Oleh: Jayadi (Ketua Lakpesdam PWNU NTB)

Fenomena kaderisasi di tubuh Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren yang menarik. Dari tingkat pelajar (IPNU-IPPNU) hingga mahasiswa (PMII, KOPRI, KMNU, GMNU) dari badan otonom (Fatayat, GP Ansor, Banser, Muslimat), lembaga, pesantren hingga komunitas kultural. Proses kaderisasi berjalan cukup masif dan melahirkan banyak anak muda yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari NU. Penulis menyebutnya sebagai “surplus kader muda NU”.

Namun, surplus ini menghadirkan pertanyaan mendasar: “Surplus kader muda, NU NTB bisa apa?” Apakah ini hanya sebatas angka yang membanggakan dalam laporan dan penampakan aktivitas kaderisasi?, atau benar-benar bisa menjadi energi kolektif untuk memperbesar volume dan resonansi gerakan dakwah, perubahan sosial, ekonomi, politik, budaya hingga penyedia sumberdaya manusia yang menghadirkan maslahah dan kemanfaatan bagi jamaah dan jamiyah. Sering kali kita (organisasi) berbangga dengan jumlah kader yang melimpah. Tetapi kader banyak tidak otomatis berarti kuat. Pertanyaannya adalah apa yang dilakukan setelah kaderisasi?

Kalau surplus kader hanya berhenti pada seremoni pelatihan, maka kaderisasi hanya menjadi rutinitas tanpa arah. Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat bisa saja mencetak ribuan kader dari berbagai saluran kaderisasi seperti ; Mapaba, Makesta, Lakmud, LKD, LKL, PKD, Diklatsar, PDPKP, MKNU dan berbagai jenjang kaderisasi lainnya. Tapi jika tidak ada ekosistem yang menampung, memfasilitasi dan mendistribusikan mereka, hasilnya justru bisa kontraproduktif.

Karena jumlah kader berlimpah, kesempatan untuk mempraktikkan kepemimpinan menjadi terbatas. Akibatnya, banyak kader berpotensi tidak memperoleh pengalaman lapangan, terjadi penumpukan kader di tingkat tertentu tanpa peluang naik ke jenjang lebih tinggi, semangat dan loyalitas sebagian kader bisa menurun karena merasa “tersingkir” bahkan berpindah haluan ke organisasi lain.

Potensi Besar Anak Muda NU NTB

Kader muda NU di NTB memiliki peluang besar untuk menjadi motor penggerak kemajuan masyarakat dan daerah. Dengan basis massa NU yang kuat dan tradisi keislaman moderat, solidaritas sosial yang mengakar, kader muda dapat memanfaatkan modal sosial tersebut untuk membangun jejaring dan gagasan yang inovatif. Generasi muda NU NTB memiliki modal besar yang bisa dirakit dan ditransformasi menjadi kekuatan penopang jamaah dan jam’iyah seperti : modal kultural ; rata-rata kader NU memiliki kesamaan latar belakang yang lahir dari rahim pesantren dan tradisi keislaman moderat yang bersanad dan mengakar. Intelektual; saat ini sudah banyak kader muda NU yang sudah menempuh pendidikan tinggi baik di dalam maupun luar negeri dengan jenis dan ragam disiplin ilmu, kader bergelar doktor dan profesor kini sudah semakin banyak. Digital ; banyak anak muda NU memiliki skil dalam mengelola media sosial, punya jejaring dan bisa menguasai narasi publik. Sosial : Kental dengan ciri khas semangat kekeluargaan, gotong royong, kerja sosial, dan kepedulian terhadap masyarakat.

Potensi kader muda NU NTB bukan sekadar wacana, melainkan kekuatan nyata untuk mendorong kemajuan sosial, ekonomi, dan keagamaan di daerah. Dengan memadukan tradisi keulamaan dan inovasi anak muda, NU NTB bisa menjadi model pengembangan organisasi Islam moderat yang berdaya saing di Nusa Tenggara Barat. Jika potensi ini dikelola dan disinergikan, anak muda NU NTB bukan hanya menjadi pengikut, tapi juga pemimpin perubahan.

Bahaya Surplus Tanpa Ruang

“Surplus kader tanpa ruang” terjadi ketika sebuah organisasi memiliki lebih banyak kader atau anggota yang siap dan berpengalaman namun tidak berbanding lurus dengan ketersediaan posisi tanggung jawab, peluang berkontribusi bermakna, atau jalur karier. Kondisi ini tampak produktif di permukaan (banyak sumber daya manusia), tapi menyimpan banyak risiko strategis, operasional, sosial, dan psikologis yang berpotensi merusak organisasi dalam jangka menengah-panjang.

Tapi mari jujur, surplus kader juga membawa risiko. Banyak kader muda yang selesai mengikuti proses kaderisasi, tetapi bingung mencari ruang aktualisasi. Akibatnya, ada yang merasa jenuh, bahkan pindah haluan ke organisasi lain yang lebih memberi ruang berkembang. Surplus kader tanpa ruang bukan sekadar masalah administratif, ia menimbulkan risiko reputasi, operasional, dan bahkan eksistensial.

Bahaya lainnya adalah kompetisi internal yang tidak sehat. Ketika kader banyak tapi lahan perjuangan terbatas, maka yang terjadi bisa saja perebutan posisi, bukan perjuangan substansial. NU NTB bisa terjebak dalam konflik horizontal yang menguras energi. Situasi ini hendaknya menjadi perhatian oleh kepengurusan PWNU NTB masa khidmat 2025-2025 untuk menghindari fragmentasi dan menurunkan reputasi organisasi.

Sudah saatnya NU NTB menyeimbangkan orientasi dari “kaderisasi untuk menambah jumlah” menjadi “kaderisasi untuk menambah kontribusi.” Surplus kader harus dimaknai sebagai modal sosial yang bisa dipakai untuk: mendorong kader muda menjadi motor literasi, digitalisasi madrasah, hingga penggerak riset pesantren, mengembangkan wirausaha berbasis komunitas NU agar kemandirian ekonomi jamaah terwujud, mengisi ruang kebijakan publik dengan kader yang punya integritas dan visi keumatan, menjadi benteng tradisi Islam Nusantara sekaligus agen moderasi beragama di NTB.

Gerakan “Kader NU: dari Kaderisasi ke Kontribusi” bukan hanya slogan. Ia menuntut sistem yang menghubungkan proses pendidikan ideologi dengan kanal pengabdian nyata. NU sebagai organisasi besar punya peluang menciptakan ekosistem ini. Dengan begitu, kaderisasi bukan hanya menghasilkan massa loyal, tetapi aktor-aktor perubahan yang mengangkat martabat warga NU dan bangsa.

Pengurus Wilayah NU NTB perlu berani merumuskan blueprint kader muda yang lebih konkret. Dengan memiliki desain atau master plan kader muda, eksistensi kader NU di Nusa Tenggara Barat dapat menjadi gerakan nyata yang berdampak, misalnya dengan membuat: Membuat ekosistem pengembangan karir kader (beasiswa, inkubator bisnis, media alternatif, forum kebijakan publik). Dan menghubungkan kader dengan stakeholders (pemerintah, kampus, komunitas internasional). Dengan cara ini, surplus kader muda bukan hanya menjadi angka, tapi berubah menjadi gerakan yang nyata dan berdampak.

NU NTB: Dari Rumah Organisasi ke Rumah Peradaban

Surplus kader muda seharusnya membuat NU NTB tidak hanya menjadi rumah organisasi, tapi juga rumah peradaban. Artinya, NU tidak sekadar memberi ruang administratif, melainkan juga menyediakan ekosistem untuk tumbuh, berkarya, dan berkontribusi seperti visi yang tertera pada mabadi khaira ummah. Jika ini dilakukan, anak muda NU NTB bisa menjadi pionir Islam yang ramah, moderat, dan adaptif di era digital. Mereka bisa menunjukkan bahwa NU bukan sekadar warisan masa lalu, tapi juga harapan masa depan.

Surplus kader NU sebenarnya menunjukkan keberhasilan proses kaderisasi. Namun jika tidak diimbangi manajemen yang baik terutama dalam distribusi, penempatan, dan pembinaan lanjutan dampak negatif seperti persaingan internal, stagnasi regenerasi, dan politisasi berlebihan bisa muncul. Solusi yang umum dilakukan organisasi besar adalah memperluas lapangan pengabdian, membangun jaringan kerja sama lintas sektor, dan menyusun peta jalan kaderisasi yang lebih adaptif.

Jadi, surplus kader muda NU NTB bisa apa?, Jawabannya sederhana tapi menantang: bisa apa saja, asal diberi ruang, arah, dan ekosistem. Jika tidak, surplus hanya akan menjadi beban.
Kini tinggal bagaimana NU NTB, khususnya para pemimpin dan senior, mampu membuka ruang dan memberi jalan. Karena pada akhirnya, sejarah tidak akan diingat dari berapa banyak kader yang dicetak, tetapi dari berapa besar kontribusi yang ditorehkan. (*)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *