” katanya.(*)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *