Cerita di Balik Keberadaan Kain Tenun di Lombok

  • Bagikan
F bok
KHOTIM/RADARMANDALIKA.ID SEMANGAT: Penenun legendaris dari Desa Sukarara, Satriadi saat memperlihatkan kain tenun buatannya.

Dulunya Tidak Boleh Dilihat Proses Pembuatan Kain Tenun

Ada cerita yang banyak tidak diketahui masyarakat luas soal kain tenun. Khususnya cerita dari keberadaan kain tenun Lombok Tengah. Seperti apa? berikut laporan wartawan Radar Mandalika.

KHOTIM-LOMBOK TENGAH

DI Pulau Lombok terdapat dua jenis khas kain yang dimiliki, terutama dalam tenun. Di antaranya, kain tenun songket dan kain tenun rang rang namanya. Keduanya ini merupakan motif yang terkenal di Pulau Lombok. Namun secara kualifikasi, kain tenun asli khas sasak ternyata yakni kain tenun jenis songket, dimana dengan beragam jenis dan motif yang dapat dikolaborasikan. Sedangkan kain tenun rang-rang secara asalnya yakni berasal dari Nusa Penida Pulau Bali, dimana yang dengan khas motif zig zag  atau bergelombang.

Dimana, kain tenun songket memiliki beberapa keunikan yakni, motif tenun yang timbul, motif memadati seluruh permukaan songket, ditenun menggunakan benang emas benang perak ataupunpun benang katun berwarna, motifnya terkesan lebih mewah dan elegan, kemudian proses pembuatannya memerlukan waktu relatif lebih lama mengingat detail motifnya yang lebih rumit.

Kain tenun songket Lombok memiliki jenis motif yang bervariasi. Di antaranya, motif anteng, bulan bergantung, bintang remawe, wayang, keker, ragi genep, subhanale, nanas, bulan berkurung, panah, tokek, bintang empat, serat penginang serta yang terbaru kemarin motif kembang komak.

Sementara itu, lokasi desa wisata untuk tenun ini di Kabupaten Lombok Tengah, di Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat dan Kampung Adat Sade Desa Rembitan, Kecamatan Pujut.

Ketua Asosiasi Tenun Lombok Tengah, Satriadi menceritakan dimana ia yang menggeluti usaha turun temurun ini dengan dasar kecintaan terhadap budaya peninggalan para pendahulunya dan kemudian sebagai cara melestarikan budaya khas Lombok bagi Indonesia, namun di usia sekarang dirinya masih bergelut dalam bisnis budaya khas ini dilakukan sejak 2007 silam.

Katanya, dengan banyak produksi songket modern membuat mulai lunturnya nilai budaya klasik yang di turunkan nenek moyangnya, namun saat ini dia sedang menggagas dan kembali menggaungkan songket klasik dengan menggunakan pewarna alam seperti apa yang dia terima dan wariskan dari nenek moyangnya.

“Pewarna alami itu kita buat mengingat akan menghasilkan karya yang antik, klasik dan unik dan saat ini itu yang mau diviralkan,” katanya, pekan kemarin.

Satriadi menceritakan bagaimana dulunya kain tenun yang dibuat oleh para petuahnya dibuat hanya untuk di pakai pribadi, atau untuk kegiatan adat dan bukan asal dibuat saja. Bahkan dalam proses pembuatannya dilakukan di tempat tertutup yang tidak ada boleh melihat dan mengetahuinya dalam proses pembuatan. Sehingga saat diperlihatkan kain yang sudah jadi maka orang akan terkagum – kagum dengan mengucap keagungan Allah, dengan sebutan yang biasanya digaungkan yakni Subhanallah, yang dalam bahasa dasarnya dulu sering disebutkan Subhanale yang kemudian menjadi ke khasan songket, kemudian juga ada motif demikian.

“Dulu saking kagumnya orang saat melihat hasil karya songket ini kalau di sasak bilang Subhanale, namun kalau dalam secara islamnya yang dimaksudkan yakni Subhanallah,” ujarnya.

Namun, tidak bisa kita pungkiri saat ini, di zaman modern 5.0 kain songket ini menjadi daya tarik wisatawan. Dimana dengan gerai penjualan songket yang begitu banyak di Desa Sukarara kemudian suguhan para gadis-gadis cantik dan nenek-nenek juga yang dapat disaksikan lansung dalam proses menenunnya.

Dalam pengalaman yang paling pahit yang dia rasakan selamat ini yakni saat ada pihak yang telah memesan, kemudian sampai barang jadi namun yang memesan menghilang, inilah kesakitan yang menurutnya paling pahit ia pernah terima. Bahkan harus menelan pahitnya kerugian ratusan juta.

Namun saat ini buah kesabaran dan kegigihannya dalm berjuang di dunia usaha budaya ini seolah terbayar lunas dan tuntas. Mengingat dalam kurun waktu tahun November 2020 dan Maret 2022 ia akan menggelar kain tenunnya di mata dunia, yakni para penonton dan para pembalap asal seluruh dunia dalam even Word Superbike dan MotoGP di Sirkuit Pertamina Mandalika Lombok Indonesia.

Dia berharap dimana semoga pemerintah daerah dan pusat dapat memprioritaskan produk-produk dalam negri dalam pemasaran global supaya lebih dikenal dunia, kemudian sebagai energi bangkit dari keterpurukan pariwisata selama pandemi.

“Semoga tenun lebih mengganggu lagi kain tenun Lombok sampai dikenal seluruh dunia,” harap dia.(*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *