IST/RADARMANDALIKA.ID Jumarim

Oleh: Jumarim (Dosen UIN Mataram dan PWNU NTB)//sub

BERBCIARA tentang santri, maka erat kaitannya dengan pesantren. Tidaklah disebut pesantren tanpa santri, demikian pula sebaliknya. Secara tehnis Gusdur menyebut pesantren sebagai tempat tinggalnya para santri, bahkan Muhammad Yunus memaknai pesantren sebagai tempat para santri belajar agama Islam. Santri juga sering dikaitkan dengan kiyai sebagai hubungan guru-murid tanpa batas, sekalipun tidak pernah tinggal di pesantren, Hal ini didalilkan pada dawuh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari bahwa “siapapun yang mengabdikan dirinya untuk Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, maka saya anggap sebagai santriku”.
Dari hubungan santri-kiyai berbasis ketaatan dan kepatuhan santri serta keikhlasan kiyai terbangun jaringan yang terus berkembang menjadi pesantren. Antar pesantren terbangun jaringan berbasis hubungan keluarga kiya-santri hingga akhirnya terlembakan secara modern dalam satu jam’iyyah diniyyah ijtimaiyyah Nahdlatul Ulama dengan system kepemimpinan berbasis kiyai (syuriah0 dan santri (tanfidziah). Sekalipun masih dalam situasi pandemic covid 19, peringatan hari santri tahun 2021 tetap memiliki keistimewaan karena setidaknya dua factor. Pertama, bersamaan dengan rencana pelaksanaan muktamar NU yang diselenggarakan menyonsong satu Abad usinya. Kedua berada pada bulan Rabi’ul Awwal yang menjadi sumber energy spiritual bagi santri melalui limpahan cintanya kepada Nabi Muhammad SAW melalui sholawatan dan sekaligus selamatan atau maulidan.
Secara sosiologis, santri adalah bagian atau unsur penting dari pesantren, bahkan besar-kecilnya sebuah pesantren diukur dari jumlah atau kuantitas santrinya. Pemaknaan santri mengalami perluasan sisi, baik sisi identitas keberagamaan masyarakat Indonesia secara umum dan sisi spesifik sebagai bagain dari salah satu unsur pesantren.
Secara umum, makna santri dapat dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memposisikan santri sebagai “kata benda” yang mengandung dua manka, yakni orang yang mendalami (belajar) agama Islam dan orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh atau orang saleh. Clifford Geezrt menggunakan kata “santri” sebagai salah satu tipologi Agama Jawa selain abangan dan priyai. Dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Aswab Muhasin berjudul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Geerzt memaknai abangan sebagai orang jawa yang lebih cenderung pada prilaku keagamaan yang berkaitan dengan keselamatan dan kebebasan dari gangguan roh gaib atau makluk halus dalam segala urusan yang ditandai dengan selamatan, sedangkan priyai dilekatkan kepada orang jawa yang berposisi sebagai birokrat atau keturunan kerajaan jawa dan masih berperan sebagai pegawai pemerintahan colonial yang patut dan patut terhadap etiket-etiket aristokrasi atau adat-istiadat atau budaya Jawa. Sementara “santri” dimaknai sebagai orang jawa yang beragama Islam dan taat menjalankan ajaran ortodoksi Islam seperti sholat lima waktu, sholat jumat dan sholat dua hari raya; ideul fitri dan iedul adha, puasa ramadhan, berzakat, dan melaksanakan haji ke Makkah, walaupun di antara mereka ada yang masih tetap taat melaksanakan selamatan maupun patuh pada adat-istiadat atau budaya Jawa.
Secara spesifik, santri disatupadukan dengan istilah pesantren. Itu sebabnya, Zamahksyari Dhofier dalam bukunya yang sangat popular berjudul “Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa Depan Indonesia” menetapkan ada lima unsur pokok pesantren; kiyai, santri, asrama, masjid dan pengajian kitab kuning. Zamakhsyari mengkategorikan santri menjadi dua, yakni santri mukim atau yang tinggal di asrama dan santri kalong atau yang tinggal di luar asrama namun tetap mengikuti tata tertib asrama khususnya dalam jadwal pengajian kitab kuning.
Seiring dengan peran pesantren yang tak terleakkan dalam membangun karekter bangsa yang ditandai degan peran serta kiprah para santri dari pra kemerdekaan hingga saat ini sebagai garda depan dalam merebut dan mempertahakan kemerdekaan NKRI, Pemerintah menaruh atensi serius terhadap eksistensi santri dan pesantren. Atensi ini diawali dengan lahirnya Keppres RI No. 22 tahun 2016 tentang penetapan hari santri yang jatuh pada tanggal 22 Oktober, serta disahkannya UU No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren.
Ditandatanganinya Keppres Ri No. 22 tahun 2016 pada tanggal 15 Oktober 2016 oleh Presiden RI, Ir, Joko Widodo tentang penetapan tanggal 22 oktober sebagai hari santri bukan semata faktor politis melainkan telah melalui proses dan tahapan yang mateng, baik dari sisi kajian hsitoris, filosofis, sosiaologis dan linguistic. Kamatengan tersebut terbaca dalam tiga poin sebagai konsideran Keppres RI NO. 22 tahun 2016. Pertama, pengakuan atas peran dan kiprah tiga entitas yang saling berkelindan dalam sejarah keislaman dan kemerdekaan NKRI, yaitu Ulama, Santri dan Pesantren. Hal tertulis dalam konsideran poin pertama yang menyatakan bahwa “ulama dan santri pondok pesantren memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik lndonesia serta mengisi kemerdekaan”. Kedua Penetapan tanggal 22 oktober sebagai Hari Santri, bukan hari kebangkitan Ulama dan atau bukan Hari Pendidikan Pesantren, dimaksudkan sebagai keterbukaan cakupan dan semata-mata untuk menghindari suprioritas kiyai atau ulama dan juga menghindari primordialisme ke-NU-an yang identic dengan lembaga pendidikan pesantren. Hal ini dapat terbaca dalam konsideran kedua yang berbunyi bahwa “untuk mengenang, meneladani dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik lndonesia serta berkontnbusi dalam pembangunan bangsa, perlu ditetapkan Hari Santri pada tanggal 22 Oktober”.
Ketiga, rujukan sejarah dalam penetapan tanggal 22 oktober sebagai hari santri adalah peristiwa penetapan resolusi jihad oleh Hadratussikh KH. Hasyim Asyari selaku Rais Akbar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dalam rangka menggerakkan perlawanan warga untuk berjihad menghadang tentara sekutu yang ingin merebut kembali kemerdekaan NKRI pada tahun 1945. Hal ini terbaa dalam teks konsideran ketiga yang berbunyi “bahwa tanggal 22 Oktober tersebut diperingati merujuk pada ditetapkannya seruan resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 oleh para santri dan ulama pondok pesantren dari berbagai penjuru lndonesia yang mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik lndonesia dari serangan penjajah”.
Memperhatikan tiga poin konsideran Kepperes RI No. 22 tahun 2016 tentang hari santri, maka tanpak jelas empat kata kunci, yaitu Kiyai, Santri, Pondok Pesantren dan Resolusi Jihad. Empat kata kunci ini sangat identik dengan peran sentral atau tokoh kunci, yaitu Hadaratussyeikh KH. Hasyim Asya’ari, Rais Akbar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Namun, Nahdlatul Ulama baik secara structural maupun kultural sebagai salah satu pihak atau stakeholder yang paling dominan dalam keluarnya Keppres RI No. 22 tahun 2016 tidak mengusulkan tanggal 22 oktober sebagai “Hari Pendidikan Pesantren” atau “Hari Kebangkitan Ulama”, melainkan mengusulkan “Hari Santri”. Sikap “tawadhu penuh hikmah” tersebut adalah puncak karekter Santri dalam ranah public sebagai saripati empat pilar atau mabadi’ khaira ummat li nahdlatil ulama, yaitu keseimbangan (al-Tawazun), keadilan (al-‘adalah), moderat (al-Tawasuth) dan toleransi (al-tatsamuh).
Lahirnya UU NO. 18 tahun 2019 tentang Pesantren sebagai konsekuensi dari Keppres RI No. 22 tahun 2016 tentang Hari santri, di satu sisi membangkitkan dan menguatkan kembali eksistensi kiyai, santri dan pesantren sebagai model dan lembaga pendidikan tangguh di Indonesia, namun pada sisi lainnya muncul disoerintasi dengan pesantren. Pesantren tangguh bisa jadi tidak tersentuh dengan jamahan kebijakan negara melalui UU Pesantren akibat administrasinya dan sekaligus menimbulkan peluang lahirnya pesantren yang memadai secara administrative namun jauh dari spirit kesantrian. Pesantren, selain memiliki santri melalui kajian rutin di pondok atau asrama, kiyai juga atas nama pesantren menyelenggarakan majelis taklim yang terjadwal secara rutin maupun insidentil melibatkan masyarakat dengan beragam kasfikasi; umum disebut pengajian umum, pengajian khusus berdasarkan materi, berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, dan sebagainya. Tenpat pelaskanaannya berbasis pondok pesantren, masjid, musholla, lapangan, dsb. Waktu pelaksanaan ada yang terjadwal rutin, insidentil berbasis Peringatan Hari Besar islam, Selamatan/hajatan, dan sebagainya. Pendidikan dalam asrama disebut Ngaji Kitab sementara di luar asrama disebut pengajian atau ceramah. Peserta didiknya dalam asrama biasa disebut santri, sementara di luar pesantren atau asrama disebut jamaah atau abituren atau muhibbin.
Sejak ditetapkannya tangal 22 Oktober sebagai hari santri Nasional melalui Kepperes RI No. 22 tahun 2016, maka sejak itu pula diperingati secara nasional oleh pemerintah dengan Kementerian Agama dari pusat hingga kabupaten/kota sebagai leading sektornya. Sekalipun proses memperingatinya belum massif sebagaimana hari-hari nasional lainnya baik pada level instansi pemerintahan maupun pada level kultural atau masyarakat. Pemerintah daerah belum semunya pro aktif dan progressif memback-up peringatan hari santri kecuali oleh Kementerian Agama dan demikian pula di level masyarakatnya, kecuali oleh NU secara structural, belum maksimal secara kulturalnya. Koordinasi dengan para pemangku kepentingan harus terus ditingkatkan guna perluasan daya jangkau dan daya dukung terhadap peringatan hari santri dan pemaknaannya.
Kehadiran hari santri tahun 2021 ini, seyogyanya semua elemen bangsa ikut serta memperingatinya agar dapat mengambil hikmah atau pembelajaran bagi upaya mengisi dan mempertahankan kemerdekaan NKRI ini dengan mengambil ibroh sebagai berikut; (1) Meneladani cara dakwah para Santri Nusantara yang penuh keramahan bagi semua kelompok (rahmatan lil alamin), (2) Keswadayaan Para Santri dalam membangun pendidikan melalui pesantren selama berabad-abad di Nusantara, (3) Kegigihan para santri menanamkan wawasan kebangsaan melalui tindakan dan tauladan, (4) Keuletan para santri mempertahankan tradisi saintifik dalam kajian dengan terus menelusuri atau mentelaah pustaka (ngaji kitab kuning), dan (5) Keluasan daya jangkau doktrin keislaman moderat oleh para santri melalui pelayanan pengajian tanpa henti. Serta (6) ke lapangan dada dan atau keistiqomahan para santri dalam mengajar tradisi tanpa memaki dan emosi walaupun terus dibid’ahi bahkan dikafiri.
Mari meriahkan hari santri tahun 2021. Niatkan terus diri kita agar tetap menjadi santri, jamaah atau muhibbin para kiyai dan pesantren dengan segenap identitas, bakti, karakter atau kahlaq mulianya untuk kita miliki dan persembahkan bagi keselamatan, kemerdekaan dan kesejahteraan kita dalam beribadah, bermuamalah, dan bernegara.(*)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *