Total 18 Are, Sejak SMA Ngaku Sudah Mandiri
Dery Septian Galis, 23 tahun warga Desa Sengkol, Kecamatan Pujut Lombok Tengah sempat viral di media sosial. Galis viral setelah beredarnya foto saat dirinya mewakafkan lahan seluas 11 are di depan jalur bypass BIL-Mandalika, Selasa kemarin.
DIKI WAHYUDI-LOMBOK TENGAH
WARGANET ramai-ramai memberikan jempol untuk pemuda bernama Dery Septian Galis, 23 tahun di media social facebook. Ada juga yang memanggil Galis dengan julukan Sultan, bahkan banyak doa terbaik dikirim warganet untuk dia.
“Saya juga tahu keluarga yang bilang, Galis viral di media social. Saya anggap biasa aja, karena saya tidak punya facebook,” ungkapnya di dalam podcast bersama Radar Mandalika Official, Rabu kemarin.
Galis menjelaskan, dirinya mewakafkan lahan seluas 18 are jumlah semuanya, 5 are untuk jalan usaha tani dan 11 are untuk lokasi dibangun musala tepatnya di Dusun Jomang Desa Sengkol. Dikatakannya, lahan ini diwakafkan sesuai perintah orangtuanya sejak lama, dan baru sekarang bisa diwakafkan.
“Bapak masih hidup, Cuma saya mewakili untuk penyerahan tanah yang diwakafkan ini,” tuturnya.
Galis awal tidak pernah beranggapan akan ramai seperti ini. Menurutnya, ini hal yang biasa dilakukan dan tentu dengan harapan bisa bermanfaat untuk masyarakat banyak. Adapun rencana dibangun musala nanti, ia berharap nama musala ada tercantum nama kakeknya.
“Ya mudahan bisa aja, tapi dalam pembangunan nanti insya allah kami juga akan nyumbang untuk pembangunan,” tutur pria yang berstatus mahasiswa Universitas Sahid, Jakarta ini.
Di balik itu semua, Galis mengaku memiliki dua kakak dan satu adik. Semuanya perempuan kecuali dirinya. Sementara ayah merupakan mantan pegawai di LKP namun sudah lama mengajukan pengunduran diri. Sedangkan ibu seorang ibu rumah tangga.
“Hidup kami biasa-biasa aja,” ujarnya.
Sementara, dari proses wakaf lahan seluas 18 are itu, Galis diam-diam memiliki cerita kehidupan yang pahit. Dirinya mengaku dididik keras oleh kedua orangtuanya bersama saudara lainnya. Kendati demikian, momen kenakalan remaja sudah dilalui.
“Saya pindah SMA tiga kali, Alhamdulillah bisa lulus di SMAN 1 Praya,” bebernya.
Awal masuk SMA, Galis sudah mendiri. Dia pertama sekolah di salah satu SMA dengan siswa mayoritas Kristen di wilayah Jogja, di sana ia tidak lama belum selesai ospek sudah pindah ke sekolah tidak jauh dari sekolah pertama. Di sekolah kedua juga sama, Galis merasa tidak nyaman karena berada di lingkaran anak orang kaya. Tidak sampai naik kelas 2 dia pun pindah ke SMA Muhammadiyah di Jogja juga. Tapi di tempat itu lebih parah lagi, Galis mengaku jika hampir semua siswanya gaya preman. Sebagian besar siswa cowok dan cewek bertato.
“Saya dikeluarkan oleh kepala sekolah, baru saya pindah ke SMAN 1 Praya. Alhamdulillah keterima bang,” katanya.
Hal yang sama juga terjadi di bangku kuliah, beberapa kali pindah kampus dan saat ini masih bertahan di Universitas, Sahid, Jakarta. “Sekarang dah semester 6, insya allah tahun depan wisuda,” yakinnya.
Di kampus sekarang ini, Galis mengakui kuliah di tempat yang mahasiswa mayoritas anak bule. Belum lagi mahal biaya kuliah, per semester 15 juta.”Saya juga jarang masuk kuliah, di kampus saya diutamakan bahasa Mandarin dan Inggris,” ceritanya.
Galis membeberkan, sejak duduk di bangku SMA sampai dengan saat ini, ia hidup mandiri. Termasuk sudah bisa belajar buat usaha sendiri. Hasilnya dia bisa sekolah, kuliah dan membeli kendaraan. “Saya mandiri, jadi mau pindah sekolah dan kuliah tidak pernah ditanyak,” pungkasnya.(*)