PRAYA – Kasus kekerasan verbal yang diduga dilakukan pihak SMPN 1 Praya Barat terhadap salah satu siswa menjadi atensi sejumlah pihak. Salah satunya Dinas Sosial melalui Bidang Rehabilitasi dan Perlindungan Anak.
Orang tua siswa, Hj Zaranah menyampaikan, pihaknya mau berdamai asalkan ada perjanjian hitam di atas putih. Tidak sebatas telapak tangan harus ada jaminan supaya hal semacam ini tidak terulang lagi. Dari pengakuannya, guru yang dilaporkan tersebut sudah ketiga kalinya berbuat semacam ini kepada peserta didiknya.
“Saya juga sudah laporkan kasus ini ke Dinas Pendidikan supaya guru yang bersangkutan dipindahkan. Jika tidak ada kata damai hari ini, maka terpaksa akan ke jalur hukum,” tuturnya, kemarin.
Beruntung, kasus ini tidak sampai ke ranah hukum. Dimana setelah melalui proses mediasi yang panjang, kedua belah pihak baik orang tua siswa dan pihak sekolah sepakat berdamai, sore kemarin.
Dinas Sosial Loteng melalui Bidang Rehabilitasi Perlindungan Anak, Azhari Purnama menjelaskan, kedua belah sudah pihak sepakat untuk berdamai hitam di atas putih bermeterai.
“Bentuk perdamaian dari kedua belah pihak dari hasil pertemuan Selasa sore di SMPN 1 Praya Barat yaitu pernyataan di atas materai dan atas nama guru akan bertanggungjawab dan sanggup mengeluarkan biaya pengobatan atau terapi pada korban,” tuturnya usai melalukan mediasi, sore kemarin.
Pihaknya sangat bersyukur kasus ini tidak sampai ke ranah hukum dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Untuk itu, atas kejadian ini menjadi sebuah pelajaran bagi masyarakat supaya dalam mengambil tindakan harus dipikirkan terlebih dahulu.
Ia menjelaskan bahwa kasus kekerasan verbal atau psikis ini jika dilihat dari hukum pidana bisa dijatuhkan 4 tahun penjara. Sebagai informasi di Kabupaten Lombok Tengah di tahun 2021 kasus kekerasan pada anak yang sudah ditangani sebanyak 70 kasus. Mulai dari kekerasan seksual, pencurian dan penelantaran. Dari sekian kasus ini yang paling banyak yaitu pelecehan seksual. Sementara terkait kasus kekerasan verbal atau psikis yang terjadi di sekolah dari tahun 2021-2022 baru ditemukan dua kasus.
“Kalau kita lihat skup Lombok Tengah 70 kasus yang sudah ditangani Peksos maka ini bisa dikatakan tinggi,” tuturnya.
Setiap anak lanjutnya, memiliki mental yang berbeda-beda, ada yang kuat dan ada yang lemah. Sehingga lahir UU nomor 23 Tahun 2002 yang berisi setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
“Adanya Undang-undang perlindungan anak supaya lebih berhati-hati dalam bersikap. Karena dampak kekerasan verbal atau psikis seperti membentak, meremehkan, menggertak dan lain sebagainya dapat membuat anak kehilangan kepercayaan diri, terlihat depresi dan gelisah, kehilangan semangat untuk sekolah dan masih banyak lagi,” jelasnya.(cr-hza)