MATARAM – Penyusutan lahan pertanian produktif mencapai 10 ribu hektare (Ha) lebih mendapat perhatian serius dari Komisi II DPRD NTB . Pihaknya tegas meminta Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) mengendalikan penyusutan lahan tersebut seminim mungkin.
“Harusnya ada upaya mengeliminate (membatasi). Jangan sampai bertambah makin meluas,” pinta anggota Komisi II DPRD NTB, Akhdiansyah di Mataram kemarin.
Pria yang juga ketua Badan Pembentukan Perencanaan Daerah (Bapemperda) DPRD NTB itu khawatir jika penyusutan terjadi terus menerus bisa mengancam potensi krisis pertanian. Apalagi NTB merupakan penyokong lumbung pangan nasional.
“Makanya perlu upaya maksimal,” katanya.
Jika penyusutan lahan tersebut tidak bisa dibendung akibat perluasan permukiman setidaknya Distanbun harus memastikan ada lahan pengganti atas lahan yang dipakai. Hal itu bentuk kompensasi dari lahan produkif yang tergerus sehingga NTB tetap bisa mempertahankan diri sebagai daerah yang memproduksi pangan surplus setiap tahun.
“Kita minta Dinas Pertanian lebih tegas. Kalau lahan itu masuk zona hijau tegas dong. Jangan biarkan alih fungsi,” bebernya.
Yongki sapaan politisi PKB itu menegaskan bukankah sudah ada Peraturan Daerah (Perda) yang jelas mengatur mana saja kawasan zona hijau yang harus terus dipertahankan. Menurut Yongki untuk menegakkan Perda tersebut Distanbun NTB perlu berkoordinasi dengan pihak lain. Semisal Satpol PP sebagai instansi penegak Perda. Begitu pun dengan OPD Perkim yang dilihatnya punya peran penting dalam pengaturan kawasan permukiman.
“Distanbun perlu koordinasi dengan Pol PP. Tidak kalah penting juga dengan Dinas Perkim supaya bagaimana lahan hijau ini tidak terus menyusut setiap tahun,” paparnya.
Yongki menegaskan Distanbun perlu melakukan upaya-upaya kongkrit dalam menyikapi kondisi lahan pertanian itu. Jumlah penyusutan yang mencapai 10 ribu Ha itu tidak main – main.
“Apa jadinya kalau ini terus dibiarkan. Apalagi penyusutan ini terjadi setiap tahun,” ujarnya.
“Ini tantangan. Jangan sampai itu bertambah, penyusutan terus menetus,” sambungnya.
Yongki mengatakan ranah pemetaan kawasan wilayah NTB sebetulnya masuk kedalam Perda RTRW yang saat ini masih tengah digodok legislatif. Meski diakuinya pembahasannya mandeknya karena terbentur regulasi pemerintah pusat.
“Penyusunan Perda RTRW, ini ruang menentukan peta wilayah tanah itu. Walaupun memang (pembahasannya) sekarang belum selesai,” urainya.
Dalam Perda RTRW tersebut harus ditegaskan mana saja kawasan yang masuk zona hijau, lahan produktif dan sebagainya.
Berdasarkan data Distanbun NTB, penyusutan lahan pertanian produktif mencapai 10 ribu Ha. Dari jumlah awal 270 ribu Hektare menjadi 260 ribu Ha. (jho)