MATARAM – Fraksi Amanat Bintang Nurani Rakyat (PAN, PPB dan Hanura) menolak keras dilakukannya interpelasi pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Provinsi NTB Tahun 2024 senilai Rp 1,032 triliun.
“Perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif, mengingat kompleksitas dan implikasi yang mungkin timbul dari penggunaan hak interpelasi tersebut,” ujar Juru Bicara Fraksi Amanat Bintang Nurani Rakyat (ABNR), Nadirah saat membacakan pandangan umum fraksi dalam Paripuran, Rabu (23/04).
Sesuai analisa F ABNR terhadap Usul Hak Interpelasi Syarat Formal Usul Hak Interpelasi tidak terpenuhi. Sesuai dengan Pasal 114 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah dan Pasal 93 Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi NTB, usul hak interpelasi harus diajukan oleh Paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD; dan Lebih dari 1 (satu) fraksi.
“Pointnya disini. Kami melihat tidak cukup syarat formil,” kata politisi PBB itu.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan Fraksi ABNR menyampaikan pandangan berikut. Hak interpelasi memang salah satu instrumen pengawasan yang dimiliki oleh DPRD dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah. Sesuai dengan Pasal 106 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, hak interpelasi digunakan untuk meminta keterangan kepada Gubernur mengenai kebijakan Pemerintah Daerah yang penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Namun, F ABNR menegaskan bahwa penggunaan hak interpelasi harus dilakukan secara proporsional, bertanggung jawab, dan berdasarkan alasan yang kuat serta mendesak. Penggunaan hak interpelasi tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan politik semata atau menciptakan distraksi yang dapat mengganggu kinerja Pemerintah Daerah dalam melaksanakan program-program prioritas.
Sementara itu, kebijakan DAK sebagai kebijakan pemerintah pusat. UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), DAK merupakan bagian dari transfer ke daerah yang bersumber dari APBN. DAK dialokasikan untuk mendanai program, kegiatan, dan kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional. Tujuannya mencapai prioritas nasional. Mempercepat Pembangunan Daerah. Mengurangi Kesenjangan Layanan Publik. Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Daerah; dan Mendukung Operasionalisasi Layanan Publik.
Pengelolaan DAK, mulai dari perencanaan, penganggaran, penyaluran, hingga pertanggungjawaban, diatur secara ketat oleh Pemerintah Pusat melalui peraturan perundang- undangan, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pengelolaan DAK Fisik. Dengan demikian, kebijakan DAK pada dasarnya merupakan kebijakan Pemerintah Pusat, meskipun pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Lalu bagaimana dengan Kewenangan Pengawasan DPRD terhadap DAK? Nadirah mengatakan meskipun DAK merupakan kebijakan Pemerintah Pusat, DPRD memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan APBD, termasuk alokasi dan penggunaan DAK yang telah dianggarkan dalam APBD. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa APBD ditetapkan melalui Perda, yang merupakan salah satu bentuk kebijakan Pemerintah Daerah.
Namun, F ABNR menekankan pengawasan DPRD terhadap DAK harus dilakukan secara proporsional dan tidak tumpang tindih dengan kewenangan pengawasan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, khususnya Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
“Pengawasan DPRD sebaiknya difokuskan pada aspek kebijakan dan pelaksanaan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah, bukan pada aspek teknis dan administratif yang telah diatur oleh Pemerintah Pusat,” katanya.
Sementara itu, berkaitan dengan Materi Interpelasi, harusnya materi interpelasi harus berkaitan dengan kebijakan Pemerintah Daerah yang penting, strategis, dan berdampak luas. Disatu sisi, kebijakan DAK pada dasarnya merupakan kebijakan Pemerintah Pusat, meskipun pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
“Oleh karena itu, Fraksi Amanat Bintang Nurani Rakyat memandang bahwa materi interpelasi ini lebih tepat diajukan melalui mekanisme pengawasan biasa oleh Komisi-Komisi DPRD, bukan melalui hak interpelasi,” ulasnya.
Jika pun pengusul mempertanyakan pengelolaan interplasi, namun belum ada laporan resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau aparat penegak hukum yang menyatakan adanya penyimpangan dalam pengelolaan DAK secara keseluruhan. Adanya temuan terhadap oknum tertentu (seperti PPK DAK Pendidikan) tidak dapat digeneralisasi sebagai masalah sistemik dalam pengelolaan DAK.
“Berdasarkan kajian di atas, kami menolak usul hak interpelasi terkait pengelolaan DAK, karena secara formal belum memenuhi syarat dan secara materiil lebih tepat diajukan melalui mekanisme pengawasan biasa oleh Komisi-Komisi DPRD,” pungkas Sekretaris F ABNR itu.(jho)